Cerita Bersambung
~Wanita tanpa Rahim dan Ibu Penganti~
"Tumben diem." tanya Bang Hakim, tanganya menepuk kepalaku pelan.
Biasanya aku memang selalu punya bahasan untuk memecah suasana. Tapi melihatnya bersama Riana, otakku tak menemukan pembahasan apapun. Gugur sebelum berkembang itu menyesakkan.
"Em, menurut Adek, Riana itu gimana?"
Abang ... seruku dalam hati gara-gara nama itu selera bicaraku hilang. Sekarang malah diminta pendapat tentangnya.
"Cantik, terlihat baik, lembut dan pintar." Akhirnya aku jawab juga, dengan ungkapan yang bisa menyenangkan hatinya.
"Adek suka?" tanyanya. Aku menoleh ke arahnya, senyum menghias bibirnya. Sebesar itukah rasa cinta Bang Hakim pada Riana.
"Adek kan belum kenal Bang, belum bisa menyimpulkan." jawabku, memaksakan senyumku.
"Sebentar lagi Adek juga akan lebih kenal." ucapnya. "Abang akan segera membawa Kakak Iparmu pulang."
Demi apa coba, aku memaksakan senyumku saat Bang Hakim melihat kearahku dengan senyum manisnya. Dadaku panas seketika, hatiku hancur berkeping, badanku lemas seketika. Tapi ku tetap pura-pura tersenyum.
"A ... Abang mau menikah?" tanyaku padanya. Pertanyaan yang sebenarnya enggan kutanyakan karena jawabanya semakin membuat luka dalam hati.
Bukan salah Bang Hakim, aku sendiri yang salah.
"Insya Alloh, Abang segera melamarnya. Tapi ... sedikit sulit." Senyum tiba-tiba menghilang dari wajah tampan itu.
Aku tak bertanya, hanya menunggu dia meneruskan ceritanya.
"Oma, tak setuju Abang menikahi Tania." lanjutnya. Aku masih melihatnya dengan seksama.
"Kenapa?" Akhirnya aku penasaran juga.
Bang Hakim mengelengkan kepalanya. Mobil sudah berhenti di depan pagar, sesaat kemudian sudah terbuku. Mobil kembali melaju pelan dan berhenti di halaman depan.
Aku segera meloncat turun. Menunggu Bang Hakim yang juga sudah turun. Kami berjalan bersisian. Sepertia biasa tangan itu selalu merangkul pundakku. Aku kembali mengatur hatiku yang kacau, haras ceria di depan Oma.
"Oma, lihat siapa yang Hakim bawa." Teriak Bang Hakim saat sampai di ruang tengah, Oma muncul dengan kursi rodanya.
"Nih, anaknya udah Hakim bawa." Bang Hakim mengacak rambutku, dia tak sadar usiaku sudah mau lepas dua empat. Dia memperlakukanku seperti anak belasan tahun.
Aku berjalan menghampiri Oma, memeluk dan menciumnya. Bang Hakim mengekor di belakangku.
"Rinda, bisanya hanya sabtu siang sama minggu Oma, kan anaknya harus kerja." jelas Bang Hakim lagi.
"Iya, iya Rinda bikinin deh, kangen sama Wedang Secang buatan Rinda ya Oma." tebakku. Aku masih setengah duduk di sampingnya.
"Tau saja, sama temenin Oma terapi nanti ya." Oma meraih wajahku dan mencimku.
"Beres Oma, ya udah Rinda langsung buatin sekarang." ucapku bergegas kedapur setelah menciumnya.
Oma suka sekali dengan Wedang Secang buatanku, Kayu Secang sendiri memiliki segudang manfaat, di tambah rempah lainnya seperti Jahe, kayu manis, sere dan cengkeh, pemanisnya dengan gula jawa. Minuman tradisional ini sangat menyehatkan.
Akhirnya selesai, aku menuang sebagian ke dalam gelas yang sudah di siapkan Mba Mimi, salah satu ART di sini. Mba Mimi memberiku nampan juga.
"Makasih Mbak." ucapku padanya, dan segera meninggalkan dapur.
Aku berjalan ke teras belakang tempat Oma biasa terapi.
Langkahku terhenti saat mendengar suara seperti sebuah perdebatan.
"Oma, Hakim sangat mencintai Riana." Terdengar suara Bang Hakim dari luar sana.
"Iya, Oma tau tapi menikahi wanita tanpa rahim, pikirkan lagi itu Hakim, Oma dan orang tuamu ingin cucu darimu. Masih banyak wanita normal yang bisa kamu jadikan Istri."
"Tapi Hakim hanya mencintai Riana, Hakim tak bisa tertarik dengan Perempuan lainnya. Oma, Hakim dan Riana masih bisa punya anak, masih bisa dengan bayi tabung."
"Dia tanpa Rahim Hakim, Oma tau masih ada kemungkinan kalian punya anak, karena Riana masih punya sel telur, tapi mau pakai Rahim siapa. Pikirkan itu."
Hening ...
Tak ada suara lagi. Aku berjalan mundur pelan beberapa langkah menjauh dari sana.
Bang Hakim terlihat masuk ke dalam rumah, aku pura - pura fokus ke nampanku. Dia tak berjalan melewatiku. Entah kemana lagi dia.
Aku kembali berjalan ke depan menuju ke Oma, terlihat wajahnya kesal sekali.
"Oma, maaf lama, Rinda ada telepon tadi." ucapku saat berada di depannya.
Aku memberika minuman yang sudah mulai hangat itu.
"Nyonya, ada telepon dari Dokter Pras, terapi ditunda besok karena ada keperluan mendadak." Lina salah satu ART juga, tak tau bagian apa, menyampaikan berita dari Dokter Pras.
"Iya." jawab Oma singkat. Lina pun langsung beranjak.
"Diminum Oma, sudah hangat." ucapku.
Oma duduk di balai nya, aku memijit pelan kakinya. Oma menyeruput Wedang Secangnya.
"Hmmm hangat langsung badan Oma." ucap Oma, memberikan minuman yang sisa sedikit.
"Nangung Oma," ucapku.
Wanita itu kembali meneguknya hingga tak bersisa.
Aku meletakkan gelas kembali di atas nampan. Tanganku kembali memijat lembut kaki Oma.
"Kamu sudah punya pacar?" tanya Oma tiba-tiba, padaku.
Aku tertawa hambar lebih dahulu, sebelum menjawab pertanyaan Oma.
"Nggak ada waktu pacaran Oma." jawabku.
"Di tempat kerja, masak nggak ada yang lajang. Kamu cantik tak mungkin tak ada yang nggak naksir."
Aku memainkan bibirku, selama ini aku memang tak pernah memikirkannya. Sekalinya jatuh cinta, eh udah ada yang punya.
"Rinda juga nggak tau Oma, kan Rinda belum lama kerjanya. Cariin dong Oma, nggak usah pacaran langsung nikah aja." Aku bermaksud bercanda. Tapi wajah Oma terlihat serius.
"Oma ada tau, Sekretaris Papanya Hakim, tapi sudah pernah menikah, coba Oma cari tau nanti. Atau Dokternya Oma, si Pras temennya Hakim anaknya sabar, Oma cari tau juga ya, sepertinya masih lajang." ucap Oma bersemangat.
"Oma, Rinda cuma bercanda." ucapku. Oma malah tertawa.
"Kenapa takut gitu mukanya." ucap Oma lagi. Dia kembali tertawa melihat ku.
"Kamu nginap ya!" Pinta Oma.
"Nggak bawa baju Oma, lagian juga belum beli obat buat Nenek."
"Pulang dulu, nanti sini lagi. Ajak adikmu, yang pinter main piano itu si ..."
"Beben Oma yang main Piano, kalo gitar si Chand, vokalisnya duet maut Oma sama Nenek."
Oma kembali tertawa. Biarpun sudah lanjut usia, jiwa mereka masih muda.
"Ajak Nenek sama Mamamu sekalian." ucap Oma.
"Mahal oma bayaranya, paket lengkap plus pasukan horenya." Candaku.
"Pemain Gitar dan Piano Candra dan Beben, Vokalis Nenek, pasukan hore Rinda sama Mama." lanjutku.
Oma tertawa sampai terbatuk mendengarku. Aku mengusap pungungnya.
"Untung Oma pakai pampers." ucapnya di sela tawanya.
"Ih, Oma udah gede masih ngompolan." godaku. Kembali tawanya pecah.
Aku kembali mengusap pungungnya.
"Sudah, Oma capek." ucapnya lagi.
Aku tersenyum melihat Wanita yang tetap terlihat cantik itu.
Saking asyiknya kami tak sadar akan kehadiran Bang Hakim yang berdiri di dekat pintu.
"Abang mau keluar, Adek sekalian bareng nggak?" tanyanya saat ku menyadari kehadirannya.
Aku melihat ke arah Oma, Oma menganggukan kepala.
"Bawa pasukannya nantinya." ucapnya, aku tertawa. Ku cium pipi dan punggung tangannya. Kemudian mengucapkan salam.
Langkahku mengekori Bang Hakim, yang tadi tak mau bicara dengan Oma.
Sepanjang perjalanan Dia juga tak bicara padaku, akupun tak ingin bertanya ada apa.
"Abang jemput lagi habis Magrib, menginap dirumah." ucapnya. Tak ikut turun menyapa keluargaku seperti biasa. Aku hanya menganggukan kepalaku.
Sesampainya di dalam rumah, aku sampaikan pesan Oma. Terlihat bersemangat sekali mereka, tak terkecuali kedua adikku.
Memilih mengapeli Oma dari pada gebetannya. Entahlah apa mereka punya, sepertinya sama sepertiku menomorsekiankan urusan hati.
***
Sekitar setengah tujuh Bang Hakim datang.
Wajahnya tak sekesal tadi, tapi tak bisa di bilang ceria seperti biasa. Pembicarannya dengan Oma tadi jelas terekam. Hanya tak ingin tau lebih jauh. Mengangapnya angin lalu hanya sekedar tau. Tak ada urusannya denganku.
Aku sudah bersiap dan duduk di kursi tamu.
Mama sedang menyipkan Nenek. Bang Hakim duduk di sampingku, diambilnya tanganku di letakkan di kepalanya.
"Pijitin, kepala Abang pusing." ucapnya.
Dia menghadap ke arahku matanya terpejam. Sejenak aku terpukau hanya menatapnya.
"Ayo malah bengong." ucapnya sambil memicingkan satu matanya. Tanganku bergerak pelan namun dengan tekanan.
"Pantas Oma suka." Ucapnya, entah apa maksudnya. Mungkin pijatanku.
Tak taukah dia dadaku bergetar hebat sekarang.
Dengan manisnya dia terpejam tepat di hadapanku. Dia terlihat menikmati setiap sentuhan tanganku. Tanganku turun di keningnya, menekannya pelan, demikian juga dengan kedua alis tebalnya.
Sungguh ini pekerjaan yang sangat, amat, berat sekali.
"Berangkat sekarang?" tanya Mama yang baru keluar dari kamar.
"Bentar lagi Ma." ucap Bang Hakim.
Mama hanya mengelengkan kepalanya. Hanya Beben yang melihatku dengan tatapa beda, karena hanya dia yang tau perasaanku sebenarnya.
"Abang, capek." ucapku. Hatiku yang capek bukan tanganku.
"Bentar lagi, lagi enak nih, entar Abang belikan Es Krim." ucapnya yang di sambut tawa yang lainnya.
Bang Hakim membuka matanya pelan, kami hanya berjarak beberapa jengkal.
Tatapan mata kami beradu. Dadaku berdesir halus. Senyum terkembang di bibir itu.
"Makasih ya." ucapnya sambil menguyel pipiku. Apa dia pikir aku ini masih gadis kecil yang menemaninya mencari botol dulu.
Aku hanya memasang muka imutku.
Bang Hakim bangun dari duduknya, dia mengandeng Nenek dan Mama berjalan diantara dua wanita hebatku.
Sesampainya di rumah, Oma langsung menyambut kami, bahagia terpancar dari wajah itu.
Kehebohan pun di mulai. Aku memilih menjadi pasukan Hore. Bang Hakim sedang Video Call dengan Mamanya, Perempuan cantik itu tertawa melihat Oma yang begitu bersemangat bernyanyi di atas kursi roda.
Bang Hakim mengarahkan kembali ke kamera depan, Dia bersandar di lenganku dan mengarahkan kamera padaku.
Aku tersenyum dan menyapa dengan mengerakkan telapak tanganku, Perempuan itu membalasku.
"Dah dulu ya Mah, Assalamualaikum." tutup Bang Hakim. Dia meletakkan ponsel di meja. Kami kembali menikmati pertunjukan paling fenomenal ini.
***
Kami bergantian menunjungi Oma. Oma sampai minta kami sekeluarga tinggal bersamanya. Tapi semegah apapun rumah itu, tetap rumah sendiri yang paling nyaman.
Semakin kesini aku mulai bisa mengendalikan hatiku.
Mulai mengubur pelan perasaanku yang mekar tanpa ku inginkan.
"Adek di Rumah atau masih di Kantor?" tanya Bang Hakim melalui sambungan telepon
"Barusan keluar kantor Bang, ini masih mau pesan ojol." jawabku.
"Abang jemput ya, Abang deket kantormu." ucapnya. Belum ku jawab pangilan sudah ditutup.
Tak berselang lama, mobil Bang Hakim sudah sampai di depan kantorku. Aku segera menarik pintu dan masuk ke dalam mobil.
"Abang sakit?" tanyaku melihat Bang Hakim yang nampak kacau.
Dia hanya mengelengkan kepalanya.
Aku tak melanjutkan keingintauanku. Feeling ku pasti ada hubungannya dengan Riana. Aku terdiam menununggu Bang Hakim yang bercerita.
Mobil berhenti di depan sebuah taman kota. Kami hanya berhenti tidak turun. Bang Hakim memulai pembicaraan.
Benar dugaanku semua tentang Riana. Bang merasa putus asa dengan kisah cinta bersama kekasihnya itu. Oma dan orangtuanya tak menyetujui hubungan mereka. Semua karena kondisi Riana yang tak memiliki rahim.
"Adek mau bantu Abang?" tanya Bang Hakim kemudian. Aku tak menjawabnya, aku masih menunggu kalimat lainnya.
"Apakah Adek mau jadi Ibu penganti untuk anak Abang dan Riana nanti?".
"Maksudnya?" Aku tau, tapi tak terlalu paham.
Bang Hakim menjelaskan secara detail. Dan aku hanya dibuat melonggo.
"Abang serius?" tanyaku. Aku tak habis pikir dengan yang baru saja dia minta padaku.
"Abang bingung dek, cuma itu satu-satunya cara untuk Abang bisa dengan Riana." ucapnya. Rasaku sudah tak karuan-karuan dari tadi. Aku mencoba mengendalikan diriku.
"Bang, Adek nikah aja belum. Kalau hamil, Apa kata orang."
"Abang bakal nikahin Adek."
"Hahhh."
"Kalau itu jalannya, Abang bakal nikahin Adek. Tapi tolong bantu Abang." mohonnya.
Sebesar itukah cintanya pada Riana, hingga rela melakukan apa saja. Dia menangis .
"Abang akan nikahin Adek lebih dulu, Abang janji nggak akan jamah Adik. Abang hanya ingin menanamkan benih Abang dan Riana saja. Abang akan menjamin kehidupan Adik dan keluarga Adek." ucapnya putus asa.
Dadaku terasa sesak, aku memang ingin menikah dengannya tapi bukan dengan cara seperti ini.
Aku mengelengkan kepalaku. Aku masih bingung, selain mencintainya aku juga punya hutang budi yang besar padanya. Tapi tidak berarti aku harus mengorbankan diri, hati dan masa depanku seperti ini.
"Beri Adek waktu Bang, Adik belum bisa memberi jawaban sekarang." ucapku.
"Dek, Abang minta maaf, menarik Adek dalam kisah rumit Abang." ucapnya.
Aku tak menjawab apapun. Aku masih syok dengan permintaanya.
Bang Hakim mengantarkan aku pulang. Tak ada ada pembicaraan apapun sepanjang jalan.
Sampai di rumah Bang Hakim hanya menyampaikan maafnya sekali lagi.
Semua sedang berkumpul di ruang tengah.
"Lembur Mbak?" tanya Cand, melihatku melewatinya. Aku mengelengkan kepala.
Aku bingung harus bicara dari mana, tapi aku harus cerita.
Akhirnya aku meminta waktu ke semua untuk bercerita.
Semua terkejut mendengar ceritaku. Kedua adikku mengatakan tidak. Tapi Mama dan Nenek yang merasa berhutang budi begitu besar pada Bang Hakim memiliki pandangan berbeda.
"Tapi Rinda di nikahi Cand, bukan sekedar di pinjam rahimnya, dan kalian harus ingat berkat bantuanya, Mama masih ada di antara kalian. Berkat bantuannya Nenek kalian kembali bisa berjalan dan mulai membaik."
Kami semua terdiam. Walaupun Bang Hakim bilan balas budi tapi apa yang dilakukan Bang Hakim lebih dari yang pernah kami lakukan.
***
"Katakan itu tidak benar!"
Oma memintaku datang, ternyata Bang Hakim sudah memberi tahu Oma setelah ku menyetujui permintaannya.
Aku terdiam tak bisa menjawab apa-apa.
"Kamu mencintai Hakim?" tanya Oma, sontak aku di buat kaget oleh pertanyaanya. Oma menatapku yang juga melihat ke arahnya.
"Kalau kamu mencintainya, Oma setuju. Oma akan membantumu mendapatkan cinta dari Hakim, mungkin harus dengan cara seperti ini kamu bisa mendapatkan hatinya."
Oma memelukku. Aku tak tau lagi tentang yang aku rasakan, sakit, kecewa, senang semua bercampur menjadi satu.
"Dek, Abang ada perlu. Oma Hakim bawa Rinda dulu ya." pamit Bang Hakim kemudian menarik tanganku.
Ternyata Bang Hakim membawaku ke Riana, menyampaikan berita yang bahagia dia rasa dari sudut pandangnya. Sepasang kekasih itu berpelukan di depanku. Saling menguatkan dan kembali berpelukan.
Aku memaksa bibirku tersenyum. Walau hatiku sudah tak berupa lagi.
==========
~Pernikahan Rahasia~
Sebagai syarat dari Oma, Bang Hakim menikahiku lebih dulu sebelum dia menikah dengan Riana. Bagi bang Hakim asal bisa menikah dan bersama Riana, semua bisa dia lakukan. Diapun menyetujui persyaratan Oma.
Pernikahan kami di lakukan secara tertutup hanya keluargaku dan keluarga Bang Hakim yang datang, beserta pejabat desa di mana tempat pernikahan kami dilakukan. Kami menikah di sebuah Villa milik keluarga Bang Hakim. Orang tua Bang Hakim turut hadir.
Mereka orang Baik. Mereka sudah mengenalku walau hanya dari sambungan video call dan juga dari cerita Oma . Mereka sangat berterim kasih dengan keluargaku yang selalu bersama Oma dan membuat Oma bahagia.
Jangan tanya malam pertama, tak ada malam pertama. Semua berjalan biasa setelah pernikahan rahasia kami. Tak ada yang berubah. Hanya aku sendiri yang terlalu berharap akan cintanya. Hanya aku sendiri yang merasakan getaran saat dia menyentuhku seperti biasanya.
Kesucian ini mungkin nanti akan berakhir di meja operasi, saat penanaman benih dilakukan. Perih, membayangkan saja sangat perih. Tapi itu jalan yang sudah di pilihkan dan aku sudah menyetujuinya. Semua serasa mimpi, menikah dengan Pria yang kucintai tapi tidak dicintai.
Setelah menikah aku masih tinggal di rumah, seperti biasa. Tak ada yang berubah. Aku masih tetap bekerja, hanya lebih sering mengunjungi Oma dan menginap di sana. Oma memintaku melayani keperluan Hakim saat ku menginap di sana tapi aku tak bisa, Bang Hakim juga menolakku. Aku melayaninya sebatas di meja makan saja.
Sebulan setelah pernikahanku, sekarang giliran persiapan pernikahan Bang Hakim dan Riana. Sebuah pesta akan di gelar, Bang Hakim memintaku membantunya.
"Adek bantu Abang ya, Adek yang handle seluruh keluarga kita. Adek bantu untuk persiapan lamarannya." ucapnya.
Dia memintaku menemaninya memilih perhiasan di sebuah toko. Matanya begitu berbinar saat memilihnya.
Beberapa kali Dia memilih, dan menjadikanku modelnya.
"Semua kalau Nona yang pakai Cantik Tuan." ucap sang pegawai. Mungkin di pikirnya ini buatku.
Setelah beberapa waktu memilih, berakhir di dua set perhiasan dengan model terbaru, aku yang memilihkannya.
"Adek mau?" tanyanya padaku. Aku mengelengkan kepalaku. Aku tak butuh perhiasan Bang, aku hanya butuh cintamu, batinku. Tapi dia terlalu sibuk dengan Riana yang dia hubunggi lewat Video call. Dia tak perduli sedikitpun akan perasaanku.
"Adek betulan nggak mau?" tanyanya.
"Nggak Bang, Adek cukup ini saja." ucapku menunjukkan cincin di jari manisku. Cincin pernikahanku, yang juga cincin Mamanya. Bang Hakim tak mempersiapkan Cincin Kawin saat menikah denganku. Tersenyum getir ...
Aku tetap menyunging senyumku, dan dia akan menganggap semua baik-baik saja.
Untuk apa menyalahkanya atas ketidak pekaanya, atas ketidak peduliannya. Kan memang dari awal semua tau tak ada rasa cinta untukku sebagai seorang wanita.
"Lihat ini cantik, cocok buat Adek." dia memperlihatkan sebuah kalung padaku. Dan memintaku kembali mencobanya.
"Nah cantik kan, Adek juga harus tampil sempurna di hari bahagia Abang nanti." ucapnya sambil menepuk pelan pipiku.
"Mba, mau yang ini satu set ya." pintanya pada pegawai itu.
Dari toko perhiasan berlanjut ke toko sepatu dan tas, aku mana paham tas branded, aku mengelengkan kepalaku.
"Adek nggak paham Bang, Adek biasa beli yang tiga ratusan ribu, itu juga sudah paling mahal." ucapku. Bang Hakim tertawa, dia tetap memaksaku memilihkannya. Aku tanya ke pegawainya mana koleksi terbaru, itu yang akhirnya kupilih.
Begitupun barang lainnya. Aku yang memilihkannya untuk Riana. Dan Bang Hakim akan memilih kan satu untukku karena pasti aku menolak terlebih dahulu.
Aku dan keluargaku membantu mempersiapkan hantaran untuk acara lamaran besok. Entah apa yang mereka rasakan saat harus mempersiapkan pernikahan untuk anak menantu, cucu menantu dan kakak iparnya.
Beben sedari tadi memperhatikanku yang tengah menengelamkan diri dalam persiapan lamaran untuk Riana besok.
Oma menyambutnya dengan tak antusias, karena dari awal memang tak menyetujui pernikanan Bang Hakim dan Riana.
Begitupun Mama dan Papa, yang baru saja datang. Walaupun Bang Hakim anak angkat, mereka sangat mencintainya. Hingga tak bisa menolak segala kemauan sang anak.
"Rinda baik-baik saja?" tanya Mama Bang Hakim saat kami bertemu di dapur.
"Rinda baik Mah." jawabku.
Kami memulai sedikit obrolan. Bercerita tentang beberapa hal. Berkali-kali Mamah mengucapkan rasa terima kasinya karena telah menjaga Oma.
Karena aku dan keluargaku, Oma kembali sehat dan bersemangat.
Persiapan untuk lamaran besok selesai di lakukan. Aku mengeceknya kembali.
Begitu banyak hantaran yang Bang Hakim berikan. Tapi bukan itu yang membuatku iri. Cinta Bang Hakim pada Rianalah yang membuatku merasa iri padanya.
Aku bangun pagi sekali, padahal tidur terlalu larut. Harus kupastikan lagi, dan menyiapkan semuanya dengan sempurna seperti yang Bang Hakim minta.
Selepas jam delapan semua selesai bersiap.
Lamaran di gelar jam sembilan pagi di kediaman Keluarga Riana. Sebagian ART ikut bersama kami.
Candra mendorong Oma, Beben mendorong Nenek, aku dan Mamaku membawa perhiasan. Mama dan Papa mertua mengapit Bang Hakim.
Perasaan mengantar suami melamar kekasihnya itu seperti apa? Jangan di tanya yang jelas sakit sekali. Walau aku tau Bang Hakim tak mencintaiku.
Acara berlangsung khidmat, senyum malu-malu Rania bagai sembilu yang mengiris hatiku. Tatapan cinta Bang Hakim pada perempuan itu bagai belati yang menghujam sanubariku. Luka yang tak berdarah tapi rasanya sakit sekali. Beben dan Oma memegang tanganku. Menyalurkan energi mereka untuk menguatkanku.
Ya Alloh, ini sakit sekali lebih sakit dari yang kubayangkan. Apalagi saat mereka menikah nanti. Pernikahan mereka akan digelar dua minggu lagi.
Acara yang cukup menyesakkan ini akhirnya berakhir juga. Kami kembali dengan perasaan Bahagia itu yang ditampak kan bukan yang di rasakan.
Aku sudah memutuskan berhenti bekerja. Namun aku masih engan tinggal bersama di sana. Aku takut hati ini semakin tak bisa kukendalikan kalau setiap waktu bertemu dengan Bang Hakim. Tapi akhirnya aku harus belajar juga. Ini baru permulaan saja.
Bang Hakim menjemputku hari ini, Oma yang memintanya, padahal sudah kubilang ke Oma sebentar lagi di atar Cand. Bukan tanpa alasan Oma meminta Bang Hakim menjemputku. Memang akhir-akhir ini aku sedikit menghindari Bang Hakim, menjelang beberapa hari acara pernikahannya aku kacau sekali.
"Adek sakit?" tanyanya saat melihatku hanya diam di dalam mobil. Tangannya memegang keningku.
"Nggak Bang, laper aja paling lupa belum makan." alasanku. Walau sebenarnya aku memang yang tak berselera.
"Kita cari makan dulu ya, Adek mau makan apa?" tanya nya sambil mengusap pipiku.
"Terserah Abang." jawabku pelan.
Bang Hakim membawaku ke sebuah Resto. Dia memesankan beberapa makanan kesukaanku. Tapi seleraku sama sekali tak tergugah.
"Suapin." Pintaku padanya. Bang Hakim tertawa. Dia mencubit ujung hidungku.
"Kangen, liat Adek manja gini." ucapnya.
Bang Hakim menyuapiku, sesekali bercerita hal yang lucu. Cukup menghiburku dan sejenak melupakan rasa sakitku. Tak perduli rasanya padaku.
Selepas Makan kami langsung pulang, ku katakan pulang karena Oma bilang, itu rumahku juga sekarang.
Di depan Oma aku harus selalu ceria, tak ingin membuatnya kuatir dan mencemaskan kondisiku. Aku sudah menyiapkan senyumku sewaktu turun dari mobil barusan.
Bang Hakim merangkulku seperti biasa. Sengaja ku lingkarkan tanganku di pingangnya. Toh dia tak akan beraksi apa-apa.
Melihat kami seperti ini saja rona bahagia langsung terlihat di wajah Oma.
"Oma, cucunya yang suka ngambek dateng." ucap Bang Hakim pada Omanya.
"Siapa yang ngambek?" Bantahku.
"Terus kenapa kemarin-kemarin ngindarin Abang, padahal Abang nggak salah apa-apa." ucapnya. Di tariknya hidungku dan di goyangnya gemas.
Oma hanya tertawa melihat kelakuan kami. Melihat Oma tertawa hatiku cukup bahagia.
Bang Hakim meninggalkan kami berdua. Oma mengajakku ke kamarnya.
"Kamu sudah siap untuk acara lusa?" tanya Oma padaku, aku bergeming.
"Pasti berat ya?" tambahnya lagi.
"Rinda akan coba kuat Oma, Rinda pasti kuat." ucapku.
Walaupun aku sendiri sangsi pada diriku sendiri. Tapi kuata atau tidak bukankan semua harus di hadapi.
Aku keluar kamar setelah Oma tertidur. Aku masuk ke kamarku, di sini nantinya aku akan menjalani hari-hariku. Baru ku duduk di ranjang suara ketukan pintu terdengar.
"Adek Nginap kan?" tanya Bang Hakim saat ku membuka pintu. Dia kemudian masuk ke dalam kamarku. Aku menganggukan kepalaku.
Bang Hakim mendekatiku, dia meraih tanganku dan mengengamnya.
"Pas Akad nanti, Adek harus dampingi Abang ya." Pintanya padaku. Mata itu menatapku. Jelas bahagia terpancar di sana. Kembali aku menganggukan kepalaku.
Bang Hakim memelukku, di ciumnya ujung kepalaku.
"Terima kasih ya, karena Adeklah Abang bisa hidup bersama dengan Wanita yang Abang cintai. Pengorbanan Adik menjadi Ibu penganti bagi Anak kami kelak tak akan Abang lupa, tak tau dengan apa Abang membalasnya." ucap Bang Hakim.
Aku mengangkat wajahku. Menahan segala rasaku. Memaksa senyumku.
"Adek bahagia, asal Abang bahagia." ucapku. Jawaban klasik untuk menutupi hati yang terluka.
***
Mamah Mertua mengundang MUA terbaik di kota ini untuk mendadani kami, sebuah gaun bermerk yang setauku mahal Mamah berikan padaku.
Aku tak ikut menyaksikan Akad Bang Hakim tadi pagi, karena aku tak sangup. Walaupun Bang Hakim memaksaku. Aku iyakan tanpa ku penuhi.
Resepsi Mewah di gelar di sebuah hotel.
Benar, aku tak sangup melihatnya. Aku keluar dari tempat pesta. Beben mengejarku. Aku tak dapat menahan tangisku untuk pertama kalinya. Beben memelukku, tanganya mengelus pundakku.
Isakku tak tertahan.
"Mbak ... Mbak Nggak sa ... sangup, Mbak menyerah." ucapku terbata. Ini sakit luar biasa sakit. Melihat orang terkasih berbahagia di atas pelaminan dengan istri tercintanya. Hatiku hancur berkeping, remuk redam ...
"Kita pulang dulu ya." Beben mengangkat wajahku, mengusap air mataku dengan tanganya.
Dia menangis juga, aku lihat air memgembun di sepasang matanya.
Aku kembali membenamkan wajahku di dadanya, dadaku semakin sesak terasa.
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel