Cerita Bersambung
Oleh : Linda Vin
*Anak Kecil Penjual Ikan*
"Dari mana uang sebanyak itu Mbak." tanya Candra adikku, aku hanya mengelengkan kepalaku.
"Aku sudah minta bantuan Pakde Mbak, tapi tak ada uang sebanyak itu." tambah Beben adikku.
Kami bertiga berpelukan. Mataku nanar, kemana harus mencari uang sampai ratusan juta untuk biaya operasi Jantung Mama. Rumah yang kami tempati sekarang pun sertifikatnya sudah di bank, dijaminkan untuk biaya kuliah dan sekolah kedua adikku.
Semenjak Papa tiada kebidupan kami yang memang sederhana semakin jatuh kebawah. Aku memang sudah bekerja tapi tak cukup untuk biaya semua, aku menjadi tulang pungung semenjak kondisi Mama yang memburuk beberapa tahun ini.
Kedua adikku pun juga bekerja part time di sela jadwal sekolah dan kuliah mereka. Kami hanya bisa meneruskan hidup tanpa bisa menyimpan uang, karena memang tak pernah lebih. Ada Nenek ibu Papa yang juga ikut bersama kami. Papa anak tunggal sehingga kewajiban kami mengurus Nenek.
Aku benar-benar putus asa, tak tau lagi bagaimana, sekarang saja untuk biaya perawatan dan biaya lainnya sudah dibantu Pakde, Kakak Mama satu-satunya. Kehidupan Pakde juga tidak termasuk kaya, tapi Pakde dan Bude yang selalu membantu kami. Beruntung kami memilikinya sebagai keluarga.
Kuhanya mampu berdoa disetiap sholatku, menemukan jalan keluar untuk hal ini. Kemana lagi, aku benar-benar buntu. Bayangan buruk selalu menghantuiku. Aku belum siap kehilangan Mamaku. Seratus juta kemana harus kucari ...
Hari ini aku bergantian dengan Adikku Beben, pekerjaanku terpaksa kulepas. Karena tak ada yang mengurus Mama. Sedangkan dirumah juga ada Nenek yang harus kami urus. Vero, dia teman kuliahku. Kulihat kehidupannya sekarang sudah sangat mapan. Punya mobil dan tinggal di Apartemen. Penampilannya pun semakin cantik dengan pakaian yang modis. Berbeda sekali dengan sewaktu kuliah dulu.
Aku menebalkan mukaku untuk meminta bantuannya. Aku membuat janji dengannya hari ini.
"Haiy saiy, sudah lama nunggu?, sorry ya." Vero menepuk bahuku.
Akupun berdiri menyambut ciuman pipi kanan dan kirinya.
"Kamu cantik sekali." pujiku padanya.
Dia memang terlihat sangat cantik, kulitnya putih, wajahnya glowing, rambutnya indah. Sudah seperti artis yang ada di tivi.
"Makasih saiy, kalau ada uang semua yang nggak mungkin bisa jadi mungkin." ucapnya.
"Oh ya, tumben mau ketemu, biasanya kamu sibuk sekali. Sampai aku ajak makan saja nggak ada waktu." lanjutnya.
Aku hanya tersenyum sumir, dia benar aku tak punya waktu untuk sekedar di traktir sahabatku ini makan.
Akhirnya kuberanikan diri menceritakan semua, dan meminta bantuannya.
"Saiy maaf ya, kalau segitu aku nggak ada, entahlah padahal Om Surya ngasih aku banyak uang tapi habis gitu aja, kalau lima juta aku bisa bantu. Nggak usah mikir balikinnya. Tapi kalau puluhan juta maaf ya."
Aku tersenyum mendengar jawaban sahabatku ini, walau tak mendapat yang aku maksudkan tapi dia sudah mau membantuku semampunya. Meski kepalaku mulai sakit lagi harus kesiapa lagi ...
"Emmhh, kalau mau aku bisa kasih tau jalannya. Tapi aku tak yakin kalau kamu mau sih. Em, kamu kan cantik ya ... " ucapnya ragu.
Aku sedikit ada harapan mendengar ucapan Vero.
"Nggak apa-apa katakan saja." ucapku semangat.
Dia menanyakan apa aku masih perawan, aku jawab iya. Sedikit ragu tapi akhirnya tercetus juga. Dia tau orang yang bisa memberiku uang sebesar itu, bukan pinjaman tapi di berikan dengan syarat aku memberikan keperawananku padanya. Mataku terbelalak seketika. Apa itu artinya aku harus menjual kesucianku.
"Maaf Nda, aku tau pasti kamu menolaknya. Tapi hanya itu cara yang aku tau." ucapnya merasa tak nyaman.
Aku hanya menggelengkan kepalaku. Dia hanya berniat membantuku, aku tak menyalahkanya. Walau yang di bagi adalah jalan yang salah.
"Maaf ya Nda aku nggak bisa lama-lama." ucapnya kemudian.
Dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, menarik tas slempangku dan memasukkan sejumlah uang.
"Aku mohon jangan menolaknya, aku memang bukan orang suci, tapi aku benar-benar ingin membantumu. Ini uang sebagian fee dari hasil aku menjualkan rumah orang, kamu membutuhkannya."
Vero berdiri dan kemudian mencium pipiku kembali sebelum pergi. Aku masih terpaku. Haruskah kujual kesucianku ... tidak, bagaimana bisa aku berfikir seperti itu. Tapi aku membutuhkan uang itu.
Langkahku gontai menyusuri koridor rumah sakit tempat Mama di rawat.
"Mba kenapa?" tanya adikku. Aku mengelengkan kepalaku. "Aku pulang dulu ya mba, ada kuliah soalnya."
"Iya hati-hati." ucapku. Beben beranjak setelah mencium punggung tanganku.
Aku terduduk putus asa, kupegangi kedua lutut ku di depan kamar Mama di rawat. Tindakan operasi harus segera di lakukan dan harus ada uang jaminan. Perkiraan biaya Operasi mencapai seratus juta lebih, belum biaya perawatan dan lain sebagainya.
Ya Alloh bukan hamba ingin mengeluh, tapi sungguh hamba sudah tak sangup lagi.
"Mba bisa ke bagian Administrasi sebentar." pinta seorang perawat mengoyang bahuku.
Aku mengangkat wajahku, dan segera berdiri lalu mengusap air mataku.
Aku berjalan mengekori perawat itu.
"Mba Rinda?" tanya bagian Administrasi padaku memastikan.
"Iya saya." jawabku.
"Untuk Operasi Ibu Rima, harus segera dilakukan. Sekarang kami meminta tanda tangan persetujuan dari pihak keluarga agar besok bisa di lakukan tindakan." jelas Perempuan berkaca mata padaku.
Badanku lemas seketika, bagaimana biayanya.
"Bu, maaf tapi kami belum punya biaya sebanyak itu." ucapku. Aku ingat uang yang Vero berikan padaku. Segera kubuka tasku. Satu bendel uang lima puluh ribuan tertulis angka lima juta. "Saya ada uang segini." kuberikan semuanya pada Perempuan itu.
"Oh tidak," Perempuan itu mengembalikan bendelan uang itu padaku. " Biaya operasi sudah di tanggung Kakak angkat Anda, jadi Anda tinggal tanda tangan persetujuan saja."
ucapnya sambil menyodorkan beberapa lembar berkas yang harus ku tanda tangani.
"Kakak angkat?" Aku bingung mendengarnya.
"Iya katanya seperti itu, Anda bisa menemuinya setelah ini." ucapnya.
Tak menunggu lama aku menandatangani berkas-berkas tersebut. Perempuan itu menyebutkan nama seseorang yang disebutnya juga sebagai Dokter di sini. Ihsanul Hakim, aku sama sekali tak mengenal nama itu. Dia menunjukkan ruangan Dokter tersebut padaku.
Ragu kuketuk pintu yang di atasnya ada tulisan nama Dokter yang Perempuan tadi sebutkan.
"Masuk."
Terdengar sautan dari dalam. Aku mendorong pintu yang tidak tertutup rapat itu. Seorang Dokter muda duduk di sana, dia tersenyum padaku.
"Rinda?, putri Ibu Rima?" tanyanya ketika melihatku. Aku menganggukan kepalaku. Sama sekali aku tak mengenali Dokter muda ini.
"Duduk." pintanya serasa telah lama mengenalku.
Aku duduk di depannya, kupindai wajah itu. Tampan, tapi aku tak mengenalnya. Bagaimana bisa dia bilang kakakku. Namanya pun baru kudengar sekarang.
"Kau tak mengenalku?" tanyanya, aku mengelengkan kepala.
Dia menyebutkan suatu nama daerah yang dikatakanya berada di Bengkulu. Yah memang kami pernah tinggal di sana, waktu itu umurku baru empat tahun. Tak banyak memori yang dapat kurekam disana. Nama desanya saja aku sudah lupa.
"Ting ... ting ...," dia menirukan suara seperti orang jualan Es keliling. Seperti main tebak-tebakan.
"Es gabus." ucapku. Dia tertawa. Tapi aku belum juga mengingat dia siapa. Teman masa kecilku tak ada yang bernama hakim.
"Anak kecil berjualan ikan " ucapnya lagi. Aku menatapnya.
"Ikan?, satu tenteng berisi tiga?, dan Mama selalu membelinya setiap dia lewat, setelah itu dia akan bermain denganku." ucapku.
Aku mengingatnya, Anak kecil dari kampung nelayan, dia berkeliling berjualan ikan. Dan pasti akan berhenti di depan rumahku. Karena Mamaku pasti akan membelinya, entah untuk dimasak sendiri, atau di bagikan. Pasti dibeli, katanya kasihan.
Setelah itu dia akan bermain denganku, Mama juga selalu membagi makanan padanya. Dan es gabus, aku mengingatnya. Kami sering mencari botol untuk dapat di tukar dengan sepotong Es gratis, dan kami sering melakukannya.
"Jangan kamu bilang kalau kamu anak itu?" Mataku berembun seketika.
"Itu aku, aku anak kecil itu, yang ikannya selalu dibeli Mamamu, aku anak yang sering mencari botol bersamamu untuk di tukar dengan sepotong Es." ucapnya dengan mata berbinar, tapi dia menangis.
Rasanya tak percaya, bagaimana mungkin. Dia hanya anak seorang nelayan miskin, yang kuingat rumahnya pun hanya dari kayu yang sudah lubang di sana sini.
Dia mulai bercerita, setelah kepindahan keluargaku ke jawa, Ayahnya meninggal dunia, sedangkan ibunya setauku memang sudah tak ada sewaktu ku mengenalnya. Dia diajak merantau Pamannya ke Pulau jawa, tepatnya ke Ibu Kota Jakarta. Pamanya bekerja sebagai sopir pribadi seorang pengusaha dan dia kemudian di angkat anak oleh keluarga tersebut.
"Setelah kalian pindah ke Jawa, aku seperti anak bingung, bukan hanya tak ada yang dengan pasti membeli semua ikanku, tapi kasih sayang yang Mamamu berikan cukup mengobati rasa rinduku akan hadirnya seorang Ibu. Mendengar Paman akan mengajakku ke Jawa, aku bahagia luar biasa. Berharap bisa bertemu kalian kembali. Tapi ternyata Jawa itu sangat luas, dan tak banyak yang ku tau tentang keluarga kalian." Ceritanya.
"Dan Tuhan sepertinya menjawab Doaku, untuk dapat membalas Budi atas kebaikan keluargamu, aku kembali dipertemukan dengan kalian, aku melihat Mamamu dua hari yang lalu, wajahnya tak mungkin kulupa walau Beliau tak mengingatku, aku mencari tau tentang sakitnya dan juga kendalanya. Mungkin inilah cara, untuk dapat membalas kebaikan dan kasih sayang mama padaku."
lanjutnya.
Aku tak dapat berkata-kata, Alloh benar-benar Maha pemurah dan penyayang, di kirim kan NYA, seorang penolong untuk Mamaku.
"Dengan apa aku harus berterima kasih atas kebaikan mu, aku bahkan sudah sangat putus asa." ucapku, air mataku tak dapat kutahan lagi.
"Jangan katakan itu, ini tak sebanding dengan kebaikan kalian padaku." ucapnya.
"Aku sudah pilihkan Dokter terbaik untuk Mamamu, kita berdoa semoga Operasinya berhasil dan berjalan lancar besok." lanjutnya lagi.
"Terima kasih, tapi aku harus memangilmu seperti apa?" Aku sunguh bingung cara memangilnya.
"Kak Hakim bisa, kau dibawahku empat tahun seingatku." jawabnya.
Akupun menganggukkan kepalaku.
"Kak Hakim terima kasih atas bantuanya." ucapku.
"Jangan begitulah, jadi seperti ada jarak. Kita pernah bermain bersama bukan." ucapnya. Pria itu tersenyum.
Tak kuingat wajahnya sewaktu kecil, tapi sekarang, dia Pria tertampan yang pernah ku kenal. Aku memang sangat membatasi diri. Bahkan diumurku yang ke dua puluh empat ini tak pernah merasakan yang namanya pacaran.
"Em, kalau gitu Rinda pamit dulu, mau jagain Mama lagi." pamitku.
Aku berdiri, dan menyalaminya. Kemudian beranjak. Walaupun kami dekat sewaktu kecil, tepat saja itu sudah dua puluh tahunan yang lalu. Tetap merasa cangung juga.
Langkahku terhenti di depan pintu, ponselku bergetar, aku mengambil dari dalam tasku. Pangilan dari nomor tak di kenal.
"Simpanlah, itu nomor telponku. Hubungi aku kalau memerlukan sesuatu." ucapnya. Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya. Dia tersenyum dengan sedikit memiringkan kepalanya.
==========
"Minumlah."
Kami bertiga bersamaan mendongak ke arah pemilik suara. Kak Hakim dia datang dengan membawa minuman dan roti yang dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Aku mengulurkan tanganku mengambil kantong plastik yang dia sodorkan itu. Dan memberikannya ke Beben. Kami semua berdiri.
"Terima kasih Kak." ucapku, bukan hanya tegang. Air mata ini juga tak mau berhenti dari tadi.
Kedua Adikku menyalami Dokter muda itu. Yang di sambut dengan pelukan menguatkan olehnya.
"Kita berdoa, semoga operasi Mama berhasil dan Mama kembali sehat." ucapnya.
Kami semua mengamini.
"Maaf tak bisa menemani, Kakak masih ada pekerjaan." pamitnya.
"Iya Kak, sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih." ucapku.
Kak Hakim tersenyum dan menepuk pelan lenganku.
"Harus yakin Mama pasti kembali sehat." ucapnya sebelum berlalu.
Kami menatapi langkah Kak Hakim yang semakin menjauh.
"Beben nggak ingat Kakak itu sama sekali Mba." ucap Adikku Beben.
"Kamu masih kecil waktu itu, umur setaunan." jawabku.
"Aku juga nggak ingat." timpal Candra adikku paling kecil.
"Kamu belum dibuat." ucapku sambil mengacak rambutnya. Si jangkung ini tertawa kecil.
Candanya cukup mengurai sedikit ketegangan kami. Mama dan aku beruntung memiliki mereka sebagai pria tangguh yang cukup bisa di andalkan. Sama sepertiku, kedua adikku juga menutup diri dari percintaan, belum saatnya membagi cinta kata mereka. Padahal aku tau banyak gadis yang menyukai mereka.
Dua karakter yang berbeda Beben lebih cenderung pendiam, berbeda denga Candra yang supel. Si bungsu ini kadang malah lebih tampak dewasa. Kedekatan kami tak perlu di ragukan.
Hari ini kami terpaksa meminta bantuan Bude untuk menjaga Nenek, karena kami bertiga semua di sini.
Tapi kecemasan tetap saja terus menyerah, deg deg an dan tidak nyaman. Lampu indikator di atas pintu itu belum padam juga berarti masih ada tindakan di dalam. Badanku sudah terasa dingin semua.
Lampu padam kami berdiri bersamaan, saling merapat dan berpegangan. Tak berapa lama Dokter keluar, di ikuti Dokter lainnya.
Aku langsung maju ke depan menyongsongnya dengan perasaan tak karuan.
"Puji Tuhan, Operasi berjalan lancar dan berhasil sesuai harapan. Tinggal pemulihan selanjutnya." Jelasnya sebelum aku bertanya.
"Dokter , Suster terima kasih." ucapku dengan menangkupkan tanganku. Mereka menganguk dan tersenyum.
Tak berapa lama Mama keluar masih dalam kondisi tidak sadarkan diri. Mama kemudian pindahkan ke ruang Perawatan.
***
Hampir sebulan berlalu, Mama sudah di ijinkan pulang tapi tetap istirahat dirumah untuk pemulihan. Selama perawatan hampir tiap hari Kak Hakim menjenguk Mama, kebahagiaan Mama mempercepat pemulihannya.
"Kak aku pangil Abang aja ya," ucapku suatu hari padanya.
"Terserah Rinda aja." jawabnya.
Semakin hari kami semakin Akrab, dia menyayangi Mama seperti orang tuanya sendiri.
Padaku?
Padaku ataupun adikku dia memperlakukan kami sama. Dia hanya mengangapku Adik saja, akupun mengubur rasaku yang tiba-tiba tumbuh begitu saja.
***
"Nda, minta Mama bersiap ya. Oma mengundang untuk makan malam di rumah. Abang jemput habis Magrib." ucap Bang Hakim saat ku angkat pangilannya darinya.
"Sekarang Bang?" tanyaku.
"Iyalah Dek, masak besok, dah sana." jawabnya.
Akupun langsung menyampaikan ke Mama, terlihat senang dia mendengarnya. Alhamdulilah setelah hampir dua bulan pasca Operesi kondisi Mama berangsur membaik, lebih cepat dari yang di perkirakan.
Kondisi Nenek pun juga ikut membaik, semua karena bantuan Bang Hakim juga. Nenek sudah bisa jalan walau hanya beberapa langkah. Paling tidak Nenek sudah mulai bisa bangun sendiri.
Aku mendadani dua Wanita hebatku itu, Bang Hakim juga yang membelanjakan kami baju. Bang Hakim benar-benar menyayangi kami seperti keluarganya sendiri. Aku belum mampu membelikan Mama baju yang seindah dan semahal yang dikenakannya sekarang.
Aku sendiri sebenarnya sudah hampir sebulan bekerja sebagai Staf Akutansi di perusahaan Pak Surya, yang juga suami siri Vero sahabatku. Mungkin caraku tak sepenuhnya benar, karena aku bisa bekerja atas pengaruh Vero pada Pak Surya. Tapi aku membutuhkan pekerjaan dan aku merasa cukup mampu dan bisa bertangung jawab dengan pekerjaanku.
"Cand, ayok ini cuma mau makan malam sama Abang, bukan ngapelin pacar." Candaku pada adikku yang terlihat berdandan maksimal.
Dia terlihat cukup tampan. Tapi pesona Beben lebih terpancar. Adik pertamaku itu memang memiliki paras yang tampan dengan hidung mancungnya, berbeda denganku dan Candra yang hanya punya hidung pas-pas an.
Terdengar suara mobil berhenti, pasti Bang Hakim. Benar saja, tak berapa lama dia dengan hebohnya sudah bersuara memangilku.
"Dek ..." suaranya terdengar di depan pintu kamarku. Akupun segera menyelesaikan riasanku.
"Wow, cantiknya adik Abang." ucapnya saat melihatku. Dia memegang daguku dan mengamatiku. "Cantik." ucapnya.
"Baru tau kalau Adik cantik." ucapku.
Kuangkat Alisku dia tertawa. Aku menutup pintu kamarku dan beranjak ke depan, Bang Hakim di depanku dia langsung menggandeng Mama dan Nenek masuk ke dalam mobilnya. Aku dan kedua Adikku mengikutinya, setelah mengunci pintu.
Aku kebagian duduk di depan, sesekali kulihat Wajah tampan di sampingku. Sangat sempurna raga dan kepribadiannya. Segera kuhalau rasa yang tiba-tiba kembali hadir. Dia hanya mengangapku Adik, mana mungkin ku berharap lebih itu hanya akan membuat canggung hubungan kami.
Setelah dua puluh menitan mobil memasuki perumahan mewah, berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Pintu gerbang terbuka, mobil mulai kembali melaju pelan, dan berhenti. Wow tampak dekat rumah terlihat sangat besar dan mewah.
"Ayuk turun, malah bengong." Bang Hakim menjentikkan jarinya di depan wajahku. Kembali sudah kesadaranku.
Aku meloncat turun. Bang Hakim sudah dengan sigap membantu Mama dan Nenek turun dari mobil besarnya. Candra mengeluarkan kursi roda Nenek di belakang
Aku dan keluargaku di buat terkesima dengan rumah mewah Bang Hakim. Saat masuk tambah dibuat melongo lagi, luas. Maklum rumah kami yang berkamar tiga saja sudah kami angap besar karena punya dapur dan ruang tengah. Ini bukan rumah lagi tapi Istana.
Bang Hakim membawa kami terus masuk, Seorang perempuan seusia Nenek sedikit lebih muda, duduk di atas kursi roda. Dia tersenyum menyambut kedatangan kami.
"Oma, ini Mama Rima yang sering Hakim ceritakan." ucap Bang Hakim saat kami tiba di depan perempuan yang dia pangil Oma tersebut. Oma merentangkan tangannya Mama memeluknya.
Bang Hakim memperkenalkan keluargaku satu persatu.
"Ini Rinda Oma, yang dulu sering cari botol sama aku buat di tukar Es." Bang Hakim tergelak. Aku mencium pungung tangannya dan menyambut pelukannya.
Suasana sangat hangat, dan ternyata Oma dan Nenek satu Daerah sama-sama wong kito galo. Papaku memang orang palembang, sedangkan Mama asli jawa.
Selepas makan malam kami mengobrol biasa. Nenek, Oma serta Mama terlibat dalam obrolan seru, terutama Nenek dan Oma.
Aku dan kedua adikku mrngobrol dengan Bang Hakim di taman.
"Bang, kok nggak jadi pengusaha saja, malah jadi Dokter?" tanya Candra adikku.
"Pangilan hatinya ke sana, tapi ya Abang tetap belajar Bisnis. Siapa lagi yang neruskan nanti perusahaan Papa, suka nggak suka harus suka." jawabnya.
"Kalau Bang Hakim nggak jadi Dokter, belum tentu ketemu kita dan bantu Mama, pasti semua pasti sudah takdir Yang Mahakuasa." ucapku.
Aku tak bisa membayangkan apa jadinya tanpa bantuan Bang Hakim.
"Bang, punya temen cowok nggak?, kasian tuh dah hampir dua lima masih joblo aja." goda Cand padaku yang di sambut tawa Bang Hakim dan Beben.
"Haiyah kayak kalian pernah pacaran aja." balasku.
"Kami kan cowok kak, lagian masih ada tugas jaga Mama, Kakak itu yang udah waktunya cari pendamping." imbuh Beben yang biasanya diam ikut bersuara.
"Ada sih, tapi nanti Kakak Audisi dulu, harus yang benar-benar Oke yang bisa dapetin Adik abang ini." ucap Bang Hakim tangannya merangkul pundakku.
Ya Tuhan rasa ini semakin sulit aku kendalikan, bagi Bang Hakim ini biasa. Tapi bagiku ini membuat debaran yang tak menentu.
Tak terasa waktu beranjak malam, kalau kami yang muda bisa saja bertahan sampai pagi, tapi senior yang mengobrol di dalam harus segera istirahat untuk menjaga kondisi.
Setelah pamitan Bang Hakim mengantar kami pulang.
Aku masih belum mengantuk selepas berganti baju, kunyalakan TV di ruang tengah.
"Tumben mbak belum tidur?" tanya Beben adikku.
"Belum ngantuk." jawabku, sambil tanganku memencet tombol remot untuk menganti saluran.
"Mba suka ya sebenarnya sama Bang Hakim?" tanya Beben tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya. Adikku ini memang paling peka.
Aku tersenyum hambar, aku belum pernah suka ke lawan jenis, setelah aku dewasa. Pernah sih dulu, jaman SMP cuma naksir ala anak abg saja.
"Bang Hakim cuma ngangep Mbak adiknya, samalah seperti ke kalian. Setau Mbak dia juga sudah ada pacar. Mbak pernah dengar dia bicara mesra di telepon." ucapku.
"Kondisi Mama sudah membaik, mungkin sudah waktunya Mbak mulai membuka diri." lanjutnya lagi. Aku hanya mengangkat bahuku.
***
Siang ini aku janjian dengan Vero di sebuah Kafe dekat kantor.
Selepas jam dua belas aku langsung keluar. Sekalian pulang karena hati sabtu hanya setengah hari. Aku ingin mengembalikan uang yang di pinjamkanya tempo hari dan mentraktirnya makan.
Uangnya memang tak jadi ku gunakan. Karena semua biaya Bang Hakim yang menangungnya.
"Sorry, nunggu lama ya?" tanyaku saat memasuki Kafe, Vero sudah menungguku.
"Barusan nyampe juga aku." ucapnya.
Vero berdiri menyambutku, setelah saling mencium pipi kanan kiri aku duduk di sampingnya. Seorang pelayan datang dengan daftar menu.
Kami menunjuk beberapa menu untuk kami pesan.
Sambil menunggu pesanan kami mengobrol seperti biasa.
Lepas dari status Vero yang seorang istri simpanan, dia sahabatku yang paling mengerti aku.
Ketika aku sampaikan akan mengembalilan uangnya, dia benar-benar menolaknya. Dan minta di berikan pada Mama kalau aku tak mau menerimanya.
Dia tanya dari mana biaya operasi Mama. Aku sedikit menceritakan Bang Hakim sebagai kakak angkatku.
Panjang umur, baru aku selesai bicara tentangnya, terlihat Bang Hakim datang di Kafe yang sama, tapi dia tak sendiri ada wanita cantik di sampingnya.
Bergelayut mesra. Kuhitung kancing bajuku, menyapanya atau pura-pura tak melihatnya.
"Rinda."
Belum selesai kuhitung kancing kemejaku, Bang Hakim sudah menyapaku lebih dulu.
"Bang, kok di sini?" Ku pura-pura kaget saat melihatnya, kaget betulan sebenarnya.
"Iya, eh kenalin ini Rinda, Adikku yang pernah aku ceritakan." Dia melihat ke arah perempuan cantik di sampingnya.
Perempuan itu mengulurkan tanganya, "Riana." Kenalnya. Aku memperkenalkan diriku. Kukenalkan juga Vero sahabatku.
"Ya sudah, lanjutkan. Abang juga mau makan siang." ucapnya.
Dia mengandeng tangan perempuan cantik yang bernama Riana itu. Entah kenapa ada perih-perihnya, saat melihat Bang Hakim bersama kekasihnya.
"Kamu suka?" Vero langsung menembakku.
"Keliatan sekali ya?" tanyaku.
"Nggak juga, karena aku sahabatmu aja." jawabnya.
"Istri atau pacar?"
"Pacar."
"Baru pacar."
"Bang Hakim hanya menganggapku sebagai Adik tak ada perasaan lebih."
"Oh," Bibir Vero membulat, menangapiku.
Kami lanjutkan Obrolan. Sampai hampir jam dua siang.
Bang Hakimpun sudah keluar dari tadi.
"Beneran nggak mau aku antar?" tanya Vero padaku, ketika kami sama-sama sudah di depan Kafe.
"Nggak usah, aku ada perlu belikan pesanan Mama dulu juga solanya, Makasih yah dah ditemenin, makasih juga yang buat Mama tadi." ucapku
"Makasih juga udah di traktir, ya udah aku duluan." Pamitnya. Kembali kami menempelkan pipi kanan dan kiri.
Baru aku akan membuka aplikasi ojol ada telpon dari Bang Hakim.
"Assalamualaikum Bang." Salamku, yang langsung di jawabnya.
"Waalaikumsalam, Adek masih di Kafe?"
"Iya sih, tapi udah mau pulang ini."
"Abang jemput ya, Oma tadi minta di temenin adek, Abang udah telpon Mama tadi nggak apa-apa katanya."
"Oh gitu, ya udah. Adek di depan Kafe sekarang." jawabku.
Tak sampai lima belas menit, Bang Hakim sudah sampai di depanku.
Aku membuka pintu mobilnya dan naik. Dia sendirian tak bersama Riana lagi.
Setelah undangan makan malam waktu itu aku sudah dua kali kerumah besar itu.
Kadang Oma juga meminta di jemputkan Nenek dan Mama.
"Tumben diem." tanya Bang Hakim, tanganya menepuk kepalaku pelan.
Biasanya aku memang selalu punya bahasan untuk memecah suasana. Tapi melihatnya bersama Riana, otakku tak menemukan pembahasan apapun. Gugur sebelum berkembang itu menyesakkan.
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel