Cerita Bersambung
~Menyerah~
"Kita pulang dulu ya." Beben mengangkat wajahku, mengusap air mataku dengan tanganya. Dia menangis juga, aku lihat air memgembun di sepasang matanya.
Aku kembali membenamkan wajahku di dadanya, dadaku semakin sesak terasa.
Sungguh ini rasanya lebih sakit dari yang kuperkirakan sebelumnya. Meskipun aku sadar sepenuhnya Bang Hakim tidak mencintaiku, tapi bagaimanapun aku memiliki rasa padanya dan aku adalah istrinya. Walau hati ini semakin sakit bila mengingat tujuan Bang Hakim menikahiku, mengingat semua demi perempuan itu.
"Mbak, ayok aku sudah pesankan taksi, kita tunggu di depan." Beben mengangkat wajahku, kembali menghapus pipi basahku. Dia mengandengku ke depan Lobby.
Tak perduli beberpa pasang mata memperhatikanku. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi apa perduliku juga.
Sebuah telpon masuk ke ponsel Beben, dari pengemudi taxi yang sudah menunggu di depan hotel. Kami kembali beranjak, sebuah mobil berwarna putih menjadi tujuan Beben yang mengandengku.
"Aku sudah kirim pesan ke Cand kalau kita pulang duluan." terang Beben, saat Taxi yang kami tumpangi mulai melaju.
Aku sendiri tak terlalu mendengar lagi apa yang Beben katakan, kepalaku rasanya sakit sekali, dan aku lelah sangat lelah. Beben menarikku pelan di pangkuannya, aku sudah merasa antara sadar dan tidak. Aku lelah sekali ...
Saat terbangun aku sepertinya sudah di kamar, mataku sulit sekali di buka lebih lebar. Mungkin bengkak karena menangis tadi. Tapi kepalaku sunguh pusing luar biasa. Badanku juga lemas tanpa tenaga.
"Sayang." Suara Mama kudengar, kulihat lebih jelas, banyak orang di sini. Mengapa mereka di sini, bukankan harusnya mereka berpesta.
"Ganti lagi kompresnya, sudah kering ini." Mama memberikan sesuatu yang di ambilnya dari keningku pada Cand. Kemudian memasangkanya kembali, seperti handuk hangat. Aku masih bingung dengan yang terjadi. Tapi jangankan tubuh, pikiranku saja sudah lelah.
Hanya sebentar mata ini terbuka, aku kembali memejamkannya. Aku masih mendapati kesadaranku walau mataku terpejam.
"Adek kenapa?"
Itu suara Bang Hakim, kenapa dia disini, harusnya kan dia, ah .. hatiku sakit sekali.
"Ambil tas Abang di kamar." perintahnya pada seseorang.
"Dek."
Terasa tangan lembut menyentuh pipiku, pasti milik Bang Hakim, hatiku bergetar, rasaku menandai setiap sentuhannya.
"Panas sekali." ucapnya.
"Tiga puluh sembilan koma delapan, panasnya tinggi sekali. Dek bangun minum dulu." Kurasakan usapan lembut di pipiku dan berubah menjadi tepukan pelan.
Kembali kupaksa membuka mataku.
Bang Hakim membangunkan dan membantuku minum.
"Ini minum dulu obatnya." ucapnya lagi. Setengah sadar aku meminumnya. Bang Hakim kembali membaringkanku.
Saat kuterbangun kembali sudah sepi, tak ada orang lagi. Aku kaget saat melihat seseorang yang tertidur di sisi kananku. Apa berarti dia menungguiku dari semalam. Harusnya kan dia bersama istrinya. Ah hatiku kembali sakit terasa.
Kupandangi wajah tampan yang juga nampak lelah itu. Tanganku terulur membelainya, dadaku berdesir hebat. Rasa ini tak bisa ku kendalikan.
Terlihat dia merespon sentuhanku, dia terbangun. Tanganya langsung menyentuh kening dan pipiku.
"Panasnya sudah turun." Ucapnya kemudian masih dalam posisi tertidur.
"Abang ngapain di sini?" tanyaku saat aku kembali sadar, dia baru menikah dengan perempuan itu.
"Badan Adek panas sekali, Adek demam . Abang kuatir makanya di sini." ucapnya.
"Riana?"
"Masih di rumahnya, minta semalam ini tidur dengan mamanya, maklum anak mama." ceritanya dengan tersenyum. Melihat senyum saat menceritakan perempuan itu hatiku kembali seperti tersayat.
"Adek tidur lagi, Adek sepertinya kelelahan." Ucapnya sambil mengusap pipiku. Bukan hanya usapan, apa salah bila ku berharap sebuah pelukan hangat darinya, atau dekapan mesra tangan kokohnya, atau membiarkan tubuh lelahku ini bersandar di dada bidangnya.
Memikirkan itu dadaku kembali sesak. Apa yang bisa kuharapkan dari pria yang menikahiku dengan alasan ingin menikah dan hidup bersama dengan perempuan lain yang di cintainya. Aku kembali memejamkan mataku, menikmati perasaanku sendiri.
Pagi saat kembali terbangun, Pria itu sudah tak ada lagi. Aku bangun untuk sholat shubuh, sudah jam setengah lima pagi.
Baru selesai sholat terdengar ketukan dan pintu langsung berderit terbuka. Aku masih duduk di atas sajadahku. Aku menoleh ternyata Mama.
"Sayang."
Mama menanyakan kondisiku. Ku jawab sudah membaik. Ku memintanya tak perlu mencemaskanku.
"Lepas mandi, Rinda keluar Ma. Dah baikan kok." ucapku yang masih bergeming di tempat yang sama.
Aku terperanjat saat melihat perempuan itu sudah duduk di meja makan bersama keluarga yang lain. Ragu kulangkahkan kakiku, aku sudah akan berputar kembali ke kamar, saat terdengar suara Papah memanggilku. Hingga semua yang ada di ruangan itu melihatku.
Akhirnya aku ikut bergabung di meja itu. Ah tangan Riana dan Bang Hakim saling bertautan saat ku melewatinya. Semua menanyakan kondisiku. Kujawab sudah membaik. Pasangan baru itu tak sungkan menunjukkan kemesraannya di depan kami semua. Jujur hatiku panas melihatnya. Tapi aku bisa apa.
Begitupun, saat kami berkumpul di ruang tengah. Terlihat Riana ingin mendekatkan diri pada keluarga ini. Walau masih di sambut dingin. Pegangan tangan mereka tak pernah terlepas selama mengobrol di ruang tengah. Aku permisi dengan alasan masih pusing. Dan kembali ke kamar. Tak berselang mereka mengikutiku satu persatu ke kamarku.
Aku sampai bingung melihatnya. Mereka beralasan menanyakan kondisiku. Tapi malah mengobrol sendiri di kamarku.
***
Aku sedang membantu Mba Astuti membersihkan dapur ketika Riana datang. Ini hari ke dua dia menyandang gelar sebagai Nyonya Hakim. Dia menyapaku dengan manis. Dan mulai berbasa-basi. Aku lanjutkan membuat kudapan untuk Oma
Bang Hakim sudah berangkat ke rumah sakit, sedangkan dia masih cuti. Terlihat dia mulai memindai setiap sudut ruangan. Tanganya mulai bergerak di sertai kata perintah dari bibir mungilnya. Dia mengatur letak barang di ruang makan dan dapur.
Tapi dia terlihat bingung sendiri, tampak empat Mbak ART saling berpandangan. Aku masih meneruskan kegiatanku.
"Rin, enak nya itu di letakkan di sana , atau di situ." tunjuknya pada Kulkas besar yang ada di depannya.
"Biar tetap di situ saja, sudah pas. Bisa di jangkau dari dapur dan ruang makan dengan jarak yang sama." ucapku. Dia terlihat memanggutkan kepalanya.
"Nggak jadi." ucapnya pada ART yang membantunya. Mereka yang sudah siap mulai menurunkan bahunya.
Aku memilih pergi setelah selesai dengan Kudapan sehat untuk Oma.
"Mba Dokter Pras sebentar lagi datang, terapi di majukan." ucap Mba Lina saat ku berpapasan di depan Kamar Oma. Aku memberikan mangkuk yang kupegang padanya, untuk di taruk di ruang terapi Oma.
"Oma, bersiap Dokter Pras sudah Oteweh," ucapku saat masuk ke kamarnya. Aku segera membantunya naik ke kursi roda, kemudian mendorongnya ke tempat terapi.
Tak berselang, Dokter muda itu sudah muncul dengan senyum manis yang menghias wajahnya.
Dia menyapa manis Oma dan diriku juga. Beberapa kali bertemu membuat kami sudah mulai akrab dan mengobrol lebih lepas. Dia cukup lucu Oma sangat terhibur dan selalu bersemangat mengikuti terapinya.
***
Dua minggu ini ku lalui dengan pemandangan dan Aktifitas yang sama. Entah kenapa aku merasa Riana sengaja berlaku mesra di depanku. Tapi dia selalu terlihat lembut dan perhatian padaku bila di depan Bang Hakim dan Oma.
Sudah semingguan ini aku memulai berolah raga, memanfaatkan ruang gym yang berisi peralatan lengkap tapi tak digunakan. Apa lagi yang bisa ku kerjakan, kegiatanku ya itu-itu saja. Sambil menunggu waktu untuk eksekusi di meja operasi.
"Mas, kapan di mulai programnya?, aku sudah tak sabar. Kita harus segera memiliki anak, supaya Oma dan orang tuamu bisa menerimaku sepenuhnya."
Langkahku terhenti saat mendengar suara Riana.
"Secepatnya sayang, sekalian dengan program mu juga, saran Mas pakai metode Dilatasi saja, memang memakan waktu lama. Mas sabar menunggu kok. Kalau operasi sangat rumit." Terdengar suara Bang Hakim.
"Tapi program bayi nya bisa di segerakan kan Mas, biar aku lebih tenang."
"Iya, besok kita akan periksa. Setelah itu baru atur waktunya."
"Mas ngerasa nggak kalau, Rinda itu terlihat beda, dia selalu buang muka kalau lihat kita berdua. Sepertinya dia cinta sama Mas."
Dadaku berdetak lebih kencang saat Riana menyebut namaku. Terlanjur basah aku bergeming mendengarkan pembicaraan mereka.
"Perasaan kamu saja."
"Ih, Mas nggak peka sih. Makanya sengaja aku panas-panasin biar dia tau Mas Hakim cuma milikku."
Hening ... tapi aku masih bergeming di tempat yang sama.
"Jangan seperti itu, harus diingat karena Rinda lah kita bisa bersama, kita juga belum sampai ke tujuan kita, memiliki anak atas bantuannya."
"Mas suka sama Rinda?" Suara Riana terdengar ketus.
"Mas sayang sama Rinda, dia Adek Mas. Sudahlah jangan befikir yang tidak-tidak. Aku sudah mengikuti idemu meminta bantuanya, dia sudah rela berkorban untuk kita." jawab Bang Hakim.
Aku mulai memundurkan kaki, dan kembali masuk ke ruang olahraga. Aku kembali terpaku. Apa yang kupikirkan, berharap Bang Hakim akan memiliki rasa yang sama denganku, mimpi ... aku sedang menertawakan diriku sendiri. Aku menjadi istrinya, agar dia bisa memperistri Riana, apa yang ku harap dari hubungan ini.
Sudahlah Rinda, lupakan anganmu. Lupakan cintamu. Tak ada gunanya kau terus menyemai rasa untuknya. Cukup selesaikan tugasmu yang sudah terlanjur engkau sepakati. Dan segera pergi ... jangan pernah berharap cinta pria itu lagi, hanya akan menyakiti hatimu sendiri.
"Mba Rinda, Oma minta di temani terapi. Dokter Pras sudah datang." ucap Mba As, cukup membuatku kaget. Karena pikiran sedang melayang.
"Hari minggu?, tumben."ucapku.
"Oma sedang semangat, pengen cepat sembuh sepertinya." jawab Mba As.
Aku tersenyum, Semangat Oma untuk sembuh semakin hari semakin besar.
Aku berjalan bersisian dengan Mba As, melewati kamar Bang Hakim, sepi. Kemudian mulai menuruni anak tangga.
"Rinda mandi sebentar." ucapku ke Mba As.
Aku percepat mandiku, tak ingin mereka lama menunggu.
Sudah ada Bang Hakim dan Riana juga ternyata. Oma langsung memanggilku mendekat padanya. Dokter Pras menyapaku manis seperti biasa.
Dokter Pras memulai terapi untuk Oma. Pasca stroke memang Oma belum bisa kembali berjalan, Dokter Pras yang membantunya dengan jadwal terapi yang rutin. Pasti salah satunya karena sabar dan telaten, Bang Hakim memilih temannya tersebut sebagai Dokter Oma.
Selain itu pembawaan Dokter Pras yang supel dan humoris membuat susana hati Oma ikut bahagia juga.
"Kemajuan Oma luar biasa." ucap Dokter Pras saat melihat Oma bisa berdiri tanpa bantuan.
"Rinda yang terus menyemangati, terus sore dia juga yang bantu Oma terapi." Jelas Oma."Kamu ajarin bentar dia sudah paham." tambah Oma.
"Wah, Oma dan Cucunya sama hebatnya." puji Dokter Pras.
"Dokter kaya muji anak TK." Celetukku yang disambut tawa lainnya. Terlihat Bang Hakim dan Riana ikut tertawa.
Tangan mereka terlihat saling bertautan, seakan tak bisa di pisahkan walau sedetik. Kuhalau rasa panas di dadaku.
"Sudah bisa jadi terapis pribadi ya." ucap Dokter Pras lagi.
"Kalau butuh Asisten Rinda siap Pak Dokter." Candaku lagi.
"Sekarang saya butuhnya yang siap jadi Istri, mungkin Rinda mau?" ucapnya lagi, dia mengerlingkan matanya
Aku tertawa, mendengar canda Doter muda itu. Omapun ikut tertawa.
"Hahahaha, ketinggian Pak Dokter, takut jatuh Rinda nanti, sakit." balasku.
Tapi tidak dengan Bang Hakim, dia terlihat sama sekali tak tertawa seperti tadi. Aku sepintas melihat ke arahnya di sela tawaku.
Selesai terapi, Oma meminta aku mengantar Dokter Pras ke depan. Kami berjalan bersisian.
"Masak hari minggu di rumah saja" ucapnya, dengan wajah sedikit menoleh ke arahku.
"Lah Dokter, hari minggu malah kerja." balasku.
"Aku kan ngapelin Oma, sama cucu cantiknya. Sayang dia sama sekali nggak peka." ucapnya tanpa melihat ke arahku. Aku yang sekarang melihat.
"Apa Dokter sedang mengodaku, sungguh aku tersipu." Balasku dengan memegang kedua pipiku.
Dokter itu tertawa.
"Berapa umurmu? Kamu terlihat seperti anak belasan kalau seperti itu."
"Rahasia, Rinda jadi malu, sudah tua soalnya." ucapku.
Lagi-lagi dia tertawa. Kami sudah sampai di halaman depan. Di samping mobilnnya.
"Hati-hati Pak Dokter, terima kasih selalu meluangkan waktu untuk Oma." ucapku. Dokter itu tersenyum.
Aku langsung kembali masuk saat Mobil Doter Pras keluar pagar.
Langkahku terhenti saat berpapasan dengan Bang Hakim. Aku hanya menyapa namanya kemudian kembali beranjak.
Tangan Bang Hakim meraih jemariku. Aku berhenti di sapinnya dengan posisi berlawanan arah.
"Kenapa Adek Ngindarin Abang?" tanyanya kemudian.
Memang semenjak Riana di sini aku menjaga jarak dengannya.
"Adek takut Istri Abang salah paham, yang Membuat Abang dalam masalah nantinya." alasanku.
"Benarkah itu alasannya, bukan karena hal lainnya?, Abang lihat Adek semakin dekat dengan Pras, Adek suka padanya?" Bang Hakim memundurkan langkahnya, Hingga kami berhadapan sekarang.
"Wanita mana yang tidak suka denganya, Dia baik, tampan dan menyenangkan." jawabku dengan sebuah senyuman.
"Haiy, kenapa Abang melihat Adek seperti itu?" ucapku lagi. Bang Hakim terlihat tak suka dengan jawabanku.
"Karena Adek milik Abang sekarang." ucapnya sambil berlalu. Kenapa hatiku bergetar apa maksudnya?. Apa dia mulai menyukaiku sebagai seorang wanita. Tapi apa gunannya sekarang. Keinginannya hidup bersama dengan Riana sudah terpenuhi. Dia milik Riana sepenuhnya, dia mencintaikupun tak ada artinya sekarang.
Tujuanku sekarang hanya satu, segera memenuhi janjiku, dan aku akan pergi selamanya dari Kehidupan Bang Hakim. Cintanya pada Riana begitu besar, aku menyerah. Aku mengaku kalah. Tak ingin menambatkan hati pada pria yang tak mungkin ku miliki.
***
"Rinda kamu siapkan badan kamu, jaga kondisi. Proses In Vitro akan segera dilakukan. Terima kasih sudah mau menjadi Ibu penganti untuk bayiku dan Bang Hakim. Tapi aku harap kamu juga harus sadar posisimu di sini. Jangan bersikap berlebihan, dia suamiku." Rinda menghampiriku yang sedang memberi Ikan di kolam belakang.
Aku masih meneruskan menebarkan makanan itu ke kolam.
"Kamu mendengarku? Prosesnya segera dilakukan siapkan dirimu." lanjutnya lagi.
"Aku mendengarnya, aku sudah siap." ucapku, kemudian meninggalkanya.
Apakah aku siap? Tidak aku mulai ketakutan sendiri. Dadaku berdegub semakin kencang. Aku takut sekali. Akan seperti apa dan di apakan. Membayangkan harus merelakan keperawanaku harus dilepaskan di meja operasi. Itu rasanya sakit sekali. Bukankah harusnya kuberikan itu pada suamiku.
Belum terlambat untuk mundurkan?, ini tak adil untukku. Apakah harus seperti ini membalas budi. Mengorbankan diriku dan masa depanku. Tidak, aku juga ingin hidup normal, aku juga ingin bahagia. Apakah uang jawaban dan menjamin segalanya. Kesucian, keperawan adalah kehormatan. Bagaiamana aku memulai hidupku setelah ini. Bagaimana kalau setelah ini aku bisa jatuh cinta lagi. Apa yang akan kukatakan padanya kelak. Mengaku janda? Sedang pernikahanku saja tak ada yang tau.
Kepalaku sunguh sakit. Tapi aku sudah berjanji pada Mama dan Bang Hakim. Karena Bang Hakimlah mama tetap berada di antara kami, walau semua pastilah sudah menjadi kehendak-Nya. Dan dia memohon kepadaku untuk membantunya. Aku mau melakukannya juga karena aku mencintainya. Tapi ...
***
[Abang, Adek inggin bicara berdua. Adek tunggu di Cafe Ow]
Pesan ku kirim ke nomor Bang Hakim. Riana memberi tahuku, proses di mulai dengan menyamakan siklus ku dengan Riana, setelah pengecekan pada kondisi kesuburanku. Setelah itu Riana akan melakukan operasi lebih dahulu untuk di ambil sel telurnya. Setelah sel telur dan pasangannya di buahi dan berhasil menjadi Embrio, baru di tanamkan ke rahimku.
Itu juga belum tentu berhasil setahuku, bisa lebih dari satu kali bahkan lebih baru berhasil. Aku mulai mencari tau tentang hal ini. Dan di Indonesia itu tindakan tidak Legal.
[Ada apa?, Abang kesana sebentar lagi, Abang juga mau bicara]
Balasnya. Aku tak membalasnya lagi. Keputusanku sudah bulat. Aku mundur, aku akan menganti semua biaya rumah sakit mama, aku akan bekerja. Aku kesampingkan rasa cintaku, aku harus bisa berfikir jernih. Mama dan Nenek pasti akan mengerti dan menerima keputusanku.
Tak berselang lama Bang Hakim sudah terlihat memasuki Kafe dan berjalan ke arahku. Aku mengajaknya ke Private room karena akan lebih nyaman kami bicara.
Bang Hakim sedang tak terlihat Baik-baik saja. Wajahnya terlihat kuyu. Tak ada binar dalam mata itu.
Setelah pesanan datang baru aku membuka pembicaraan.
"Abang kenapa?" tanyaku padanya. Kenapa malah jadi mencemaskan kondisinya.
"Adek saja dulu, katanya mau bicara."
"Abang kan juga, tadi katanya mau bicara juga, Abang dulu saja." ucapku padanya.
"Riana ... sel telurnyanya ... kualitasnya tidak bagus." ucapnya.
Aku seperti biasa tak menyelanya, walau dengan pertanyaan.
"Percuma juga walaupun dengan proses In Vitro itu tidak akan berhasil." lanjutnya.
"Riana tak bisa memiliki anak, dengan cara apapun." Bang Hakim menangis saat menjelaskanya padaku.
Aku masih terdiam, Tuhan menjawab Doaku, berarti aku tak akan menampung bayi mereka di rahimku.
"Abang tak sangup mengatakannya pada Riana, pasti dia akan hancur sekali. Harapannya begitu besar pada program ini."
Ingin kudekap Pria yang juga suamiku itu, tapi saat sadar untuk siapa dia menangis aku mengurungkan niatku.
"Adik masih mau bantu Abang?," tanyanya padaku, dia mengengam tanganku. " Kita teruskan Program ini, dengan sel telur Adek, tapi jangan katakan hal itu pada Riana, kemungkinan besar akan berhasil. Tapi ini menjadi rahasia kita." ucapnya.
"Maksudnya Bang." tanyaku bingung.
Dia menjelaskan tentang inseminasi buatan, dimana sel telur yang digunakan bersama milik Bang Hakim. Berarti itu anakku?
"Tapi itu berarti Anak Rinda kan Bang?" tanyaku padanya. Dia mengangguk.
"Abang tak akan menyentuhmu, semua di lakukan dengan prosedur In Vitro." ucapnya lagi.
"Abang Jijik kah sama Adek?" tanyaku padanya. Dia menatapku bingung.
"Maksud Adek?"
"Kenapa Abang tak mau menyetuh Adik?"
"Adek bicara apa? Abang hanya .. ah ... Abang tak ingin menjamahmu bukan berarti Abang Jijik. Abang hanya ... ." Bang Hakim terdiam.
"Bagaimana mungkin Abang meniduri Adek Abang sendiri?" lanjutnya. "Abang tak ingin merampas kehormatanmu."
Aku tersenyum masam.
"Abang membiarkan gunting dan lain sebagainya yang merampas kehormatan Adek, begitu?, Apa bedanya Bang?, apa penanaman Embrio itu bisa di lakukan tanpa merampas kehormatan Adek?" tanyaku
"Abang Dokter, Abang lebih pahamkan?, Adek mohon maaf. Adek tak bisa, Adek mundur dari kesepakatan ini. Rinda janji akan menganti semua biaya operasi Mama. Rinda akan bekerja keras untuk itu. Tapi tolong jangan paksa Rinda menyerahkan kehormatan Rinda di meja Operasi." Ucapku, tangisku tak dapat kutahan.
Bang Hakim kaget mendengarku. Dia hanya duduk terpaku.
"Adek sudah janji sama Abang." ucapnya lagi. "Adek harapan Abang satu-satunya." Bang Hakim terlihat putus asa.
"Uang bisa membeli segalanya kan?, Abang bisa cari Perempuan lain."
"Tapi Abang Ingin Adek yang mengandung Anak Abang." ucapnya.
"Adek mau mengandung Anak Abang, tapi bukan dengan cara seperti ini." ucapku."Dan Adek tak akan menjual Anak Adek pada siapapun."
"Maksud Adek apa?"
Aku mengelengkan kepalaku.
"Adek mundur Bang, Adek tak bisa membantu Abang." ucapku.
Mata itu Nanar menatapku.
"Ceraikan Adek ." Lanjutku.
Ucapanku cukup menyetaknya. Bang Hakim mengelengkan kepalanya.
"Tak ada gunanya pernikahan kita, untuk apa?, lebih baik di akhiri sekarang juga." ucapku.
"Adek mau ninggalin Abang?"
"Adek nggak akan pergi jauh, Adek masih punya hutang pada Abang, Adek hanya ingin di bebaskan dari ikatan yang tak berguna ini." jelasku padanya.
"Abang menikahi Adek karena Riana kan?, sekarang Adek sudah tak berguna untuk kalian, jadi lepaskan Adek, biarkan Adek menjalani kehidupan Adek sendiri."
Aku meninggalkan Bang Hakim yang masih terpaku. Entah kudapatkan darimana keberanianku barusan. Badanku lemas seketika,antara lega, takut, sedih semua bercampur jadi satu.
==========
Ku melangkah gontai, ku pergi keluar setelah membayar pesananku tadi. Semua rasa bercampur aduk dalam dada ini. Tapi setidaknya aku lega, sudah menyampaikan semua ke Bang Hakim. Walaupun dalam hati kecilku aku tak tega melihatnya sekacau itu.
Dia pria baik, tapi cinta telah membutakannya.
Cinta kepada Riana lah yang membuatnya tak peka, kalau dia telah menyakitiku.
Sebagai adiknya ataupun sebagai istrinya. Aku belum membicarakan keputusanku ini kepada siapapun selain ke Bang Hakim, belum juga Oma ataupun Mama. Tapi segera ku beritahu kepada mereka.
Apakah cinta memang menyakitkan seperti ini. Aku baru pertama kali jatuh cinta, baru kepada Bang Hakimlah ku merasakan perasaan yang berbeda. Walau dia hanya mengangapku adik saja, tapi rasa ini hadir begitu saja.
Tanpa ku tahu kenapa dan apa yang membuatku begitu menyukainya.
Taksi yang kupesan telah menunggu, yang kemudian membawaku pulang. Pulang kerumahku sendiri, Bukan istana yang beberapa waktu ini kutinggali.
Mama menyambutku, menanyakan padaku apa ada masalah, aku belum siap mengatakannya sekarang.
Ku tunggu diriku lebih tenang dulu, aku tak ingin dan belum siap mendebatnya kalau ternyata Mama tak menyetujui keputusanku.
Aku menjawab semua baik-baik saja. Aku juga sudah menghubunggi Oma, aku ijin tidur di rumahku sendiri, aku tak menjelaskan sampai kapannya. Tapi hatiku tak tenang meninggalkan Oma lama-lama.
Aku harus segera mencari pekerjaan kembali, selama beberapa waktu ini semua kebutuhanku dan keluargaku Bang Hakim yang menjaminnya. Dia memberiku Kartu ATM sendiri, yang selalu di isinya tiap minggu.
Aku hampir tak mengunakannya, karena semua kebutuhanku sudah tercukupi di sana.
Tak kusesali pertemuanku dengannya, karenanya aku masih bisa mendekap Mama. Yang kusesali rasa ini, kenapa hadir tanpa permisi, sedangkan ku tau pasti sosoknya tak bisa kumiliki.
"Mah, Rinda nginep di sini beberapa hari, Rinda kangen Mamah." alasanku pada Mamaku. Semoga dia tak curiga.
"Dah bilang Hakim?" tanya Mama, aku mengangguk. "Oma gimana, mau kamu tinggal?" tanya Mama lagi
"Rinda juga sudah ijin Oma kok, katanya nggak apa-apa." jawabku.
Aku segera ke kamarku. Menyiapkan berkas-berkas untuk melamar pekerjaan. Tak mumgkin aku kembali ke Perusahaan Pak Surya, aku keluar ketika baru sebulanan bekerja. Aku juga sungkan pada Vero. Tapi sepertinya aku tetap membutuhkan bantuan Vero, koneksinya dan kenalannya cukup banyak. Dan itu akan sangat membantu.
Malam ini aku berkumpul seperti biasa, aku bisa menutupinya dengan sempurna, kecuali Beben, seperti biasa dia melihatku dengan tatapan berbeda.
Seperti cenayang saja dia, aku bahkan tak bisa menutupi apapun darinya.
"Besok." Janjiku padanya, saat dengan isyarat mata menanyakan ada apa sebenarnya.
***
Hari ini Beben kuliah sore ke malam, pagi-pagi aku keluar dengannya. Berhenti di sebuah warung mobil untuk sarapan dan memberi tahu apa yang ingin dia ketahui.
"Aku mendukung semua keputusan Mbak, memang harusnya seperti itu. Mbak nggak sendiri, aku akan bantu, bukan hanya Mbak sendiri yang harus menangung ini, tapi kita semua seluruh keluarga. Harusnya aku yang bertanggung jawab, aku anak lelaki tertua." ucapnya setelah aku menceritakan yang terjadi.
"Makasih ya, kamu yang paling ngerti Mbak." ucapku padanya. "Oh ya, mbak tolong anterin ke Oma ya habis ini, jadwalnya terapi jam sepuluh nanti." pintaku ke Beben krmudian.
"Mbak masih ingin tinggal di sana?"
"Selama Mbak belum bekerja, sebisa mungkin Mbak akan temani Oma, mudah-mudahan Oma cepet sembuh bisa jalan lagi. Perkembangannya bulan ini pesat sekali, sayang kalau sampai semangatnya turun. Hanya siang saja, selesai Mbak pulang kok." jawabku.
Entahlah, aku merasa memiliki tangung jawab pada Oma, dia begitu baik dan sayang padaku. Akupun sayang pada Wanita itu dari hatiku.
Tak terasa waktu beranjak begitu cepat, membawaku ke jam setengah sepuluh, kami tadi melanjutkan obrolan di taman dekat warmob.
Motor yang kutumpangi memasuki perumahan besar dan elite itu.
Sejauh mata memandang hanya rumah besar dan mewah yang terlihat.
"Mbak Beben nggak mampir ya, mau langsung ke tempat kerja." pamit Beben saat ku sampai di depan gerbang rumah Oma.
"Iya udah hati-hati ya." ucapku padanya, dia mengambil helm dari tanganku kemudian mencantolkanya di depan.
Dia berlalu setelah salim mencium tanganku. Aku masih memandanginya, motor buntut peningalan Papa setia menemaninya. Dia tak malu mengunakannya, tapi apapun yang di pakainya tak menutup pesona dan ketampanannya.
Aku cukup salut pada kedua adikku, mereka tetap percaya diri dengan apa yang mereka miliki. Tak pernah menuntut apapun, dan sangat sayang pada keluarga.
Semoga kelak mereka berdua mendapatkan lebih dari apa yang mereka cita-citakan.
Aku sangat menyayangi mereka. Mereka sebagian dari semangatku.
Kedua adik tampanku dengan kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing, tapi selalu tampak sempurna di mata dan hatiku.
Sebuah mobil menepi dan akan masuk, Mas Didik mendorong pagar yang tadi sedikit dibukanya untukku. Aku hafal ini mobil siapa, senyum manis langsung terlihat saat kaca mobil di turunkan.
"Ngapain di sini?" tanyanya kemudian.
Aku tersenyum dan memintanya masuk terlebih dahulu dengan isyarat tanganku. Diapun melajukan mobilnya masuk. Aku mengikutinya setelah menyapa Mas Didik.
Dari gerbang ke halaman lumayan juga jaraknya bika di tempuh dengan jalan kaki.
Dokter Pras sudah menungguku, dia sedikit menyandar di mobilnya.
"Aku dari rumahku sendiri tadi, cari sarapan, terus kesini karena karena Oma mau terapi." jelasku sebelum dia bertanya lagi. Aku sudah sampai di depanya.
Kami pun mulai beranjak masuk.
"Kamu nggak tinggal di sini?"
"Iya ...di sini, cuma kangen Mama aja, jadi pulang dulu ke rumah." jawabku.
"Oh ya Dok, kondisi Oma gimana?, Aku lihat sudah banyak kemajuan, bisa berdiri sendiri tanpa bantuan. Masih lama nggak biasanya untuk bisa berjalan." tanyaku kemudian.
Dokter Pras mulai menjelaskan, melihat kondisi Oma, asal tetap seperti ini tak memerlukan waktu lama Oma untuk pulih. Walaupun tak bisa sempurna seperti sediakala. Tapi Oma bisa beraktifitas kembali hanya tetap perlu pendamping dan di kontrol semua. Tetap berolahraga yang ringan dan makanan juga harus sehat.
Aku cukup senang mendengarnya.
Oma yang sudah bersiap di ruang terapi, begitu senangnya melihat kami datang.
"Kok bareng?" tanya Oma setelah ku salim dan menciumnya.
"Ketemu di depan Oma." jawabku.
Setelah sedikit bercanda Dokter Pras dan Oma memulai terapinya.
Seperti biasa, Dokter itu mencairkan suasana dengan candanya.
Memang dia tak setampan Bang Hakim, tapi dia cukup manis dan menyenangkan.
Bang Hakim ... dia pasti masih di rumah sakit. Biasanya dia akan pulang siang dan akan kembali lagi sore. Semoga aku tak bertemu dengannya. Sedang malas saja.
Dan Riana pasti dia sedang bekerja seperti biasanya.
Selesai terapi aku mengantarkan Dokter Pras ke depan. Dia suka sekali melontarkan candaan yang membuatku tertawa.
Kami berpapasan dengan Bang Hakim di pintu masuk.
"Hai, lihat siapa yang datang. Dokter tampan kita." Dokter Pras menjabat tangan Bang Hakim.
Bang Hakim menanyakan perkembanhan Oma. Setelah menjelaskan ke Bang Hakim, Dokter Pras pamit karena ada janji. Aku mengantarkannya sampai mobil, seperti biasanya.
"Eh ada sesuatu di rambutmu." ucapnya, tanganya reflek mengambilnya dari puncak kepalaku.
Daun kering di tunjukkannya padaku. Sesaat tatapan kami bertemu. Kami hanya saling diam.
"Katanya ada janji. Malah liatin Rinda di sini" ucapku kemudian. Dia terlihat salah tingkah.
"Betah aja liat kamu." ucapnya kemudian.
"Wajahmu mengalihkan duniaku." ucapnya, senyum menghias wajah itu.
"Itu kan lagu, nggak kreatif." ucapku yang di sambut tawa renyahnya.
Aku membalikkan badan setelah mobil Dokter Pras keluar pagar.
Sedikit terkejut, Bang Hakim ternyata belum beranjak dari tempatnya berdiri sedari tadi.
Setelah kemarin, aku merasa canggung sendiri. Tapi melihatnya sekarang debaran halus kembali terasa, desiran lembut menekan sukma menjalar ke dalam dada.
"Kenapa semalam tidak pulang?" tanyanya saat ku sampai di dekatnya.
Tangan itu mengusap rambutku, dia menatapku lembut. Ada apa ini?
Dia merangkulku masuk kedalam.
"Kenapa tak ijin Abang kalau tidur di Mama." ucapnya lagi.
"Adek sudah bilang ke Oma." alasanku.
Tangan Bang Hakim masih di pundakku, merangkulku seperti dulu.
"Abang telpon kenapa tak di angkat?" tanyanya lagi.
Aku tak punya alasan untuk ini kecuali ...
"Malas." jawabku.
Bang Hakim mengacak rambutku dan tertawa. Ada apa dengannya, kemarin dia terlihat kacau tapi sekarang ? Dia bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
Kami meneruskan langkah, menuju ruang terapi Oma, tapi Oma sudah tak ada.
Sepertinya sudah kembali ke kamarnya. Aku akan menyusul Oma, ketika tangan Bang Hakim menahanku.
"Adek bisa bantu Abang, kepala Abang sakit sekali tolong pijitin yah." pintanya menarikku dan mendudukanku di balai Oma.
Dia menarik kursi dan duduk di depanku. Di condongkan tubuh itu ke arahku.
"Ayok." tanganya meraih tanganku dan mepetakkan di atas kepalanya.
Tanganku mulai bergerak pelan menekannya berlahan, tapi dia terus menatapku, membuatku tak nyaman.
"Pejam!"pintaku padanya," Bagaimana Adek bisa pijat, kalu Abang liatin Adek gitu." ucapku.
"Nggak bisa mejam, nggak tau kenapa." alasannya. Tapi kenapa senyumnya terlihat aneh. "Kok berhenti, pijit lagi!" Perintahnya.
Tak sadarkah dia sedang menyisakku, kami terus bertatapan, gerakanku terasa bukan seperti memijat lagi. Tapi membelainya, begitupun ketika kuturunkan tanganku di kening bergerak ke pelipisnya, hanya sentuhan tanpa tenaga. Tapi Bang Hakim hanya bergeming, dan mata itu terus saja menatapku tanpa mau beralih.
Dadaku sudah terasa sesak sedari tadi, tapi ada rasa yang menahanku di sini, di situasi ini.
Melihatnya sedekat ini, ada rasa bahagia menghampiri. Seperti tak ingin memperdulikan hal lainnya, selain dirinya.
Tangan Bang Hakim menurunkan tanganku dan mengenggamnya.
"Sudah, nanti Adek capek, Sudah enakan kok." ucapnya.
Aku bahkan tidak memijitnya hanya mengusapnya, enakan dari mana coba, tapi aku memang capek, bukan tangan tapi hatiku.
"Adek mau ke Oma dulu." Ucapku.
"Abang juga, ayok, eh Makasih yah, tangan Adek memang luar biasa." ucapnya kemudian mengecup tanganku yang masih di gengamnya. Dia menarikku dan kembali merangkulku saat ke kamar Oma.
Apa yang terjadi dengan pria ini, kemarin aku meninggalkannya dalam kondisi begitu kacau. Tapi sekarang dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Dia memperlakukanku seperti dulu sebelum ada Riana, bahkan lebih dan sedikit berbeda. Tapi aku tak mau menyimpulkan apa-apa.
Oma begitu bahagia melihat Bang Hakim begitu manis padaku. Bang Hakim sedang berkisah hal yang lucu, Oma tertawa lepas. Semua nampak baik-baik saja.
Kecuali diriku, aku bingung sendiri dengan yang terjadi. Apa yang terjadi?
Bang Hakim pamit untuk sholat, tinggal aku berdua dengan Oma di kamar.
"Apa kamu tak merasa ada yang berbeda?" tanya Oma padaku. Aku menganggukkan kepalaku.
"Bang Hakim terlihat bahagia Oma." ucapku.
"Apa ada hubungannya denganmu?, tentang program itu." tanya Oma lagi. Sepertinya sekarang aku harus bercerita yang terjadi kemarin pada Oma.
Aku mengelengkan kepalaku.
"Rinda mundur Oma, Rinda tak bisa membantu Bang Hakim. Maaf Oma Rinda tak rela melepas kehormatan Rinda di meja Operasi, ini tidak benar, Rinda tak bisa."
Ungkapku ke Oma, sepintas ku melihatnya. Tak ada ekspresi apapun dari wajahnya.
"Baguslah, Oma tak suka kamu berkorban demi wanita itu, entahlah Oma tak suka padanya." Aku tak mengira Oma akan menjawabku seperti itu. Aku menatapnya
"Rinda juga minta pisah sama Bang Hakim." lanjutku. Ekspresi Oma berubah.
"Kalau itu, Oma tidak suka. Oma ingin kamu yang menjadi istri hakim, mendampingi Hakim selamanya, memberi Oma Cicit." ucap Oma, sejenak dia menatapku dalam.
"Oma menyetujui Hakim menikahimu, bukan agar kamu berkorban demi wanita itu, tapi untuk membuka hati Hakim, kamulah yang lebih pantas untuknya, seorang gadis yang sempurna lengkap dengan cinta dan kasih tulusnya." lanjut Oma.
"Tapi ini hidupmu, Oma hanya bisa berharap, Oma tak berhak mengaturmu. Tapi bagi Oma pernikahan kalian itu bukan hanya masalah kamu ingin membantu Hakim, tapi karena Oma , Sofian dan Lyna menginginkan kamu menjadi menantu kami."
Aku bergeming, tak sangup mengatakan apapun. Aku tak mengira mereka punya harapan besar terhadapku. Oma merentangkantan tangannya, aku menghambur ke pelukannya. Entahlah apa yang aku rasakan sekarang.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel