[Mil, maksudnya ... Halo, Mil!]
Sambungan telepon terputus. Faishal tambah gamang mendengar Raya rewel di rumah. Ditambah Kamila yang salah paham. Akan tetapi Viona belum bisa di tinggal. Danisha masih di UGD.
Kafe baru bisa Faishal tinggal ketika jam 10 malam. Waktu ia akan pulang, Viona meneleponnya. Ia mengabarkan bahwa Danisha panas tinggi. Viona minta diantarkan ke rumah sakit.
Faishal segera datang ke kontrakan Viona. Dia khawatir akan keselamatan Danisha. Juga tidak tega jika membiarkan mereka berdua saja yang ke rumah sakit. Hingga dia lupa memberi kabar pada Kamila.
"Sal, maaf ya, jadi ngerepotin," kata Viona di depan pintu kamar rawat Danisha.
"Gak apa-apa, yang penting sekarang Danisha udah dalam perawatan dokter."
"Kamu mau pulang? Sekarang hampir jam satu."
"Pulang lah. Raya juga lagi rewel di rumah."
"Hati-hati, ya. Terima kasih sudah peduli pada kami." Viona menyentuh tangan Faishal dan makin mendekat. Akan tetapi, Faishal berusaha menghindar.
"Maaf Vee, ane pulang dulu," pamit Faishal buru-buru.
***
Kamila membuka mata karena cahaya menyilaukan yang masuk melalui kaca jendela kamar. Dia melihat jam, ternyata sudah jam delapan, kesiangan sudah kuliahnya. Mencoba bangun, tetapi malah pening yang dia rasa.
Dari tempat tidurnya, dia tidak melihat Raya dalam box. Apakah Faishal yang membawanya ke luar. Akan tetapi, dia tidak tahu kapan Faishal pulang.
PMS telah membuat emosi Kamila meninggi. Ditambah anak yang rewel dan suaminya yang lebih mementingkan orang lain.
Dia peluk bantal di sampingnya. Aroma khas suaminya menguar, tanda bahwa Faishal tidur di sampingnya semalam. Kamila meneteskan air mata. Ia kecewa dengan perkataan dan sikap suaminya semalam.
Terdengar salam, dan pintu terbuka. Faishal masuk dengan Raya yang tertidur di stroller. Kamila memejamkan matanya, pura-pura masih tidur miring ke kanan.
Faishal menghampiri Kamila, ia pegang dahi istrinya. Kamila membuka matanya.
"Panas, kamu sepertinya ketularan flu dari Raya. Istirahat dulu aja." Faishal duduk di sisi kanan Kamila.
Kamila masih diam. Tatapan netranya kosong.
"Mil, sepertinya kita butuh pengasuh buat Raya. Kasihan dia kejauhan bolak-balik ke rumah ibu. Kamunya juga capek, kan? Abang gak punya waktu banyak megang Raya."
"Oh, karena Abang lebih milih ngasuh Danisha, yakan?" sindir Kamila dengan suara seraknya.
"Bukan gitu, Mil. Semalem Abang kasihan sama Danisha, takut stepnya kambuh."
"Sama anak istri sendiri, gak kasihan, gitu? Aku gendong Raya berjam-jam, sampe kaku ini pundak."
"Abang gak tau kondisinya begitu, kamu yang langsung tutup teleponnya."
"Jawab jujur, Danisha itu sebenarnya anaknya siapa?" Kamila menatap mata Faishal.
"Anaknya Vee lah," canda Faishal.
"Ck, serius ini."
"Yang jelas, bukan anak Abang."
"Hmmm." Kamila merasa sedikit lega. Meski belum sepenuhnya, karena Viona masih ada di sekitar mereka.
***
Perkuliahan Kamila memasuki semester enam. Tugas dan pekerjaan banyak menyita waktunya. Kini, Raya lebih banyak di pegang pengasuh. Karena adanya tambahan orang, mereka pindah ke apartemen yang lebih besar.
Kamila hendak pulang ketika Rafif menemuinya di depan kampus. Ia tidak dapat menghindari pertemuan ini. Untungnya saja, masih ramai di sini.
"Mil, ada yang mau ana sampaikan."
"Maaf, Kak, sebentar aja ya. Ada apa?"
"Ini, cuma mau kasih undangan."
"Alhamdulillah, kapan?"
Kamila dan Rafif masih berdiri berhadapan ketika Faishal datang menjemput. Dari kejauhan, raut gembira terlihat di wajah putih Kamila. Dan itu membuat hati Faishal memanas. Jadi, seperti ini istrinya di belakang. Menemui mantan tanpa sepengetahuannya.
Sebenarnya, Faishal ingin mengajak Kamila melihat rumah barunya. Akhirnya ia putar balik ke kafe. Dia meninggalkan Kamila, dengan memberikan pesan.
[Mil, Abang gak jemput. Ada urusan di kafe.]
***
Menjelang magrib, kafe tidak terlalu ramai seperti di akhir pekan. Faishal minta di buatkan kopi. Tanpa di minta, Viona yang mengantarkan.
"Kenapa sih, bete banget kayaknya."
"Gapapa, Vee."
"Pasti lagi ada masalah sama Kamila 'kan?"
Faishal tidak menjawab. Dia menghirup aroma kopi sebagai relaksasi. Dia sudah lama meninggalkan rokok, dan tidak mau kembali lagi.
"Kamu sadar gak sih, Sal? Istrimu itu, tidak pernah mengerti tentang kamu. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri, sibuk dengan perkuliahan dan lainnya."
"Hmmm."
"Kamu pernah tanya, apa dia mencintai kamu?"
Faishal seperti tertampar. Selama ini, dia hanya memaksakan kehendaknya. Menikahinya. Soal hati, ia pikir itu tidak terlalu penting. Ia tersadar, bahwa memiliki raganya belum tentu memiliki hatinya.
"Tidak ada perempuan lain yang mengerti kamu selain aku."
==========
"Tidak ada perempuan lain yang mengerti kamu selain aku," kata Vee dengan penuh percaya diri.
Faishal membenarkan perkataan Vee, dalam hatinya. Kamila memang tidak pernah mengerti dirinya. Dan ia tidak pernah bertanya tentang hati istrinya.
Tadi sore dia menghindar dari Rafif karena ia takut bertindak di luar kendali. Khawatir melukai istrinya karena emosi.
"Ane mau liat rumah baru dulu," kata Faishal beranjak dari duduknya.
"Aku ikut bareng, ya! Udah janji sama Danisha, mau pulang cepat."
"Kamu pesan ojol aja."
"Kan kita searah." Viona mengejar Faishal yang sudah ke luar menuju tempat parkir.
"Gak, Vee. Bukan mahram, gak boleh berdua di mobil."
"Pokoknya ikuuut!" Vee memaksa masuk mobil.
***
Kamila senang bukan kepalang, hatinya lega. Selama ini, perasaan bersalah terus menghantui. Merasa bersalah karena telah menolak pinangan Kak Rafif, malah menikah dengan Faishal. Akhirnya Kak Rafif mendapatkan penggantinya. Semoga pilihannya yang terbaik.
Tiba-tiba Kamila kangen dengan suaminya. Faishal, ia lelaki bertanggung jawab yang pernah dikenalnya. Semakin hari, ia semakin cinta. Namun, tidak pernah ia mengatakannya.
KamiIa ingin menyampaikan berita undangan ini dengan segera kepada suaminya. Ia lihat jam di tangan kanan. Biasanya Faishal sudah datang menjemput. Ia ambil ponsel di tasnya.
Kamila melihat pesan dari Faishal. Ternyata suaminya masih ada urusan di kafe. Kamila berinisiatif untuk menyusul Faishal. Ia memilih untuk naik angkutan umum daripada naik ojek online, karena tidak nyaman berdua dengan sopir.
***
Kamila sampai di KAFA caffe. Ia masuk, mencari suaminya. Bertanya kepada pelayanan. Mereka bilang, "Barusan ada, lagi ngopi."
Ia tidak menemukan suaminya. Ia cari ke tempat parkir. Ya, itu Civic putih Faishal. Di dalam omobil itu, Kamila melihat Viona juga. Mau kemana mereka berdua? Apakah ini yang namanya ada urusan di kafe?
Tidak mungkin dia mengejar mobil yang sudah menjauh. Kamila ambil ponsel di tas besarnya, ternyata ponselnya mati.
Dengan membawa kekecewaan, Kamila berjalan gontai menyusuri paving blok trotoar. Apakah mereka sering jalan bersama, tanpa sepengetahuannya? Bisa jadi. Peluang mereka jalan bersama begitu besar.
***
Kamila sampai di rumah ketika malam. Rasa lapar yang tertunda menjadikannya tidak nafsu makan. Ia langsung mandi air hangat dan ingin segera tidur.
Ia menengok anaknya yang tertidur pulas. Sebagai seorang ibu, ia merasa bersalah karena tidak dapat melihat banyak perkembangan Raya. Waktunya lebih banyak ia habiskan di luar.
Ia masuk ke kamar. Sepi. Biasanya jika malam menjelang tidur, ada saja candaan suaminya yang membuat ia tertawa. Saat ini, apakah sang suami juga sedang tertawa di sana?
Tidak bisa tidur, Kamila menuju balkon. Angin malam menyapa wajah pucatnya. Ia pandang bulan yang hampir purnama. Kamila pun memegang dada kirinya.
"Oh, begini kah rasanya, sakit ketika mencinta? Salahkah rasa yang semakin lama semakin kuat?" Kamila bicara dengan hatinya sendiri.
Ia mengingat perlakuannya selama ini kepada sang suami. Ia memang tidak pernah membuat kopi untuk suaminya karena kesibukan pagi. Dia juga tidak pernah bertanya apa yang suaminya butuhkan.
"Apakah hal itu membuat Faishal berpaling?"
Kamila terduduk dari tempatnya berdiri. Ia peluk lututnya dan menangis.
***
Faishal menolak Viona berkali-kali, agar tidak ikut di mobilnya. Akan tetapi, Viona terus memaksa masuk. Mau tidak mau, mereka bareng. Faishal menurunkan Viona di depan gang.
Faishal melanjutkan perjalanan menuju ke rumah barunya di daerah Bogor. Rumah itu baru saja selesai di bangun. Belum ada perabotan di sana. Niatnya, dia akan memberi kejutan pada istrinya hari ini.
Sejak tadi, Faishal tidak menengok ponselnya yang ia taruh di dashboard. Penasaran, ia ambil ponsel itu. Ternyata tidak ada panggilan atau pesan satu pun dari istrinya. Ia semakin yakin bahwa Kamila memang tidak peduli padanya.
Ia sampai di rumah minimalis modern dengan cat abu-abu dan putih. Rumah dua lantai ini ia desain sendiri. Menggambar adalah keahlian Faishal yang lain, yang belum diketahui Kamila.
Dengan karpet yang selalu dibawa dalam mobil, Faishal tidur di rumah barunya. Rasa lapar, membuat ia keluar untuk membeli nasi goreng di pinggir jalan. Biasanya, Kamila sering kelaparan jika tengah malam.
Di teras depan rumah, Faishal tidur bebantal lengannya sendiri. Ia pandangi langit cerah dengan bulan hampir purnama. Apakah Kamila rindu dengannya? Rasanya tidak mungkin karena ia sadari cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
***
Sebelum subuh, Kamila bangun dari tidur. Ia tidak mendapati Faishal di sisi. Sedih, lagi-lagi air mata menetes. Akan tetapi, ia harus tetap kuat. Ia harus ceria untuk anaknya. Mesti semangat mengejar cita-cita.
Faishal sampai di rumah ketika Kamila akan berangkat kuliah. Kamila ingin keluar kamar berpapasan dengan Faishal yang mau masuk. Kamila bergeser ke kanan, Faishal ke kiri. Mereka hampir bertabrakan. Keduanya saling diam, canggung.
Faishal melihat mata sembap Kamila. Istrinya itu hanya menunduk berjalan menuju putri mereka yang sedang sarapan.
"Ayo!" ajak Faishal setelah berganti baju.
"Aku berangkat sendiri aja."
"Ayo, cepat!" Faishal tidak mau dibantah. Mau tidak mau Kamila menurutinya.
Di dalam mobil, kedua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada suara kecuali murattal yang disetel dengan suara pelan.
"Nanti aku sama Raya mau menginap di rumah ibu."
==========
"Nanti aku sama Raya mau menginap di rumah ibu." Kamila mencetuskan keheningan dengan perkataan datarnya.
Sebenarnya, ia masih kesal karena Faishal yang pulang pagi dan tidak memberikan alasan.
Faishal diam beberapa saat, mempertimbangkan jawaban yang tepat.
"Kalau punya masalah, sebaiknya selesaikan di dalam rumah. Jangan dibawa ke luar."
"Aku cuma lagi kangen rumah aja," kilah Kamila.
"Bukan supaya bebas ketemu Rafif?"
"Maksudnya apa? Kok jadi menuduh?" Kamila mulai emosi.
"Bukannya kamu masih suka ketemuan sama dia?"
"Kapan? Kemarin? Iya aku ketemu sama dia. Puas?" Kamila tidak dapat menahan emosinya.
Faishal mengerem mendadak. Menepi. Kepala Kamila hampir terbentur kaca depan.
"Ok. Nanti Abang anter ke rumah ibu," kata Faishal dengan penuh penekanan, menahan amarahnya.
Hati Kamila bagai teriris mendengar tuduhan suaminya. Akan tetapi, ia tetap diam. Ia ingin menjauh dari suaminya saat ini.
***
Mereka sampai di rumah Bu Tari ketika malam. Kamila menggendong Raya keluar dari mobil. Ibu dan adik Kamila sudah menanti di depan rumah. Faishal tidak mampir, buru-buru menuju kafe lagi.
Raya langsung di sambut Chery-adik Kamila-. Bu Tari menanyakan Faishal, Kamila hanya menjawab, suaminya itu sedang sibuk.
Liburan akhir semester membuat Kamila hanya berdiam diri di rumah. Ia sudah tiga hari menginap. Akan tetapi, suaminya tidak juga datang menjemput.
Kamila pandangi Raya yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Wajah anaknya itu, selalu mengingatkan pada Faishal. Ia usap pipi tembem itu lalu mencubit pelan hidung anaknya.
"Tau gak, Nak? Ini yang suka dilakukan Papa," kata Kamila pelan, takut mengganggu tidurnya.
"Apa papa Isal sudah benar-benar gak kangen kita lagi, ya?" Cairan bening merembes, membasahi pipi Kamila.
Kamila kembali mengingat Faishal. Sedang apakah dia di sana. Bersenang-senang dengan Viona kah? Apa dia lupa dengan anaknya?
Semenjak menginap, nafsu makan Kamila berkurang. Penyakit baru pun datang, insomnia. Ia tidak dapat tidur sebelum jam dua.
***
Setelah mengantar Kamila dan Raya menginap. Faishal merasa sendiri dan tidak berarti. Pikirinnya melayang entah kemana hingga ia menyetir di luar kendali.
Brak!!
Mobil menabrak pembatas jalan. Benturan kuat di kepala depan tidak dapat dihindari. Darah mengalir dari dahi Faishal. Dengan setengah kesadarannya, ia menghubungi papanya.
[Jangan beri tahu Kamila, Pa. Isal gak mau dia khawatir,] pesan Faishal pada ayahnya lewat telepon.
Kini Faishal masih menjalani perawatan di rumah sakit. Sudah tiga hari, ia masih merasa pusing.
Sebenarnya Faishal sangat rindu pada anaknya. Terlebih lagi pada istrinya. Akan tetapi, untuk pegang ponsel saja enggan.
Pak Arman-papanya- berulang kali menawarkan untuk memberi kabar pada Kamila, tetapi Faishal selalu melarangnya.
"Kamu lagi ada masalah sama Kamila?"
"Enggak ada apa-apa," jawab Faishal sambil memejamkan matanya.
"Sebaiknya bicarakan segala sesuatunya. Dalam hubungan antara suami-istri itu, kuncinya hanya komunikasi."
Faishal hanya diam, mendengarkan papanya bicara. Ia sadari terakhir kali, komunikasi dengan istrinya memburuk. Apa kabar istrinya di sana?
"Biarkan Isal sendiri dulu, Pa."
***
Bangun tidur, Kamila merasa perutnya teraduk-aduk. Ia langsung ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi perutnya hingga tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan.
Mendengar suara Kamila muntah, Bu Tari masuk ke kamar Kamila yang tidak di kunci. Ia memijiti punuk Kamila.
"Sudah, Bu. Gak apa-apa. Cuma masuk angin kayaknya."
"Yakin? Maaf ibu tanya ya, kapan terakhir kamu haid?"
Deg. Kamila tersadar. Ia juga tidak ingat. Sepertinya sudah beberapa bulan ia tidak menstruasi.
"Maksud Ibu, aku hamil lagi?"
"Mungkin aja."
"Tapi sebelumnya gak kerasa apa-apa, ya?"
"Karena kamunya sibuk dengan hal lain, jadi gak kerasa. Biar lebih yakin, periksa ke dokter aja."
"Nanti deh, Bu."
"Ya sudah, ibu mau lanjut masak dulu." Bu Tari keluar kamar, tidak lupa menutup pintunya.
Kamila memegang perutnya. Jika benar ia hamil, lagi-lagi ia kebobolan. Ia harus kuat dan semangat.
"Jika aku benar-benar hamil, apakah Faishal akan senang dengan kabar ini?"
Asumsi tentang suaminya menyelimuti pikiran. Hingga tidak dapat masuk makanan sama sekali sampai keesokan harinya.
***
Keesokan harinya, setelah mendapat persetujuan dari dokter, Faishal bersiap untuk pulang. Viona pun datang menjenguk.
"Sal, kok gak ngasih kabar, sih?"
"Gak apa-apa, Vee. Udah mendingan."
"Kamila mana?"
"Lagi di rumah ibu."
Faishal duduk di kursi roda dibantu Zayn-adiknya-
"Biar Vee aja yang dorong!"
"Ya udah, kalian duluan aja. Papa sama Zayn bawa barang-barang."
Ketika sampai di lobi rumah sakit, Faishal melihat pasien berwajah pucat di kursi roda dengan infus di tangan kirinya. Diantar perawatan menuju ruang perawatan.
Tatapan Faishal tidak lepas darinya hingga secara tidak terduga, pasien itu pun melihatnya dengan tatapan yang tidak terbaca. Pasien itu adalah istrinya, Kamila.
==========
Faishal refleks berdiri, niat hati ingin berlari mengejar Kamila, apa daya kepalanya masih pusing. Ia terduduk di kursi roda kembali sambil memegang kepalanya.
"Vee, tolong anterin ke Kamila."
"Baik, Boss."
"Lho, Sal, kamu kenapa?" Bu Tari-ibunya Kamila- kaget melihat keadaan Faishal dengan perban di dahi.
"Gak apa-apa, Bu. Cuma kecelakaan ringan kemarin."
"Pantesan, dihubungi gak bisa-bisa."
"Kamila kenapa, Bu?"
"Muntah-muntah dari kemarin, gak bisa masuk makanan sama sekali."
Faishal menyesal tidak bertanya kabar kepada istrinya selama beberapa hari ini. Ia merasa bodoh dan tidak bertanggung jawab.
"Gimana hasil pemeriksaan dokter tadi?"
"Alhamdulillah, Sal. Raya mau punya adik."
Faishal terkejut dengan apa yang didengarnya. Sungguh ia bahagia, hingga tidak dapat berkata apa-apa selama beberapa detik.
"Alhamdulillah ya Alloh ... Raya mana, Bu?" Perasaan kangen pada anaknya semakin bertambah.
"Di rumah, sama Chery. Balita tidak boleh dibawa ke rumah sakit."
Ayah, ibu dan adik Faishal pun menghampiri. Bertanya kabar tentang apa yang terjadi. Akhirnya mereka tidak jadi pulang.
"Aku balik ke kafe lagi ya, Sal. Pak, Bu, saya pamit dulu." Viona undur diri.
***
Kamila memang lemah, hingga memerlukan kursi roda untuk menuju ruang perawatan. Ketika diperjalanan, ia merasa seperti ada yang memperhatikan.
Kamila pun mengangkat pandangannya ke depan sebelah kanan. Matanya menangkap seseorang yang beberapa hari ini membuat kesal tetapi bikin kangen. Ya, itu Faishal, suaminya. Akan tetapi, apa yang terjadi dengannya? Mengapa ia bersama Viona?
Lagi-lagi Kamila menghuni sebuah kamar di rumah sakit. Sebenarnya, ia tidak ingin, tetapi kondisi tubuhnya mengharuskan ia istirahat di sini.
Setelah melakukan pemeriksaan USG, Kamila baru yakin bahwa ia benar-benar hamil. Usia kandungannya diperkirakan masuk pekan ke-sepuluh. 2,5 bulan sudah janinnya berada di rahim.
Kamila membetulkan posisinya tidurnya. Ia usap perutnya yang masih datar.
"Maafkan Mama, De, tidak menyadari kehadiranmu."
Pintu kamar dibuka, Bu Tari masuk di ikuti Pak Arman, Bu Waty dan Faishal yang didorong oleh Zayn. Kamila memejamkan matanya. Bukan karena mengantuk, akan tetapi ia kesal melihat wajah suaminya.
***
Sudah tiga jam sejak masuk kamar rawat inap, Kamila belum juga membuka matanya. Kepura-puraannya membuat ia benar-benar tertidur.
Pak Arman dan keluarga sudah pulang. Hanya Faishal masih tetap menunggu di sisi Kamila. Tangannya tidak lepas dari tangan Kamila. Kepala yang tadinya begitu berat kini terasa ringan karena berita gembira yang ia dengar.
Meskipun bandel, Faishal sejak dahulu menyukai anak kecil. Wajar saja bila ia menginginkan banyak anak. Akan tetapi, entah dengan istrinya. Apakah Kamila jg senang dengan kehamilannya kali ini? Benak Faishal masih belum tenang. Apalagi pikirannya tentang Rafif masih belum jelas.
"Tidur di sofa dulu aja, Sal!" Saran mertuanya.
"Nanti aja, Bu. Saya masih mau menunggu Kamila bangun."
"Baik kalau begitu. Boleh kita bicara?"
"Oh, boleh, Bu."
"Di depan aja, ya."
Merasa sudah lebih baik, Faishal pun berjalan pelan, tanpa kursi roda.
***
"Kalian sedang ada masalah?" tanya Bu Tari ketika sudah mendapatkan kursi di kantin rumah sakit.
"Cuma miskomunikasi aja sepertinya, Bu."
"Ibu lihat, kamu semakin dekat dengan Vee. Apa itu yang membuat kalian diem-dieman?"
"Bukan itu masalahnya, Bu. Sepertinya, Kamila masih menyimpan rasa sama mantannya."
"Siapa, Rafif maksudnya?"
"Siapa lagi?"
"Ibu rasa tidak begitu. Rafif akan menikah Ahad besok. Kemarin ibu di kasih undangannya lewat Kamila."
Hati Faishal lega mendengar penjelasan mertuanya. Ternyata apa yang dia pikirkan selama ini salah. Ia telah berbuat zalim pada istrinya dengan prasangka yang buruk. Ia harus menebus kesalahannya sendiri untuk mendapatkan maaf dari Kamila.
***
Kamila bangun ketika Asar. Meskipun dengan kondisi diinfus, ia tidak ingin meninggalkan salat. Lagi pula, keadaannya sudah lebih baik. Ia jamak antara Zuhur yang terlewat dengan Asar. Dengan posisi duduk tentunya.
Faishal salat di mushola dalam rumah sakit. Ia berdoa agar rumah tangganya bersama Kamila baik-baik saja. Selesai salat, ia kembali ke ruang rawat Kamila.
Kamila tidak bisa menghindar. Ia harus hadapi suaminya sendiri. Ibunya izin salat di mushola.
"Hay, Nona. Gimana kabarmu?" tanya Faishal yang mengambil posisi duduk sisi kiri ranjang.
Kamila diam. Pandangannya ia arahkan ke kaca di sebelah kanan ranjang.
"Kamu siapa? Sepertinya aku tidak kenal," jawab Kamila datar.
"Mil, ayolah. Jangan begini."
"Begini gimana? Benar kan, aku memang tidak tidak tahu apa-apa tentang kamu. Tentang luka di kepala, tentang apa yang terjadi selama tiga hari ini, tentang--"
Faishal memeluk Kamila dari samping. Namun, Kamila tidak bergeming.
"Stop, Mil. Bukan begitu maksudnya. Abang gak mau kamu khawatir."
"Supaya bisa di rawat Vee, iya kan?"
"Vee? Sepertinya kamu salah paham." Faishal melepaskan pelukannya.
"Udahlah, jangan mengelak terus."
"Dengar dulu, cantik, Vee itu baru aja dateng pas Abang mau pulang. Dia tau Abang di sini karena dia tanya sama karyawan lain. Kalau gak percaya, tanya papa aja."
"Aku pusing." Kamila memijit pelipisnya.
"Kita jalan-jalan aja, yuk! Kebanyakan tidur malah tambah pusing."
***
Di sinilah sekarang mereka. Di taman kecil belakang rumah sakit. Tak ada tanaman lain kecuali asoka merah dan lili putih. Kamila duduk di kursi roda, Faishal duduk di rumput.
"Mil!"
"Emm."
"Kamu itu seperti bunga Asoka."
Kamila mengerutkan keningnya.
"Iya, Asoka itu kuat. Meski tertiup angin dan tertimpa hujan, dia tetep kokoh. Kayak kamu di hati Abang."
"Gombal. Tapi sayangnya aku gak punya recehan."
"Tapi seneng, kan?"
Kamila tidak dapat memungkiri, buktinya pipinya memerah.
Mengalirlah cerita-cerita tentang beberapa hari belakangan. Tentang rumah baru, masalah Viona, kejadian kecelakaan, dan kado kehamilannya hingga senja pun tiba.
"Mil, coba liat langitnya deh!"
"Masya Alloh, senja yang indah."
Kamila terus memandangi langit sore. Akan tetapi, tidak dengan Faishal. Ia terus memandangi wajah istrinya.
"Tapi ada yang indah daripada senja."
"Apa?" Kamila menengok ke arah suaminya.
"Kamu." Mereka saling pandang beberapa saat, menyalurkan rasa yang ada.
"Cepetan sehat, biar kita bisa pulang ke rumah baru."
"Aku gak mau pulang, selama Vee masih ada di sekitar kita."
***
Meski masih lemas, Kamila berusaha untuk memenuhi undangan pernikahan Rafif. Dengan gamis batik hijau tua dan jilbab hijau muda, membuat Kamila terlihat segar.
"Sarapan dulu, biar kuat," ajak Faishal. Dia sudah rapi dengan batik semotif dengan Kamila.
"Aku biasanya juga jarang sarapan pagi."
"Biar kuat hadapi kenyataan. Kan gak bagus tuh, kalau pingsan di tempat walimah mantan," canda Faishal.
"Garing. Udah mau punya anak dua juga, canda mulu."
"Canda itu perlu. Biar hidup gak kayak papan." Faishal tertawa.
"Terserah dah," kata Kamila sambil memakaikan baju Raya.
"Mil, nanti siang Vee sama Danisha berangkat ke Samarinda."
"Terus? Kita mau nganterin, gitu?"
"Gak lah, cuma informasi doang."
"Ok, informasi di terima."
Setelah pulang ke apartemen kemarin, Kamila menceritakan tentang kejahatan Viona yang menyebabkan ia terjatuh hingga harus operasi caesar.
Ketika sedang berbaring, Kamila bilang, "Sebenarnya, waktu Raya lahir itu, aku bukan kepeleset. Tapi Vee yang bikin aku kepaduk."
"Apa?" Faishal bangun dari posisi tidurnya. "Perempuan gak tau diri! Biar Abang cekek itu ular."
"Sabar, Bang. Perbuatan buruk, biar Alloh yang bales. Yang penting aku sama Raya selamat."
Faishal mengambil ponselnya. Ia cari nama Viona.
"Abang mau ngapain?"
"Mau pecat Vee."
"Tutup dulu teleponnya."
Faishal pun mengikuti saran Kamila.
"Kenapa?"
"Kasihan Danisha. Pindahkan Vee ke cabang Samarinda aja."
Lagi-lagi Faishal menuruti saran Kamila. Dia heran dengan istrinya. Sudah dicelakai, masih saja berbuat baik. Memang tidak salah ia memilih Kamila untuk jadi pendamping hidupnya.
***
Sepekan kemudian, Faishal, Kamila dan Raya menempati rumah baru mereka. Sesuai dengan janji Faishal, mereka hanya sementara tinggal di apartemen.
Meskipun perabotan belum lengkap, mereka bersyukur karena rumah yang mereka miliki itu rezeki dari Alloh lewat kerja keras Faishal.
Yang paling indah dari semua ruang adalah ruang terbuka di bagian belakang. Meskipun tidak luas, tetapi mereka masih dapat memandang bintang berdua dari ayunan besi. Seperti malam ini, ketika Raya sudah tidur.
"Mil, terima kasih sudah mau menerima Abang yang seorang pendosa ini sebagai ayah dari anak-anakmu." Jarinya ia tautkan dengan jari Kamila, lalu diciumnya jari itu.
"Seharusnya aku yang berterima kasih, Abang mau menerima keegoisanku."
"Kadang kata-kata terima kasih, terluput dari kehidupan sehari-hari. Sama halnya seperti kata cinta."
"Hmmm, kita memang belum pernah mengatakan itu. Tapi ada hal-hal yang penting dari sekedar kata-kata."
"Misal?"
"Seperti saat ini."
*TAMAT*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel