Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 29 November 2021

Pria Dari Masa Lalu #4

Cerita Bersambung
[Genggam atau lepaskan]
"Tapi ini hidupmu, Oma hanya bisa berharap, Oma tak berhak mengaturmu. Tapi bagi Oma pernikahan kalian itu bukan hanya masalah kamu ingin membantu Hakim, tapi karena Oma , Sofian dan Lyna menginginkan kamu menjadi menantu kami."

Aku bergeming, tak sangup mengatakan apapun. Aku tak mengira mereka punya harapan besar terhadapku. Oma merentangkantan tangannya, aku menghambur ke pelukannya. Entahlah apa yang aku rasakan sekarang. Aku bingung sekali.


Sore ini aku menerapi Oma, sesuai dengan yang di ajarkan Dokter Pras padaku. Aku juga mengajak Oma keluar ke taman samping rumah. Memberi makan ikan dan juga menikmati sore dengan segelas wedang secang minuman favorit oma.

Bercengkrama bersama beberapa ART yang sudah seperti keluarga sendiri.

"Oma Rinda mandi dulu ya." pamitku, badanku sudah terasa gerah. Oma menganggukan kepala. Aku beranjak ke kamarku. Lepas mandi aku kembali menyusul Oma, berpapasan dengan Riana dan Bang Hakim yang baru datang.

"Mana Oma?" tanya Bang Hakim padaku.
"Di taman Bang." jawabku. Sambil berlalu.
"Sayang kamu naik duluan, Mas mau lihat Oma dulu." ku dengar dia berbicara dengan Riana. Tau-tau tangan itu sudah berada di pundakku

"Habis mandi yah, wangi sekali." ucapnya mendekatkan hidungnya ke kepalaku. Lebih tepatnya dia mencium rambutku.
Aku mengeliatkan badanku melepas rangkulannya. Merasa risih, walau aku sebenarnya menginginkanya, bahkan lebih dari sekedar rangkulan.
Mendapati ku berusaha melepaskan diri, tangannya semakin erat.

"Ih, Abang belum mandi." alasanku, Bang Hakim tertawa, sengaja memelukkan kedua tanganya padaku.

"Oma." Sapanya ke Oma, tanpa melepasku.
"Abang lepasin." ucapku
"Oma, lihat. Karena Hakim belum mandi nggak mau di peluk sama Hakim. Bandel kan." lapornya ke Oma, Oma hanya tertawa melihat kami.

Pria ini sungguh tak peka sekali, dadaku sudah bergemuruh dari tadi. Ingin kunikmati rasa ini, sentuhan ini tapi takut, perasaan ini semakin dalam padanya, tapi tanpa balasan darinya. Jadi lah hati ini galau segalau-galaunya.
Rinda, segera ambil keputusan. Genggam atau lepaskan, Bertahan atau tinggalkan ...

"Ngapain bengong?" Sebuah cubitan pelan terasa di hidungku. Aku hanya memajukan bibirku. Ayolah Rinda kamu sudah dua puluh empat tahun kenapa tingkah kalian seperti anak umur belasan. Aku sendiri tak tau ...

"Oma masuk dah mau magrib." ucapku, kami memapah Oma ke kursi rodanya. Dan membawa masuk.
***

Sebuah pesan dari Dokter Pras ku terima, menanyakan apa aku bisa keluar dengannya malam ini. Aku termanggu sesaat, aku sampaikan aku tanya Oma dulu. Aku masih bingung menjawabnya.

"Mba Rinda, di tunggu Oma di ruang tengah, makan malam masih di siapkan." ucap Mba As, aku baru saja membuka puntu kamarku.

Aku beranjak ke ruang tengah, selain Oma sudah ada Bang Hakim dan Riana. Riana bergelayut mesra di lengan suaminya, suamiku juga kan. Melihatku tampak sekali di rapatkan posisi duduknya.

"Oma, Rinda ijin tak ikut makan malam, mau makan di luar dengan Dokter Pras, sekalian nanti Rinda pulang ke Mama." pamitku.
Melihat mereka aku tak bisa, lebih baik ku terima ajakan Dokter Pras, sekalian minta di antar pulang.

"Oh Pras, iya sudah ijin Oma, makanya Oma panggil kamu." ucap Oma. "Sekalian antar Oma ke kamar. Oma makan di kamar saja." Oma memintaku membawanya ke kamar.
"Kenapa tak di ajak makan di sini saja?" tanya Bang Hakim sambil membantuku memapah Oma ke kursi rodanya.

Aku mengelengkan kepalaku. Tak bicara apapun. Kemudian beranjak mengantar Oma kekamar. Setelah memberikan peluk dan ciuman aku beranjak keluar. Aku harus segera bersiap.

"Kan sudah kubilang, perbanyak istirahat. Jaga kesehatan fisik kamu, malah keluyuran, pake acara kencan segala. Program sudah mau di mulai. Harusnya kamu berdiam diri di rumah."

Aku tak tau Riana muncul dari mana, tau-tau sudah ada di depanku.

"Program apa?, Bang Hakim belum cerita kalau aku mundur. Aku tak mau, aku tak bisa membantu kalian." Ucapku.

Riana terlihat kaget mendengarku. Dia mengelengkan kepalanya.

"Maksud kamu apa?, kamu sudah janji akan membantu kami untuk jadi Ibu penganti. Kamu lupa telah berhutang budi pada Mas Hakim."
"Aku tidak lupa, aku akan bayar semuanya."
Ucapku.

Terdengar tawanya, tawa merendahkan.

"Dari mana kamu bisa mendapat uang ratusan juta, kecuali ... menjual diri. Bukankan masih lebih baik jadi Ibu penganti bayi kami, atau mungkin kamu mau jadi penjilat di keluarga ini, terlihat pandai sekali kamu menjilat Oma dan Orang Tua Mas Hakim."

Darimana Bang Hakim mendapatkan wanita ini, betapa jahat sekali mulut wanita cantik yang terlihat lembut ini.

"Bicaramu seperti wanita yang tidak berpendidikan, Bang Hakim sepertinya telah salah memilihmu menjadi Istrinya. Dia terlalu baik untuk wanita seperti kamu." Keluar juga tabiat asli Riana, sedikitpun aku tak menduganya.

"Dengar, Aku bisa cari perempuan lain untuk bayiku dan Mas Hakim. Aku tak memerlukan kamu. Pergilah tak ada gunanya lagi kamu di sini. Kamu di sini karena ke inginanku menjadikanmu sebagai Ibu penganti bagi bayiku, bila tak ada lagi urusan dengan hal itu, tak perlu kamu di sini lagi. Kecuali karena kamu benar-benar seorang penjilat yang berlindung di bawah ketiak wanita tua itu."

Luar biasa wanita di depanku ini, kenapa ucapanyanya bisa sekasar ini.
Ini tidak benar. Di depan semua dia manis sekali. Tapi ternyata, apa dia begitu depresi karena tak memiliki rahim hingga seperti ini. Bukankan harusnya dia sadar diri.
Entahlah hanya dia dan Tuhan yang tau.

"Terserah apa katamu, aku malas menangapimu." Ucapku kemudian berlalu.

Ada apa dengan Riana? Apa itu memang sifat aslinya. Atau dia sedang kesal saja, tapi mulutnya jahat sekali, tak pantas di ucapkan seorang perempuan yang mengaku berpendidikan alias terpelajar.
Bang Hakim apa yang telah kamu lakukan, sunguh tak pantas sekali dia bersanding dengan Abang yang begitu baik.

Aku kembali ke kamarku, segera berganti pakaian, sebentar lagi Dokter Pras menjemputku. Tapi sikap dan perkataan Riana barusan sangat menganggu pikiranku.
Aku masih belum percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Dokter Pras sudah menungguku di luar, sengaja tidak masuk ke dalam.
Aku segera keluar karena aku sudah pamitan tadi dengan Oma.
Bang Hakim dan Riana masih di ruang makan sepertinya.
Aku malas berpamitan dengan mereka. Tapi tak kulihat mobil Bang Hakim di tempat biasanya terparkir, apa dia keluar?

"Maaf menunggu lama ya." ucapku, saat telah sampai di depannya. Dokter Pras bersandar di mobil dengan kedua tangan masuk ke saku celananya.

"Nggak juga, habis ngobrol juga kok barusan sama Dokter Hakim." ucapnya.
"Oh, Bang Hakim keluar?" tanyaku pada Dokter Pras. Kenapa juga aku bertanya.
"Iya, ada janji sama teman katanya, baru saja. Em, apa kita akan terus di sini?, atau kita lanjutkan dengan segelas kopi?" Dokter Pras mengangkat kedua alisnya berulang.

Aku tersenyum dan sedikit memiringkan kepalaku.

"Ditemani segelas kopi, terdengar lebih baik dari pada berdiri terus di sini." jawabku dengan tersenyum. Dokter Pras membukakan pintu mobilnya untukku.

Mobil melaju sedang, membelah jalanan.
Dokter Pras mulai membuka Obrolan, dan aku menimpalinya.
Ini kali pertama kami sedekat ini dan hanya berdua. Tapi tak sulit bagi kami menciptakan suatu topik pembicaraan karena sudah cukup akrab sebelumnya.

Mobil berhenti di sebuh Kafe, Kafe La Hore, yang berada di pusat kota.
Kami turun, berjalan bersisian memilih meja di lantai atas.
Pelayan datang setelah kami duduk, di bawanya sebuah buku menu yang kemudian di sodorkan kepada kami.

Setalah mencatat pesanan, dan membacanya kembali pelayan itu pun pergi.
Suasana Kafe terasa tenang, alunan lagu lembut terdengar, menambah hangat suasana malam, cahaya lampu yang meremang menambah suasana menjadi romantis, kami seperti sedang berkencan.

"Sering ngopi di luar? tanya Dokter Pras membuka pembicaraan.
Aku mengelengkan kepala.
"Boleh jujur?" tanyaku, Dokter itu menganggukkan kepalanya. "Ini kali pertama Rinda ketempat seperti ini malam hari." lanjutku.

Dokter itu seolah kaget dan tersenyum terlihat tak percaya.

"Serius Pak Dokter, kalau siang sih walau tak di bilang sering, pernahlah beberapa kali. Kalo malam baru kali ini." jelasku lagi. Nggak penting juga sebenarnya aku jelaskan.
"Jangan pangil gitu dong, pangil Pras atau Mas juga boleh, jangan Abang tapi itu buat Dikter Hakim saja hehehe." Pinta Dokter Pras dengan tertawa
"Mas, baiklah. Mas Pras." Ku tekankan Pada kata Mas, dia tersenyum melihatku.
"Terdengar lebih manis kan?"
"Sepertinya begitu." jawabku.

Obrolan malam ini mengalir begitu saja. Dia suka sekali membuatku tertawa.
Mas Pras terlihat manis dengan senyum yang selalu terkembang di bibirnya. Memang dia tak setampan Bang Hakim, tapi dia sangat menyenangkan.
Suka? Belum. Tak ada getaran apapun yang kurasakan.
Berbeda sekali saat aku bersama dengan Bang Hakim.
Melihat wajahnyanya secara dekat saja, dadaku sudah berdebar.

"Kamu masih sendiri?" tanya Mas Pras tiba-tiba.
Aku terdiam, harus kujawab apa. Bilang sendiri tapi sudah menikah, bilang menikah tapi hubungan tak jelas.
"Ih, kepo. Mau tau aja atau tau banget?" alihku, karena aku sendiri bingung dengan statusku. Kembali Pria itu tertawa, aku mengalihkan dengan pembicaraan lainnya.

Banyak ungkapan yang terselubung di balik candanya, aku bisa menangkapnya. Walau tetap aku anggap itu sebuah gurauan dan candaan semata.

"Dokter Hakim terlihat begitu sayang padamu ya." Mas Pras, tiba-tiba membicarakan Bang Hakim.
"Sepertinya begitu, Bang Hakim selalu mengangap Rinda masih anak kecil, padahal sudah cukup tua." jawabku.
"Masak sudah tua?, masih imut gini. Ku kira kamu masih sekolah malah."
"Rinda udah tua mas, dah dua empat." jawabku. Lagi-lagi Mas Pras terlihat tak percaya.

Terasa ponselku bergetar. Ku lihat ada pangilan dari Bang Hakim.
Dia bertanya apa aku sudah di rumah. Aku jawab masih di Kafe bersama Mas Pras.
Dia memaksa menjemputku sekarang. Ada apalagi dengan orang ini. Aku menutup telponya. Kembali dia menelpon, tak kuangkat.

"Dokter Hakim." ucap Mas Pras menunjukkan ponselnya yang berdering padaku. Aku hanya menghela nafasku.
"Iya Bang, Rinda masih sama Pras."
"Oh, iya Bang ... Siap ... Ok." Mas Pras terlihat memanggutkan kepalanya.
"Jam sembilan di minta segera pulang, protektif juga Abang kamu ya, dia yang jemput nanti." ucap Mas Pras setengah tertawa.
"Di jemput Bang Hakim?" tanyaku. Mas Pras mengangguk.
"Ya udah yuk, aku temenin nunggu di depan. Dari pada di tolak sebelum daftar jadi adik ipar hahahha." canda Mas Pras lagi.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Mas Pras.
Kami bangun dan beranjak turun, setelah membayar di kasir kami berjalan ke depan.
Jemari Mas Pras menaut jemariku, aku melihat ke arahnya, tapi dia melihat ke arah lain.
Terlihat lucu, aku mengulum senyumku.
Bang Hakim sudah berdiri di belakang mobilnya yang terparkir. Tangannya terlipat di dada.
Aku dan Mas Pras sejenak berpandangan, kami berjalan ke Bang Hakim dengan jari yang masih menaut, sengaja tak ku lepaskan.

"Terlewat sepuluh menit, di maafkan kan?" tanya Mas Pras dengan senyum terkembang. Bang Hakim mengangkat bahunya.
"Hem, masih utuhkan?" Bang Hakim memindaiku dari atas kebawah, bawah keatas. tanganya melepas tautanku dengan Mas Pras.

Mas Pras hanya menanggapinya dengan tertawa.

"Utuhlah Bang, mana berani aku macam-macam sama Adek Abang." jawabnya kemudian.

Bang Hakim memintaku masuk ke dalam mobil lebih dulu. Setelah mengucap salam aku masuk ke mobil. Bang Hakim menyusul kemudian. Aku lambaikan tanganku ke arah Mas Pras yang masih berdiri di depan Kafe

"Ngapain sih pake di jemput segala, Mas Pras kan juga bisa anter Adek." gerutuku.
"Adek pangil dia apa? Mas?" tanyanya
"Iya, kenapa?"
"Sudah sedekat itu ya?, pangil Mas terus pakai pegangan tangan segala." Ucapnya terlihat tak suka.
"Masalah buat Abang?" tanyaku ketus.
"Pastinya, kan Rinda Adek Abang, siapapun yang deketin Adik, Abang harus tau semua. Ini baru pertama keluar sudah beraninya pegang Adek." tungkasnya.

Aku terdiam, Bang Hakim hanya menganggapku Adik, perasaanku sendiri saja yang mengangap perhatiannya lebih.
Aku memejamkan mata malas bicara lagi denganya. Kalau untuk seorang Kakak, sikapnya terasa berlebihan, aku bukan anak kecil lagi. Tak perlu mengaturku seperti ini.

"Kok pulang lagi?, kan Adek mau ke Mama." ucapku saat Bang Hakim membawaku pulang ke rumahnya.
Mobil memasuki halaman dan berhenti di garasi berjajar dengan mobil lainnya.

"Suka-suka Abang." jawabnya. Dia mengacak rambutku.
Aku melihat ke arahnya, wajahnya tetap terlihat jelas walau hanya tersorot lampu yang tak begitu terang. Getaran itu datang lagi.

"Bang," panggilku padanya.
Dia menoleh ke arahku. Aku memutar duduk ku hingga aku menghadapnya.

"Boleh Adek tau, apa yang membuat Abang jatuh cinta pada Riana?" tanyaku padanya. Aku tergelitik untuk lebih tau tentang Riana.

Bang Hakim tak menolak bercerita, bibirnya tersenyum, menandakan betapa dia mencintai wanita itu. Dan itu sakit.
Dia bercerita Riana adik dari sahabatnya, awal suka karena Cantik, tak kupungkiri juga Riana memang sangat cantik. Dan Riana bercerita kalau dia mempunyai banyak anak asuh, suka dengan kegiatan sosial dan sering aktif dalam kegiatan amal.
Rasa peduli Riana yang tinggi pada sesama membuat Bang Hakim begitu terpesona padanya. Dan di mata Bang Hakim Riana itu Wanita sempurna dengan kelembutan dan kesabarannya, dia menutupi kekuranganya dengan cara aktif di kegiatan sosial.
Aku sedikit bingung dan heran mendengarnya, ini sangat berbeda dengan fakta yang aku dapatkan. Apakah Riana punya dua kepribadian, Riana yang tadi sore menghinaku, berbeda sekali dengan Riana yang Bang Hakim ceritakan.

"Kenapa Adek tiba-tiba tanya tentang Riana." tanya Bang Hakim kemudian.
"Kan Adek Abang ini pengen kenal juga dengan kakak Ipar." alasanku.

Bang Hakim tersenyum mendengarku.

"Abang sangat mencintainya ya?" tanyaku lagi, sengaja aku mendekatkan wajahku ke arahnya.
"Iya." jawabnya.
"Bang, kapan Abang lepaskan Adek, ini status Adek, bukan jemuran jadi jangan di gantung ya." ucapku.
"Abang kan sudah tak perlu bertangung jawab apapun pada Adek, karena Adek nggak bisa bantu Abang, jadi bisa Abang ceraikan Adek sekarang." lanjutku.

Apakah permintaan ini dari dasar hatiku, tentunya tidak. Tapi aku juga tak ingin berlama-lama terdampar dalam sebuah hubungan yang tak berarah.
Bang Hakim terdiam, Mata kami saling bertatapan aku tak bisa juga membaca apa yang ada dalam hati pria ini sebenarnya.

"Abang belum bisa." jawabnya.
"Kenapa? Dan untuk apa?, apa abang akan membiarkan Adek jomblo selamanya?, Bang, Adek juga ingin melangkah kedepan. Untuk apa menahan Adek di hubungan tanpa rasa ini." ucapku lagi.

Dadaku nyeri sekali, berbagai rasa ada di sini.
Melihatnya dekat seperti ini, ingin kukatakan aku mencintainya bukan sebagai Adik, tapi sebagai seorang wanita ke Pria, sebagai seorang istri ke suaminya. Tapi semua hanya tertahan di dalam hati.

"Abang tak tau, tapi Abang ingin selalu bersamamu." jawabnya.

Apakah aku tidak boleh sedikit berharap, Suatu waktu pria ini akan membalas cintaku juga.

"Menceraikan Adek, tak akan membuat kita jauh. Bukankan kita tetap memiliki hubungan sebagai Adik dan Kakak." ucapku lagi.
"Beri Abang waktu."
"Untuk apa?, tak ada yang perlu di pikirkan lagi."

Ingin kuselami hati pria ini, agar ku tau kenapa dia tak mau melepasku, bila dia tak memiliki perasaan padaku. Tapi bila dia memilikinya kenapa tak di ungkapnya padaku. Toh pasti aku akan sengan senang hati menerimanya. Entah seperti apa , aku akan berjuang untuknya.

Kami masih saling bertatap, aku menahan getaran di dada yang semakin nyata terasa.
Wajah itu semakin mendekat, hembusan hangat nafasnya dapat jelas kurasakan.
Ada yang lembut menyapa bibirku yang sedikit terbuka, tanpa mampu aku menolaknyanya.
Aku hanya terdiam tak tau harus bagaimana ini yang pertama, dan dia yang mengambilnya.

"Apa ini juga hal yang wajar di perbuat Abang ke adiknya?" tanyaku, dadaku semakin sesak terasa. Ingin menangis rasanya. Bingung dengan rasaku sendiri dan memikirkan rasanya padaku.

"Abang juga tak tau, Abang bingung dengan rasa ini. Abang menginginkan Adek, tapi Abang tak mau menghianati Riana, Abang tak ingin melukainya."
"Tapi Abang tega menyakiti hati Adek, Abang tau kan apa yang sebenarnya Adek rasakan. Abang tau kalau Adek punya rasa berbeda." ucapku.
"Tapi Adek tak ingin membebani Abang, Adek juga tak bisa menjadi pilihan yang ke dua, Adek tak mau berbagi. Biarkan Adek pergi, ceraikan Adek."

Bang Hakim terdiam, tatapannya nanar...

==========

"Lepaskan, Abang tak bisa mengengam dua-duanya di tangan ini sangat menyakitkan. Pernikahan kita bukan didasari dua hati yang mencinta, hanya Adek yang mencintai Abang, Adek tak akan menutupi perasaan Adek lagi. Bukan untuk mempengaruhi Abang, hanya untuk melepas sedikit beban." Lanjutku.

Aku menatapi wajah tampan di depanku. Membelai wajahnya pelan, biarkan kunikmati rasa ini sebelum melepasnya pergi. Rasa cinta ini begitu menyesakkan dadaku.

"Abang mohon, biarkan Abang berfikir dulu, Abang juga ingin tau jawaban dari hati Abang sendiri, Apa yang sebenarnya Abang rasakan untuk Adek, tapi sungguh saat ini Abang tak ingin Adek pergi."
"Sampai kapan?, Adek tak mau lama-lama berada dalam posisi seperti ini, Abang tau? ini rasanya sungguh menyesakkan, Melihat Abang dengannya itu sunguh menyakitkan." ucapku tersenyum hambar.

Tak ada jawaban, hanya sentuhan tangannya yang mengusap pelan pipiku, menghapus sisa air mataku.
Kembali lembut dia menyapa, terasa lebih hangat dan mendebarkan rasanya di dada.
Rasa ini tak dapat ku tampik, bukan hanya karena dia memiliki hak atas diri ini, apapun alasannya Akad telah Sah terucap. Apa aku tak boleh mengambil juga sedikit Hak-ku atas dirinya?. Walau menyakitkan tapi rasa cinta ini justru semakin kuat, dan sejenak menghalau sadarku.

"Adek masuk dulu." ucapku padanya, setelah Bang Hakim melepasku. Aku segera turun, meninggalkan dia yang masih di dalam mobil.

Rumah sepi sepertinya semua sudah tertidur. Aku berjalan pelan menuju kamarku.
Ku letakkan tasku di atas meja rias. Dan langsung menghempaskan tubuhku di atas kasur.
Aku mulai mencerna apa yang baru saja terjadi antara aku dan Bang Hakim.
Masih kurasakan debaran di dadaku, masih kurasakan hangat dan lembut bibir itu.
Desahan nafasnya mengetarkan dada ini. Aku kembali jatuh dalam bimbangku.

"Oma kira kamu pulang ke Mamamu."
ucap Oma saat ku kekamarnya selepas Sholat shubuh.

"Bang Hakim nyusulin Rinda sama Dokter Pras, nggak di anter pulang, malah di bawa balik pulang kesini." Jawabku
"Hakim nyusul kamu?" tanya Oma. Aku mengangguk. Bibirnya mengulum senyum.
"Oh ya, Lyna semalam telpon ke Oma nanyain kamu, Oma bilang sedang keluar. Klinik Kecantikannya yang di sini kan sudah mau opening. Dia minta kamu bantu ngurusnya. Kamu harus pelajari dulu manajemennya, di sini juga dia akan nempatkan orang lama dulu sebelum kamu siap."

"Oma, Rinda nggak punya basicnya."
"Semua bisa di pelajari. Kamu tak sendiri nanti di bantu sama orang nya Lyna, jadi tenang saja. Ini kesempatan bagus dari Mertua kamu, harus kamu ambil." desak Oma.
"Gimana?, nanti kamu ketemu sama orangnya Lyna yang urus di sini. Kamu kerja sama dia nanti." ucap Oma lagi.
"Iya Oma." Aku menganggukan kepalaku."Kapan Rinda bisa ketemu sama pegawainya Mama?
"Bentar Oma telpon Lyna nanti."
"Oma mau jalan-jalan di taman, udaranya masih segar." ucapku ke Oma.

Oma menganggukkan kepala. Aku membantunya duduk di kursi roda dan mulai menbawanya keluar ke taman samping. Mba As menghampiri kami membawa segelas teh hangat dan kopi untukku.

"Oma olahraga ringan ya, kayak yang Mas Pras ajarkan." Ucapku ke Oma.
"Kamu pangil apa tadi Mas?" tanya Oma. Aku memutar bola mataku dan tersenyum sedikit malu.
"Dokter Pras mintanya begitu." Jawabku. Oma hanya tersenyum.
"Pras anakknya baik, Oma suka padanya, Oma jadi galau berasa Oma yang harus milih hahahaha." Oma terkekeh.

Aku sendiri masih berdiri di persimpangan.
Ucapan Bang Hakim semalam menahanku untuk sejenak berdiam menunggunya. Walau belum tentu manis yang akan aku terima, tapi aku merelakan diri sejenak tersakiti oleh penantian atas sebuah keputusan.

"Oma, Riana bawa roti bakar buat sarapan." Riana datang dengan piring berisi roti bakar di tangannya.
"Terima kasih." Ucap Oma sekilas melihat ke arah Riana. Kemudian kembali melanjutkan aktifitasnaya.

Dia mulai memancing pembicaraan dengan manis, walau hanya di tangapi dingin oleh Oma.

"Sayang, sini." pangilnya saat melihat Bang Hakim. Yang di pangilpun datang dan bergabung bersama kami.
"Aku buat roti, Mas mau." tawarnya pada Bang Hakim. Dia tersenyum melihat ke arah Riana.
"Bisa buatkan Mas kopi juga?" tanyanya mesra ke wanita itu.
"Tentu saja. Mas tunggu, Riana buatkan dulu." jawab Riana tak kalah mesra.

Wanita itu beranjak setelah mengusap pipi Bang Hakim.
Aku pura-pura biasa, walau hati panas sebenarnya. Tapi bagaimanapun Riana lebih dulu memiliki hati Pria itu.

"Bagaimana, siap adu lari sama Hakim?" goda Bang Hakim yang di sambut tawa Oma.
"Oma jangan mau kalah, Rinda ada di Tim Oma." timpalku. Oma kembali tertawa.

Bang Hakim melihat ke arahku. Matanya berbinar indah menatapku, senyumnya terlihat jail saat mata itu memindaiku.
Aku menatapnya sekilas dan membuang pandanganku ke arah lain.

"Sayang kopinya datang." ucap Riana dari kejauhan.
Aku mengangkat alis dengan muka malasku.
"Oma masih mau di sini atau masuk, Rinda mau bantu Mbak As dulu." ucapku ke Oma.
"Oma masuk saja." jawab Oma.

Akupun mendorong kursi roda Oma. Sedikit memutar agar tak berpapasan dengan Riana, malas sekali aku dengan wanita bermuka dua itu.
Aku benar-benar terjebak dalam rasa ini. Menunggu itu menyesakkan, dan menyakitkan. Ah apa yang sudah kulakukan.
Cinta ini menutup sadarku, membutakanku. Tak mungkin Bang Hakim melepas Riana, walaupun dia bilang tetap ingin bersamaku.
Sepertinya aku mulai kehilangan akal. Semakin ingin kulepas, semakin erat kugenggam.

"Kenapa masih di sini, kamu sudah tak di butuhkan lagi. Harusnya kamu malu, masih saja jadi penjilat."

Walau kuhindari, kami serumah tetap saja bertemu dengannya. Aku sedang menyiapkan sarapan saat dia datang ke ruang makan

"Percuma kamu bicara padaku, aku hanya menganggapnya angin lalu, aku tak perduli semua kata-katamu." ucapku dengan sebuah senyum tersungging.
"Ayolah, sedikit saja punya harga diri. Jangan memanfaatkan kebaikan wanita tua itu dan juga suamiku untuk supaya bisa hidup enak."
'Dia suamiku juga' bathinku.
"Mba As, minta Oma untuk sarapan." Seruku melihat Mbak As yang berjalan ke arah dapur

Bang Hakim terlihat berjalan ke arah kami.
Riana langsung menyambutnya. Dia sengaja berlaku mesra di depanku.

"Oma mana?" tanya Bang Hakim padaku.
"Bentar lagi, udah sama Mbak As tadi." jawabku.
"Abang mau pakai apa?" tanyaku padanya. Aku mengisi piringnya dengan nasi. Dia menunjuk lauk dan sayur, aku memindahkan sedikit ke piringnya.

Riana terlihat tak suka aku melayani Bang Hakim.

"Rinda harusnya Aku yang melayani Abangmu." ucapnya kemudian.
"Jadi merepotkanmu kan."
"Kakak Ipar mau di ambilkan juga." tanyaku padanya. Dia hanya membalasku dengan senyumnya.

Kami semua sarapan setelah Oma datang.
Semua terdiam, tak ada pembicaraan hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan pasangannya.

Selesai makan baru Oma berbicara. Memintaku menemui Pegawai Mamah yang memegang Klinik nya di sini, jam sepuluh nanti.

"Wah, Mama nggak kasih tau Hakim kalau minta Rinda kerja di Kliniknya." ucap Bang Hakim.
"Buat apa kasih tau, emangnya kamu siapanya Rinda." ucap Oma dengan wajah datar.
"Oma, Hakim kan .. su ... Hakim kan Abangnya, Anak Mamah juga masak kabar baik gini nggak di bagi." jawab Bang Hakim sedikit gagap.

Oma hanya menyembik.

"Wah, selamat ya Rinda, seneng dengarnya." ucap Riana. Aku membalasnya dengan tersenyum.
Saat dia bersandiwara, kenapa aku harus jujur apa adanya.

"Oma nanti terapi jam berapa?, Mas Pras belum balas pesan Rinda." tanyaku ke Oma, siapa tau Dokter Pras sudah menghubunggi Oma.
"Mas Pras?, wah Rinda kejutan. Iya kan sayang." ucap Riana terlihat ikut senang sambil menoleh ke Bang Hakim.
Wanita itu pintar sekali berpura-pura. Mengerikan.
Tak ada jawaban dari Bang Hakim, bibirnya hanya sedikit terangkat memaksakan senyumnya.

"Oma, Hakim berangkat dulu." Bang Hakim bangun dari kursinya dan memeluk Oma. "Sayang aku duluan." Pamitnya ke Riana yang di balas dengan sebuah ciuman.
"Abang berangkat." pamitnya padaku, mengulurkan tanganya, aku mencium pungung tangannya.
"Abang hati-hati." balasku dengan senyum manis.
Dia menepuk pelan puncak kepalaku sebelum beranjak.

"Oma mau ke teras samping." Pinta Oma, aku membantunya berdiri dan mendudukannya kembali di kursi roda. Membawanya pergi keluar dari ruang makan. Tanpa berkata apapun kepada Riana yang masih duduk di sana.
***

Jam sepuluh aku sampai di Klinik Mamah, dari luar terlihat sudah siap beroperasi. Sudah ada satpam di depan yang menannyakan keperluanku.
Ku sampaikan kalau ingin bertemu dengan Ibu Alexa, dia menanyakan namaku. Setelah ku sebutkan dia memintaku langsung masuk.
Di dalam ada wanita seumuranku yang menyambutku, dan mengantarkanku ke ruangan Bu Alexa.

"Rinda." pangilnya padaku saat ku masuk keruangannya. Wanita itu cantik sekali.
"Iya Bu." jawabku.
"Saya Alexa, yang bertangung jawab di sini."
Dia bangun dari duduknya dan memperkenalkan diri. Menghampiriku dan menempelkan pipi kanan dan kiri.

"Duduk."

Dia menarikku untuk duduk di sofa. Dia terlihat ramah selain cantik dan angun.

"Nyonya Lyna sudah menghubungi saya dari kemarin, untuk klinik sendiri baru akan beroperasi bulan depan. Masih menunggu, ada beberapa alat yang belum datang. Tapi secara keseluruhan sudah hampir sembilan puluh lima persen lah. Karyawan dan Dokter semua sudah ready." terang Bu Alexa.
"Sementara kamu akan bekerja di bawah saya. Nyonya Lyna percaya kamu bisa cepat belajar. Nanti kalau kamu sudah siap kamu bertangung jawab sepenuhnya di sini." Lanjutnya.
"Lalu Bu Alexa kemana?" tanyaku polos. Wanita itu tertawa.
"Saya kembali ke pusat. Sebenarnya dia persiapkan ini untuk menantunya, Istri Hakim, tapi tak tau dia berubah pikiran. Meminta saya mengajari kamu."

Bu Alexa kemudian mengajakku berkeliling. Dan menjelaskan berbagai hal. Hampir dua jam aku di sini.
Setelah ku rasa cukup, akupun pamit. Dia memintaku datang dua minggu lagi ada perkenalan dengan seluruh karyawan dan dokter di sini.

Tak sampai sepuluh menit aku menunggu di depan klinik, terlihat mobil Vero memasuki parkiran Klinik.
Setelah pamit dengan Satpam yang bernama Ferry akupun masuk ke mobil Vero.

"Makan di mana kita sayang?" tanya Vero padaku. Dia terlihat ceria siang ini.
"Cerah banget mukanya?" tanyaku. Dia tersenyum.
"Habis jualin Villa di Bali, deal fee dua persen dari harga jual. Di beli sama bule Kanada tapi atas nama orang lokal. Tau berapa harganya?"

Vero tersenyum lebar, alisnya terangkat saat menoleh ke arahku.

"Milyaran ya?" tanyaku. Vero mengangguk.
" Lima Milyar." tebakku, dia mengeleng, masih dengan senyumnya.
"Dua puluh lima milyar .... hahahaha." Ungkapnya girang.
"Wow, lima ratus juta ... gila ... " aku terbengong sendiri. Vero memang luar biasa. "Aku baru pulang kemarin. Makanya aku hubungi kamu. Mau traktir makan sama belanja. Ok, di larang menolak." ucapnya.

Vero di balik kisah kelamnya, dia tetap sahabat terbaikku. Semangat hidupnya aku salut, walau dia mengambil langkah yang salah. Tapi dia tidak hanya bergantung pada Pak Surya, dia tetap bekerja mencari uang sendiri.

Setelah makan siang, aku mencari masjid untuk sholat, sebelum berlanjut menemaninya belanja dan ke salon. Dia memintaku berganti model dan warna rambut, aku menurut saja karena dia lebih tau tentang itu.
Baju, tas, sepatu dan jam tangan aku sampai melongo melihat uang yang dia habiskan untuk mentraktirku saja.

"Ini kebanyakan Ver." ucapku padanya.
"Kamu ingat, kamu sendiri aja nggak punya banyak uang, tapi kamu bantu aku bayar kost agar aku tak di usir. Kamu relakan bayaran kamu dari hasil kerja di tempat foto copy buat aku. Aku tak akan lupa, sewaktu kuliah kita sama-sama berjuang kan."

Aku sedikit melow mengingatnya, aku memeluk sahabat terbaikku itu.

"Ini nggak seberapa di banding semua yang udah kamu lakuin buat aku." ucapnya lagi.
"Yakin tak mau di antar?" tanya Vero padaku.
"Iya, nggak usah. Kan kamu juga sudah di tunggu klien katanya."
"Iya, Doakan deal lagi ya." pintanya padaku.
"Pasti, semoga deal. Ingat mualailah menabung, investasi mumpung uang sedang dengan mudah kamu dapatkan." sedikit nasehat aku berikan.
"Iya kamu benar. Nanti kita bahas ini lagi. Aku duluan, bye." ucapnya, setelah mencium pipi kanan kiriku dia beranjak pergi.

Ponselku kembali bergetar, Bang Hakim menelponku dari tadi. Aku malas mengangkatnya.

"Apa sih Bang?" tanyaku setelah menjawab salamnya.

Dia menanyakan aku di mana, aku jawab habis belanja. Dia memaksa menjemputku.
Tak sampai lima belas menit, kulihat mobil Bang Hakim menepi, aku segera masuk setelah meletakkan belanjaanku di jok belakang.

"Tumben banyak sekali belanjanya." tanyanya padaku.
"Vero yang traktir." jawabku.
"Semuanya?" Bang Hakim terlihat kaget.
"Puluhan juta itu harganya." lanjutnya.
"Iya hampir empat pulu juta tadi dia belanja, ngeri ..." ucapku.
"Kalian tak ada hubungan ... ?"

Aku langsung paham. Ku pukul lengan kekar itu.

"Hiii, Adek masih normal Bang, sukanya cowok." ucapku. Bang Hakim terkekeh.
"Iya, iya percaya. Adek kan sukanya sama Abang." lanjutnya. Tawanya terdengar.
Aku langsung terdiam.

"Abang bisa ketawa, sedang Adek? Sakit di sini Bang." ucapku kemudian munjuk dadaku.
Tawa itu langsung tertelan.

"Abang minta maaf, tak ada maksud bercanda dengan perasaan Adek."
"Adek yang salah, terlalu berharap untuk hal yang tak mungkin bisa Adek dapatkan." ucapku.

Ponselku terasa bergetar aku lihat Dokter Pras yang menelpon. Aku mengangkatnya.
Dia bertanya kabarku, dan mengatakan tak menemukanku saat ke rumah tadi. Aku jawab sedang keluar dengan temanku.
Dia kembali bertanya apa nanti malam bisa keluar ada hal penting yang ingin di sampaikan.

"Makan malam?" tanyaku padanya.
"Iya, kamu bisa?" tanyanya.

Belum ku jawab, Bang Hakim mengambil ponselku dan mengakhir pangilan. Tidak hanya itu di tekan tombol mati daya.

"Kenapa dimatikan?, Apaan sih Abang." Aku berusaha mengambil ponselku.
"Pras mau melamar Adek." ucapnya.

Aku terdiam.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER