Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 30 November 2021

Pria Dari Masa Lalu #5

Cerita Bersambung
~Janji~
Ponselku terasa bergetar aku lihat Dokter Pras yang menelpon. Aku mengangkatnya. Dia bertanya kabarku, dan mengatakan tak menemukanku saat ke rumah tadi. Aku jawab sedang keluar dengan temanku.
Dia kembali bertanya apa nanti malam bisa keluar ada hal penting yang ingin di sampaikan.

"Makan malam?" tanyaku padanya.
"Iya, kamu bisa?" tanyanya.

Belum ku jawab, Bang Hakim mengambil ponselku dan mengakhir pangilan. Tidak hanya itu dia tekan tombol mati daya.
"Kenapa dimatikan?, Apaan sih Abang." Aku berusaha mengambil ponselku.
"Pras mau melamar Adek." ucapnya.

Aku terdiam.

"Dari mana Abang tau?, kalau hal itu yang akan Mas Pras bicarakan."
"Dia sudah bicara dengan Abang." jawabnya.
"Terus apa masalahnya?" tanyaku kesal.
"Masalahnya kamu istri Abang, bagaimana mungkin Abang biarkan."
"Istri apa?, Istri yang tak di akui keberadaannya, Istri yang tak jelas statusnya, Istri yang tak pernah berhak atas suaminya? Apa itu yang namanya Istri?"
"Kita bicarakan soal ini." ucapnya.
"Kita mau kemana?" tanyaku. Ketika mobil memasuki basemant sebuah Apartemen.
"Ikut saja, kita bicarakan hal ini di Apartemen Abang, sekalian Abang mau ambil barang Abang yang tersimpan di sana." ucapnya.

Dia mengandeng tanganku memasuki lift, di tekannya angka lima belas. Setelah keluar dia membawaku ke depan sebuah pintu. Pintu terbuka, dia mendorongku pelan.

"Kita bicara sekarang." ucapnya.

Mataku masih menyapu setiap sudut ruangan. 

"Pras ingin melamarmu, dia jatuh cinta padamu. Dia meminta ijin pada Abang." ucapnya kemudian. Kami duduk bersisian di sebuah sofa.
"Lalu?" tanyaku.
"Kamu Istri Abang, bagaimana mungkin Abang bisa membiarkanmu berhubungan dengannya."
"Bukannya Abang menikahi Adek, supaya Abang bisa menikahi Riana. Karena itu syarat yang Oma ajukan. Abang tak menginginkan Adek, lalu untuk apa mempertahankan Adek?". ucapku padanya.
"Abang juga tak tau, tapi Abang tak bisa melihat Adek berhubungan dengan lelaki lain."
"Tapi Abang juga tak memperjelas status Adek kan?"
"Rasa itu terlambat Abang sadari. Rasa ini bukan rasa Kakak kepada Adiknya, tapi rasa ingin memiliki sepenuhnya sebagai seorang pria kepada wanita."
"Abang mencintai Adek?" tanyaku padanya.

Aku menatapi wajah itu, yang kini juga memandang ke arahku. Dia menganguk pelan.
Sejenak aku terbuai, ada senyum walau sumir di bibirku. Ketika cintaku ternyata berbalas.

"Abang mencintai Adek." ucapnya pelan. Wajah itu semakin mendekat. Kembali membuaiku dalam sentuhan dan petikan hasrat, kami saling bertaut. Tak ada yang salah bukankan ini hal yang wajar di lakukan. Sejenak aku menikmatinya.

"Abang akan memilih Adek?" tanyaku setelah dia melepasku. Bang Hakim menganggukan kepalanya, dan kembali menautku. Dia tak memberi waktuku untuk sedikit bernafas. Aku kembali mendorongnya pelan.

"Lalu Riana, Abang bisa melepasnya?"

Raut wajah Bang Hakim berubah. Aku sudah menduganya. Dia belum punya keputusan apapun.

"Abang egois, tak ingin menyakitinya tapi Abang melakukan ini padaku. Apa Abang hanya akan menjadikanku Istri simpanan. Yang tak di akui statusnya di mana saja, Adek tak mau." ucapku.
"Beri Abang waktu, ini semua tak mudah."
"Apa kalau Adek memberi waktu, Abang yakin akan lebih memilih Adek?"

Bang Hakim terdiam.

"Tak ada jaminan bukan?. Lalu untuk apa Adek menunggu."
"Tak bisakah kita hidup bersama, aku kasihan pada Riana, perasaanya terlalu halus. Dia sudah cukup berat tanggungannya dengan ketidak sempurnaan yang dimilikinya, apa Abang tega menambah kan luka perceraian padanya."
"Kalau Abang masih ingin bertahan dengannya, tak ingin mekukainya, lepaskan Rinda, percuma saja pembicaraan ini tak akan ada ujungnya." ucapku, aku memundurkan dudukku menjauh darinya.
"Abang tak bisa melepas Adek."
"Bang jangan egois." ucapku. "Ceraikan Rinda, lebih cepat itu lebih baik." tegasku padanya.
"Abang tidak bisa."
"Rinda akan bicara dengan Oma, dan orang tua Abang, Rinda akan bilang hubungan kita sudah selesai."
"Jangan pernah lakukan itu, Abang mencintaimu." ucapnya.

Bang Hakim merapatkan tubuhnya padaku, mengunciku.

"Abang mau apa?" tanyaku, tatapannya berubah Aneh.
Dia memaksakan dirinya padaku. Membuatku ketakutan aku mendorongnya tapi dia terlalu kuat.

"Abang lepaskan." teriakku.
"Adek Istri Abang kan, apa salahnya?"
"Bang jangan lakukan," pintaku, aku sudah ketakutan sekali.
"Abang akan lakukan apapun, supaya Adek tidak pergi. Dengan begini Adek tak akan berfikir untuk meminta cerai dari Abang."

Bang Hakim sudah kehilangan akalnya. Dia terus memaksakan dirinya tak perduli penolakanku.

"Bang Adek mohon, Adek mau tapi tak seperti ini caranya." ucapku memelas.
"Abang tau, Adek juga ingin berbakti pada Abang tapi bukan dengan di paksa seperti ini."

Bang Hakim melongarkan desakanya. Dia memelukku dan menangis. Aku masih kacau sekali.

"Maafkan Abang." pintanya.

Badanku masih gemetaran, aku benar-benar takut sekali.

"Abang Mohon, jangan tinggalkan Abang. Abang sayang Adek, Abang tak bisa tanpa Adek." ucapnya. "Maafin Abang ya." Dia mengusap air mataku.
Mencium kening dan ujung kepalaku, kemudian kembali memelukku.

"Adek mau pulang ke Mama." ucapku kemudian. Aku mendorongnya pelan.
"Abang antar sekarang. Maafin Abang ya, Abang sudah kasar barusan." pintanya lagi. Aku menganggukan kepalaku pelan.

Tak sepatah katapun aku ucapkan dalam perjalanan. Begitupun Bang Hakim hanya tangannya yang sesekali mengusap rambut atau pipiku. Aku mengatur rasaku, tak ingin keluarga mencemaskanku.

"Wah, siapa ini?, cantik sekali anak Mama." Sambut Mama saat melihat rambut baruku.
"Hakim, apa kabar sayang?" Sambut Mama.
"Baik Ma." jawab Bang Hakim setelah mencium pungung tangan Mama.
"Rinda ke kamar dulu Ma." ucapku, kemudian beranjak ke kamar.
Baru akan berganti baju terdengar ketukan di pintu kamarku.

"Belanjaanmu." ucap Bang Hakim, aku lupa membawanya turun.
Aku mengambil darinya tanpa kata. Dan kembali menutup pintu kamarku.

Lepas sholat aku baru ingat ponselku, Masih di Bang Hakim. Tak terdengar suara mobilnya, berarti dia masih di sini. Aku beranjak keluar. Benar dia sedang mengobrol di teras dengan Nenek, Mama dan Cand.

"Sayang, kok di kamar aja. Bikinin kopi buat Abangmu sana." perintah Mama saat melihatku keluar kamar.
"Mba, Cand sekalian ya!" Seru adik bungsungku.
Aku melangkah ke dapur untuk mendidihkan air.
Kusiapkan dua cangkir yang ku isi kopi dan gula. Menuanginya setelah air mendidih.

"Makasih Mbak." ucap Chand saat ku letakkan kopi di meja.
"Sini." Bang Hakim menarik tanganku hingga ku duduk sampingnya.

Dia bersikap biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Semua terlihat bahagia. Bang Hakim begitu kompak dengan Chand dalam membuat semua tertawa. Tangan itu tak lepas dariku, terlihat senyum Mama saat memandangiku dan Bang Hakim.
Mama memang sangat berharap kami memiliki hubungan yang sebenarnya.
Obrolan kami berhenti menjelang mahrib. Cand dan Bang Hakim bergegas ke Mushola yang tak jauh dari rumah.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Mama yang mengikutiku ke dapur.
"Baik Ma, emang kenapa?" tanyaku sambil mencuci cangkir bekas kopi tadi.
"Nggak, keliatan pendiam hari ini. Oh ya, sepertinya Hakim juga terlihat berbeda." ucap Mama.
Aku membalikkan badanku, dia bercerita dengan senyum.

"Beda gimana Mah?, Bukanya biasa juga konyol seperti itu kalau sama Cand."
"Mama liatin tadi, dia kalo liat kamu nggak seperti biasanya, ya pokoknya bedalah. Oh ya gimana rencana programnya?, Mam jadi kepikiran. Maafin Mama ya sayang ya."
"Tunggu pemeriksaan Mah, em Rinda mau sholat dulu." pamitku ke Mama.
Wanita itu tersenyum dan mengusap kepalaku.
Aku bergegas kekamarku setelah mengambil wudhu.
Ku berdiam di dalam kamar masih terdengar obrolan mereka. Kenapa tak pulang-pulang. Mas Pras, ponselku. Aku harus mengambilnya.

"Bang Ponsel Adek." ucapku padanya. Dia duduk di depan dengan Cand.
"Oh iya, Adek ambil sana sekalian ponsel Abang ya." ucapnya.
"Blit ... Blit ... "

Lampu memencar dari arah mobil. Aku segera membuka pintu depan mobil Bang Hakim. Mengambil ponselku dan ponselnya.
Baru akan kunyalakan ponselku, Ponsel Bang Hakim berdering, dari Oma. Aku berjalan cepat dan memberikannya.
Aku kembali ke kamarku setelahnya. Ragu aku ingin menyalakan ponselku.
Mas Pras, benarkah apa yang di ucapkan Bang Hakim tadi.
Kalau benar apa yang harus ku katakan sebagai jawaban.
Dia pria yang menyenangkan, tapi aku tak memiliki perasaan apapun terhadapnya.
Dan Bang Hakim, dia belum mau menceraikanku.
Bertahan atau melepaskan akan sama-sama menyakitkan.
Urung kunyalakan ponselku. Ku letakkan di atas nakas samping ranjangku.

"Adek ... " terdengar pangilan Bang Hakim di luar kamar. Aku beranjak membuka pintu.
"Kita mau makan di luar, ganti baju sana." perintah Bang Hakim.
"Adek malas." ucapku.
"Ssttt, Mama sama Nenek sudah nunggu. Ayolah, Abang tunggu ya." ucapnya sambil mengusap pipiku. Senyum manis terukir di sana.

Terdengar Mama dan Nenek sedang tertawa, mereka terdengar bahagia Bang Hakim mengajak mereka keluar.
Aku pernah hampir kehilangan wanita itu, dan sekarang semua hal aku kesampingkan deminya.
Aku segera berganti baju dan memoles sedikit wajahku.
Melihat diriku di cermin tampak berbeda.
Tak sepolos biasanya. Warna dan model rambut ini membuatku terlihat lain.
Bang Hakim membawa kami ke sebuah Resto yang cukup terkenal di kota ini.
Rona bahagia tak bisa di sembunyikan oleh semua. Tapi Beben tak ada, dia sedang survey lokasi untuk KKN, baru lusa kembali.
Bang Hakim memang membawa warna tersendiri bagi keluargaku.
Banyak hal yang dia lakukan, dan itu tulus. Dia menyayangi semua keluargaku, aku tak ragukan itu. Tak salah Mama yang sedari dulu memang memyayanginya jadi semakin tambah sayang padanya, begitupun Nenek.

"Nek makan yang banyak, besok mau di tantang Oma lomba joget." canda Bang Hakim, yang membuat Nenekku tertawa. Nenek memang sudah mulai enerjik sekarang.
"Oh ya Ma, mumpung semua ada, Hakim mohon restunya, Hakim ingin menjadikan Rinda istri Hakim sesungguhnya, tanpa embel-embel apapun." ucap Bang Hakim tiba-tiba.

Aku langsung menoleh kaget. Untuk tak tersendak. Mama dan Nenek saling beroandangan, mereka tersenyum tapi kemudian menunduk. Terlihat memikirkan sesuatu.

"Nak Hakim yakin dengan perkataan barusan?, lalu bagaimana dengan istri Nak Hakim, Nak Riana." tanya Mama ragu.

Bang Hakim terdiam.

"Hakim akan bicarakan dengan Riana nanti, tapi tidak sekarang. Hakim butuh waktu. Sekarang Hakim hanya ingin Mama dan Nenek tau, kalau Hakim benar-benar mencintai Rinda." jawabnya.

Mama dan Nenek menganggukan kepala. Mereka menginginkan ini, tapi aku tau mereka juga pada akhirnya memikirkan perasaanku juga, walau terlambat.

"Mama percaya, Nak Hakim akan bisa membahagiakan Rinda. Mama minta tolong jangan sakiti hatinya, tolong jaga anak Mama." ucap Mama.
"Pasti Ma." ucap Bang Hakim, meraih tanganku dan mengecupnya. Aku hanya tersenyum kaku.

Hampir jam sembilan kami kembali sampai di rumah. Aku segera masuk ke kamarku. Kepalaku rasanya sakit sekali.
Aku tak menduga Bang Hakim akan mengatakan semua itu. Aku hempaskan tubuhku di kasur menutup wajahku dengan bantal.
Terdengar derit pintu kamarku. Aku turunkan bantalku melihat siapa yang masuk.
Aku langsung melonjak bangun ketika melihat Bang Hakim yang masuk kamarku.

"Ngapain, Abang di sini?" tanyaku.
"Mama minta Abang menginap di sini, Abang tak ingin mengecewakannya." Alasannya.
Senyum menghias bibir itu,membuatku bergidik.

"Tapi kan bisa di kamar Cand, ngapain di kamar Adek."
"Sayang ini bentuk keseriusan perkataanku tadi, Mama sudah memberi restu kan." ucapnya di atas angin.

Aku melihatnya dengan tatapan kesal. Tidak dengannya. Entah apa yang di rencanakannya.
Aku beranjak ingin keluar tangannya menarikku, kemudian mendekapku.

"Lepaskan." ucapku pelan. Tak mungkin juga aku berteriak. Dia pintar sekali.
"Sayang, Abang janji nggak akan aneh-aneh lagi." ucapnya.
"Apa jaminannya?"
"Tak ada juga, tapi Abang akan berusaha menahan diri." ucapnya lagi.
"Abang serius, inginkan Adek selamanya bersama Abang. Abang akan ceraikan Riana tapi beri Abang waktu." ucapnya padaku.
"Abang yakin?" tanyaku. Dia mengangguk
"Mama, Papa, Oma, semua menginginkan Adek, Abang juga." ucapnya lagi.

Mendengarnya aku seperti di bawa terbang tinggi. Tinggi sekali ...

"Adek mau sedikit bersabarkan?"
"Adek mau tapi, ada syaratnya." jawabku.
"Adek tak mau melayani Abang sebelum Abang bercerai dari Riana." Tegasku.

Bang Hakim memandangiku sedikit berbeda. Ada senyum sumir di bibirnya.

"Abang terima syarat Adek, lucu ya, Abang menikahi dua wanita, tapi sampai sekarang Abang belum tau rasanya."
"Maksud Abang apa?, Riana?"
"Riana memerlukan serangkaian terapi untuk bisa melayani Abang. Dan itu tak cukup dengan waktu sebulan, dua bulan, memerlukan waktu lama untuk dia dapat menjalani kewajibannya." jelasnya padaku.

Entah kenapa hatiku senang mendengarnya berdosakah aku. Kasian sekali pria di depanku ini.

"Kenapa Adek tersenyum mendengarnya, Sedang mengejekku?" tanyanya.
Aku mengelengkan kepalaku. Tapi rasa senang ini tak bisa ku sembunyikan, dan dia membacanya.

"Adek senang sekali rupanya." ucapnya lagi. Aku mengulum senyumku.
Dia menceritakan suatu kesedihan dan aku malah senang mendengarnya, aku memang keterlaluan. Aku tak menapiknya aku senang mendengarnya.

"Abang mau apa?" tanyaku ketika wajahnya mulai mendekat.
"Apa perlu di tanya apa yang akan suami lakukan pada istrinya?" tanyanya.
"Abang tadi sudah jan ... " Dia membungkam mulutku dengan bagian lembut di wajahnya.
Dadaku berdebar kencang.

"Abang janji." ucapnya setelah melepasku.

Dia benar-benar memegang janjinya. Dia tertidur dengan memelukku.
Ku amati wajah yang terlelap di sampingku. Masih ada keraguan di hatiku, aku tau tak mudah melepas Riana begitu saja. Bang Hakim, dia terlalu baik. Akan sulit baginya melalui ini semua.
***

Lebih dari dua minggu sejak Bang Hakim meminta Restu pada Mama, semua berjalan biasa. Walau terlihat Bang Hakim mulai berubah pada Riana, tapi aku yakin dia belum mengatakannya.

Dokter Pras, aku tak menemuinya sejak terakhir dia menelponku dulu. Aku tak tau apa yang Bang Hakim katakan padanya.
Dokter Pras mengirim temannya untuk mengantikannya. Alasan ke Oma dia senang ada pekerjaan di luar kota. Tapi dia tak menghubungi lagi setelah hari itu.
Aku mulai di sibukkan dengan Klinik yang sebentar lagi akan beroperasi.
Setelah perkenalan Dokter dan karyawan kemarin lusa.
Sekarang mempersiapkan acara pembukaan klinik untuk minggu depan.
Aku hanya mengundang Vero, hanya dia yang ku kenal.
Berbagai hal di ajarkan Bu Alexa padaku sambil jalan. Dan sudah dua minggu ini Mama Lyna memintaku untuk kursus kepribadian.
Dalam satu minggu aku masuk tiga kali dengan durasi selama 2 jam.
Kursus mengemudi juga sudah ku ikuti.
Mama Lyna meminta Bu Alexa mengurus semua itu.

"Kamu cepat sekali belajar." ujar Bu Alexa.
Hari ini kami mulai menata Klinik untuk opening lusa. Kami mengobrol disela kesibukan kami.

"Banyak hal yang saya tidak tau, terima kasih sudah banyak membantu." ucapku padanya.
"Nyonya sepertinya ingin menjadikanmu sepertinya, seorang wanita yang tanguh dan mandiri. Dengan memasukanmu di kursus kepribadian Nyonya berharap kamu bisa menjadi wanita yang berkelas, kamu akan menghadapi banyak orang dari berbagai kalangan nantinya." jelas Bu Alexa lagi.
Aku tertawa.
Banyak sekali yang harus di perhatikan ternyata, sampai hal sekecilpun. Mulai cara jalan, berbicara, makan dan banyak hal lainnya.
Ponselku bergetar dari Bang Hakim.
Aku ijin memgangkatnya. Mama sebentar lagi sampai di bandara, Ia ingin aku menemaninya menjemput Mama Lyna.

"Abang di depan." ucapnya.
"Lah, sudah di depan?, tunggu sebentar, Adek pamit Bu Alexa dulu." ucapku.

Aku bergegas ke depan setelah pamit ke Bu Alexa.

"Bagaimana persiapannya?" tanyanya saat aku masuk dalam mobil.
"Dah hampir selesai, tinggal cek- cek saja." jawabku.

Dia mengulurkan tangannya, aku menciumnya. Dia menunjuk pipinya untuk ku cium.

"Cukur Abang geli tau." ucapku. Dia tertawa.
"Adek nyuekin Abang akhir-akhir ini, sibuk sekali sekarang." ungkapnya. tanganya mengengam tanganku dan mengecupnya.

"Emang ada pengaruhnya, di rumah Abang juga, cuma nguyel Adek seperti biasa." sindirku padanya.
Dia melirikku.

"Minta lebih? Beneran?" tanyanya.
"Di rumah, berani?" sindirku lagi.

Bang Hakim terdiam. Aku tersenyum hambar.
Tapi aku mulai mengesampingkan urusan pribadiku. Aku jalani semua, selama aku bisa aku akan menikmatinya.
Mulai menyibukkan diri dengan segala kegiatan baruku. Kursus yang ku ikuti ternyata cukup membantu untukku dapat lebih menahan diri.

"Adek janji sabar menunggu kan?" ucapnya memecah suasana diam yang sesaat tercipta.
"Adek sabar menunggu, hanya Adek tak bisa janji apa Adek bisa bertahan dengan perasaan yang sama kalau kelamaan nunggu. Adek sekarang bertemu banyak orang, Abang tak ingin kan Adek jatuh cinta pada pria lainnya?, secara sekarang sering sekali berurusan dengan Pria tampan dan mapan." ucapku.

Bang Hakim menoleh ke arahku. Aku tersenyum manis padanya.

"Makanya cepet jadikan Adek satu-satunya, atau Abang akan kehilangan Adek selamanya kalau tetap seperti ini." lanjutku.

Kucium Pipi pria itu, tak tampak senang. Berfikirlah Bang. Jangan hanya aku yang kau bebani dengan perasaan ini.

"Opening besok?, siapa yang akan Abang bawa sebagai istri?" tanyaku padanya.
Walau aku tau dia pasti akan membawa Riana.

"Maafkan Abang." jawabnya.
Sudah kuduga.

"Maafkan Adek juga." ucapku.
"Untuk Apa?"
"Untuk besok, Kalau Abang membawa Riana sebagai istri, Adek akan memperkenalkan diri sebagai wanita lajang." ucapku. Kucium tanganya yang sedari tadi mengengam tanganku.
"Apa yang Adek lakukan?"
"Adek melakukan seperti yang Abang lakukan." jawabku.
"Sejak kapan Adek pintar bicara."
"Sejak Adek terbuai dengan janji manis Abang, untuk menjadikan Adek satu-satunya wanita di hidup Abang." jawabku. Kusandarkan kepalaku di lengannya.

==========

"Apa Adek tak parcaya pada Abang." tanyanya lagi.
"Iya, Adek tak percaya dengan Abang. Belum ada satu hal pun yang Abang lakukan untuk membuktikan bahwa semua yang Abang katakan adalah serius dan benar." jawabku.
"Kalau kau tak percaya pada Abang kenapa mau menunggu?"
"Kan Abang yang minta, lupa?, Abang yang tak mau melepaskan Adek." jawabku.
"Kenapa Adek ingin sekali bercerai, kalau Adek bilang mencintai Abang."
"Karena Adek tak mau jadi Istri bayangan, istri yang tak di angap keberadaanya, Istri yang tak di akui statusnya. Akan lebih baik Adik melajang, bisa membuka hubungan dengan siapapun. Satu hal yang perlu Abang tau, tak selamanya Adek bisa terus bertahan bila Abang tak segera mengambil keputusan."

Aku masih bersandar di lengan kekar itu, menikmati aroma tubuhnya yang begitu kusuka, Aku mencintainya sangat mencintainya, tapi rasa ini tak boleh membuatku lemah, setidaknya tak terlihat lemah di hadapannya. Setelah bimbang cukup lama, aku harus bisa bersikap atasnya.

Tak berapa lama kami tiba di bandara, tanganya tak melepasku saat berjalan masuk dan menunggu Mama Lyna di terminal kedatangan.

"Adek terlihat semakin cantik." ucapnya, di sela kami menunggu.
"Oh ya, tapi sayangnya tak bisa membuat Abang cepat memutuskan untuk menjadikan Adek satu-satunya." responku datar.
"Ayolah, kenapa dari tadi tak ada kata manis buat Abang, Abang rindu." ucapnya lagi. Menarikku merapat padanya.
"Mamah." tunjuk Bang Hakim.

Senyum terkembang di wajah wanita cantik itu. Sebuah pelukan dan ciuman dia berikan untukku dan Bang Hakim.

"Papa nggak jadi ikut?" tanya Bang Hakim pada Mamanya. Dia mengambil semua bawaan Mama.
"Mendadak ada urusan lain, nyusul kalau sudah selesai katanya." jawab Mama.
"Rinda lebih cantik sekarang, gimana kursusnya?" tanya Mama Lyna.
"Suka mah, makasih ya Mah, dah siapin semua buat Rinda." ucapku.
"Oh ya, ini Mama bawakan baju untuk besok lusa. Pasti kamu belum menyiapkanya buka" ucap Nama sewaktu kami sudah di mobil.
"Iya Ma, belum."
"Hakim tak pernah mebelanjakanmu?" tanya Mama padaku. Aku hanya tersenyum.
"Apa kau tak pernah membelanjakan Rinda?" tanya Mama ke Bang Hakim.
Dia juga terdiam, hanya mengusap tengkungnya.

"Hakim memberimu uang belanja kan?" tanyanya lagi.
"Hakim beri mah, tiap minggu sudah." Bang Hakim yang menjawab. Aku mengangguk pelan.
"Berapa?"
Mama seperti sedang mengintrogasi kami berdua. Aku mengeleng. Mama mengernyitkan dahinya. Aku memang belum pernah mengunakan uang dari Bang Hakim

"Rinda belum pernah pakai Mah, belum Rinda lihat." jawabku.

Mama menasehati kami, panjang.
Dia menasehatiku, seolah aku istri sebenarnya, padahal tak demikian kan. Tapi sangat kuhargai maksud dan tujuan Mama, sebagai bentuk perhatian dan sayangnya.
Sedikit macet, harusnya tiga puluh menit kami sudah sampai rumah. Ini tadi hampir satu jam perjalanan dari bandara ke rumah.

Oma menyambut kami dengan senyum bahagia. Pasti senang rasanya bisa berkumpul dengan anak satu-satunya. Mama memang anak tunggal.
Riana juga pulang lebih cepat ketika tau mama mau datang. Dia terlihat manis sekali.
Dia menampakkan kemesraannya dengan Bang Hakim.
Aku mencoba bersikap biasa, walaupun nyesek juga sebenarnya.
Sesekali tatapan tajam ku arahkan ke Bang Hakim yang membuatnya jadi canggung.
***

Aku berangkat dengan Mama diantar sopir, Bang Hakim berdua dengan Riana.
Mama memintaku bersabar, dia mengatakan kalau dia menyayangiku. Tapi tetap dia tak bisa memaksa Bang Hakim, semua keputusan ada di tangan Bang Hakim sendiri.
Mama hanya ingin aku menjadi wanita mandiri.

"Ma, kalau seandainya Bang Hakim tetap dengan Riana, dan Bang Hakim menceraikan Rinda, apa Mama masih sayang Rinda?" tanyaku.

Memgenal mereka adalah anugerah bagiku, merubah jalan hidupku. Memberikan warna dan banyak hal baru. Memberikan segala kenyamanan, yang dulu tak pernah aku rasakan.

"Mama tetap menyayangimu, kamu anak perempuan Mama, apapun nanti yang terjadi antara kamu dan Hakim." jawannya

Aku benar-benar terharu, masih ada orang sebaik Oma, Mama dan Bang Hakim, lepas dari masalah cinta ini, dia orang yang sangat baik.

Di depan klinik sudah berjajar banyak papan ucapan. Undangan juga sudah berdatangan.
Kedatangan Mama di sambut oleh semua karyawan.
Terlihat MC sedang menerima arahan dari Bu Alexa.
Beberapa model juga sudah bersiap untuk acara demo nanti.
Di sudut lain tampak Bang Hakim bersama Riana dan ibunya serta teman-temannya.
Vero baru terlihat, aku langsung menyambutnya.
Acara sudah di buka oleh MC, Ada acara sambutan - sambutan dari Mama dan Bu Alexa, dilanjutkan perkenalan profil klinik dan dokter yang praktek disini.

"Rind, kenalkan ini Fandi, adik bungsuku." Bu Alexa memangilku, memperkenalkanku pada adiknya.
"Rinda." kenalku
"Fandi." ucapnya, aku menerima tanganya yang telulur.

Bu Alexa menceritakan sedikit tentang adiknya itu. Dia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan kontruksi di kota ini. Cukup ramah dan supel seperti Bu Alexa.

"Ganteng." ucap Vero saat ku kembali padanya.
"Mana?"
"Yang barusan sama kamu tadi."
"Fandi?, iya."

Iya, Fandi memang cukup rupawan, sangat malah. Tapi fokusku masih mengarah ke Bang Hakim dan Riana.
Riana tak melepaskan sedetikpun tangannya dari Bang Hakim.
Bu Alexa kembali memangilku, memperkenalkanku dengan beberapa tamu penting serta rekan bisnis nantinya.
Kami terlibat obrolan untuk beberapa saat.
Vero terlihat bertemu dengan orang yang di kenalnya. Mereka juga terlibat obrolan.

"Terima kasih sudah mengundangku."
Suara itu cukup ku kenal, beberapa waktu tak kudengar.

"Aku baru saja datang dari luar kota langsung ke sini." lanjutnya lagi.
"Terima kasih sudah datang," ucapku.
Aku membawanya ke Mama. Sengaja aku mengandeng tanganya. Terlihat raut bingung
tapi dia tak menolaknya.

"Ma, ini Dokter Pras, Dokternya Oma." Kenalku pada Mama, Mama menyabutnya dengan ramah.
"Mama tinggal sebentar." pamit Mama saat Bu Alexa mendekat dan memberitahu ada kolega.
"Mas kapan balik lagi?, oma sudah kangen itu. Nyari mas terus."
"Kamu, nggak kangen sama mas?" tanyanya ragu.
Aku hanya tersenyum.

Aku menghubungi Mas Pras kemarin atas permintaan Oma. Sekalian aku mengundang ke acara pembukaan klinik hari ini.

"Kata Dokter Hakim, kamu sudah ada tunangan, apa kamu mengundangnya hari ini?, tak ingin memperkenalkan padaku?" tanya Mas Pras tiba-tiba.
"Tunangan?" tanyaku kaget. Mas Pras mengangguk.

Sejenak aku terdiam , pasti ini rekaan Bang Hakim saja agar Mas Pras menjauhiku.

"Emh, Kami sedang ada masalah. Maaf Rinda sedang tak ingin membicarakannya." tutupku.
"Oh ..."

Aku tau sedari tadi, Bang Hakim mengamatiku.
Aku sesekali melihatnya dengan wajah datar.

"Pras, di sini juga?"
Dokter Cindy, dia bekerja di Klinik ini.
"Cind," Sapa Mas Pras.
"Hai Pras."
Dokter Ali juga datang menghampiri.
Mereka ternyata berteman.
Aku membiarkan mereka mengobrol. Dan meninggalkan mereka.
Aku mencari Vero, aku tak melihatnya. Kutebarkan pandanganku ke sekeliling.

"Cari siapa?"

Aku menoleh ke arah suara. Oh Fandi, dia terlihat ikut menebar pandangan ke sekeliling.

"Temenku, yang tadi pakai dress merah." jawabku.
"Yang itu bukan?" tunjuknya. Iya, Vero terlihat masih asyik mengobrol.
"Oh iya." jawabku kemudian.
Tapi aku tak beranjak. Ku cari sosok lainnya, kemana Bang Hakim. Tak terlihat olehku, begitu juga Riana.

"Selamat ya atas klinik barunya, semoga sukses ke depannya." ucap Fandi kemudian.
"Terima kasih." jawabku.

Pembicaraan mulai berlanjut. Sosoknya yang supel membuat obrolan terasa lebih cair. Dia mirip sekali dengan Mas Pras, lucu.

"Adek, bisa ikut Abang, Abang mau minta tolong sesuatu. Saya bawa sebentar ya Mas." Tak tau muncul dari mana, Bang Hakim sudah menarik tanganku.
"Sebentar ya." pamitku ke Fandi. Dia mengangguk dan tersenyum.

Bang Hakim membawaku ke lantai atas. Ke ruangan yang menjadi ruang kerjaku.

"Ada apa?" tanyaku, saat Bang Hakim sudah menutup pintu.

Bang Hakim menanyakan kepadaku kenapa ada Mas Pras. Ku jawab Oma yang memintanya. Dia menanyakan apa saja yang kami bicarakan.

"Rahasia." jawabku.
"Abang tak suka."

Bang Hakim meraihku, mendekapku dalam peluknya.

"Abang juga tak suka kamu dekat dengan Adik Tante Alexa." lanjutnya.

Aku tersenyum melihat ada amarah di mata itu.

"Bagaimana rasanya, sakit?, Abang kira hanya Abang yang ngrasain. Pernah berpikir posisi Adek, perasaan Adek?" tanyaku padanya.
"Abang minta maaf, Abang perlu waktu, tapi tolong jangan seperti ini." ucapnya
"Lalu, kenapa Abang juga melakukannya pada Adek kalau sudah tau sakit rasanya. Lalu Adek harus menunggu sampai kapan?, Abang lihat kan, begitu banyak pria tampan dan mapan bertebaran, Adek tak tau sampai kapan Adek bisa bertahan, kadang kekecewaan membutuhkan tempat pelampiasan, hati yang kecewa butuh sandaran, Adek manusia biasa, rasa bisa berubah kapan saja bila tak mendapat balasan yang serupa." ucapku padanya.

Bang Hakim terdiam, tanganku membalas memeluknya erat.

"Ayolah Bang, Adek tak mau terlalu lama di gantung. Sebulan lagi Adek tunggu jawabanya, pikirkan dan putuskan." ucapku lagi. Kupandangi wajah yang terdiam itu, sekilas kukecup bagian lembut itu.
"Lebih cepat lebih baik." ucapku lagi.
Berada dalam dekapanya seperti ini, dadaku berdebar kencang. Pesonanya tak dapat ku hindari. Semakin hari rasa ini semakin menguasai hatiku. Ingin memilikinya sepenuhnya.
Kusambut sapa lembutnya, lama.
Aku mendorong pelan tubuh suamiku itu. Mengusap bibirnya dengan tanganku.

"Abang tak akan bisa merasakannya lagi, sebelum Abang menjadikan Adek satu-satunya."
"Haruskah seperti itu, Abang suamimu."
"Iya harus seperti itu. Maafkan Adek, semua tergantung Abang."

Aku beranjak meninggalkan Bang Hakim yang masih terdiam di ruangan itu. Kembali membaur dengan yang lainnya.

"Kak Alexa mencarimu, ada beberapa rekan bisnis yang ingin dikenalkannya tadi." ucap Fandi saat melihatku.
Aku mencari Bu Alexa dan Mama. Terlihat mereka sedang berbicara dengan beberapa orang. Aku bergabung dengan mereka.
Acara hari ini berlangsung dengan lancar.
Semua karyawan berkumupul setelah acara.
Senin nanti Klinik sudah mulai beroperasi.
Kami memiliki tiga Dokter, Dokter Ali, Dokter Cindy dan Dokter Fathir.
Perhatianku terhenti di Dokter Fathir, dia berbeda dari Dokter Ali, dia terlihat lebih pendiam. Sesaat tatapan kami bertemu, aku segera mengalihkan pandanganku ke arah lainnya.
***

"Wow, hebat kamu. Puas sekarang, harusnya klinik itu buat aku. Aku istrinya Bang Hakim, benar-benar penjilat."

Riana datang di ruang olah raga, dengan wajah kesal dan terlihat marah padaku.

"Kamu mengucapkan selamat di depan semua, kenapa sekarang bicara seperti ini. Apa kamu hanya pura-pura manis, agar terlihat baik di mata semua?"
"Hah, harusnya dulu aku tak meminta ke Mas Hakim untuk menjadikanmu Ibu penganti. Kesalahan terbesarku membawamu ke rumah ini. Ternyata kamu hanya gadis miskin yang menjilat demi hidup enak."

Aku masih meneruskan jalan cepatku di atas treadmill. Mendengar segala hinaan dan caciannya. Yang hanya masuk telinga kanan langsung keluar dari telinga kiri. Dia terlihat semakin kesal sendiri.

"Hei, kenapa kamu tak mendengarku." Ucapnya dengan nada tinggi. Dia mendorongku, aku terjatuh ke lantai. Lumayan sakit.

"Kamu kasar sekali, apa ini seperti ini kelakuan perempuan yang mengaku berpendidikan." sindirku, lalu berdiri.

Aku tak tau kenapa dia tiba-tiba seperti orang kesetanan, saat dia ingin mendorongku lagi aku mendorongnya.

"Ada apa?"
Bang Hakim muncul dari pintu mendengar teriakan Riana. Dia melihat Riana yang masih terduduk di bawah.

"Aku tak tau Mas, Adik Mas ini tiba-tiba mendorongku." ucapnya dengan menangis.
Bang Hakim menghampirinya dan membantunya berdiri.
Riana langsung memeluk dan menangis di dada pria itu. Dia mengatakan dia hanya ingin memgobrol denganku. Tapi tiba-tiba aku mendorongnya.
Drama queen ternyata. Bang Hakim melihatku, dia menenangkan Riana. Aku mengelang. Tapi tatapan itu terlihat beda. Dia tak percaya padaku.

"Mas, aku hanya ingin memgucapkan selamat padanya, aku ikut senang dia di percaya menjalankan Klinik oleh Mama. Aku tak tau apa salahku, dia tiba-tiba menyerangku."lanjutnya lagi.
"Riana itu tidak benar, jangan mengarang cerita, kamu yang menyerangku lebih dulu." bantahku.
"Mas kenal Riana sudah lama kan, Mas percaya aku bisa melakukannya?" Riana menangis tersedu. Tangan itu mendekap Riana erat, seolah sedang melindungi perempuan itu dariku.

"Sudah jangan menangis." ucap Bang Hakim lalu membawa Riana pergi. Aku melempar pandangan ke arah lain dengan wajah kesalku saat mata Bang Hakim melihat kembali ke arahku.

Huft, kutarik nafasku kasar, kesal sekali rasanya. Perempuan itu pintar sekali memutar balikkan fakta. Rasanya sakit sekali mengingat tatapan mata itu, mataku memanas.
Bang Hakim tak percaya padaku. Ini menyakitkan.
Aku kembali ke atas treadmill, mengaturnya untuk kecepatan paling tinggi untuk melampiaskan kekesalanku.
Nafasku masih tersengal, airmata dan keringat membanjiri tubuhku. Aku mengusap wajahku dengan handuk.
Bang Hakim berjalan ke arahku, yang duduk di atas alat sit up.

"Kamu cemburu?" tanyanya padaku.
Aku hanya melihatnya sekilas.

"Abang minta bersabarlah, tak perlu seperti ini." ucapnya lagi.

Aku tertawa mendengar ucapannya.

"Abang tak percaya padaku?" tanyaku padanya.
"Entahlah, Abang tak percaya Adek bisa berbuat seperti itu, tapi Abang lebih tidak percaya kalau Riana bisa melakukan seperti yang Adek katakan, Abang mengenalnya."

Aku kembali tertawa, menertawakan kebodohanku sendiri yang sudah berharap terlalu banyak, yang sudah bermimpi terlalu tinggi. Air mataku keluar, walau senyum ku sungingkan, senyum getir.

"Baiklah, terserah Abang. Percuma saja apapun yang Adek katakan Abang tak akan percaya kan?" ucapku di depannya.
Aku beranjak dari depannya. Tangannya menahanku. Ku kibas kasar, dan berjalan cepat meninggalkanya.
Aku sedang menertawakan diriku sendiri di depan cermin selepas mandi.
Terdengar ketukan di pintu kamarku.

"Mba di tunggu Nyonya dan Oma di teras samping." ucap Mba As padaku.
"Makasih Mbak." ucapku kemudian beranjak berjalan ke teras samping.

Oma memindai wajahku. Saat ku mendekat di sampingnya.
Aku tersenyum manis padanya, menutupi hatiku yang sedang kacau.

"Oma minta Dokter Pras lagi yang menjadi dokternya." ucap Mama membuka pembicaraan.
"Oh itu, udah Rinda bilang kok. Katanya bisa ntar lagi dateng kataya sudah rindu ke Oma." jawabku.
"Minggu bisa?" tanya Mama.
"Hiih, ini pasien spesial Mah." jawabku. Oma tertawa, terlihat sekali dia bahagia mendengarnya.
"Udah kena pelet sepertinya, Jaran goyang ya Oma." candaku. Dua wanita itu terdengar kembali tertawa.
"Nyonya Dokter Pras datang." ucap Mbak Lina, yang punya nama muncul dari belakang ART Oma itu.
"Panjang umur sekali Dokter kita, baru di Obrolin sama dara-dara jelita, sudah nonggol orangnya." gurauku yang kembali di sambut tawa.

Oma terlihat bahagia sekali, tak seperti kemarin-kemarin sewaktu dengan Dokter Rima penganti sementara Mas Pras.
Mas Pras memang beda, dia selalu bisa memberikan energi positip dengan candanya.
Seperti biasa aku mengantarkan Mas Pras kedepan.
Bang Hakim terlihat turun dari tangga, aku malas melihatnya.
Aku menarik Mas Pras ketika hendak menyapa Bang Hakim.

"Aku belum mengucapkan selamat kemarin untuk pembukaan kliniknya. Selamat ya." ucap Mas Pras saat akan masuk kemobilnya.
"Sama-sama, makasih juga sudah mau pegang Oma lagi."
"Abangmu tak menyukaiku, aku merasa kurang nyaman sebenarnya. Tapi demi Oma aku abaikan rasa itu." ucap Mas Pras.
"Demi oma?"
"Demi Oma dan kamu." lanjutnya.

Aku tersenyum, mendengar ucapan pria itu.

"Paling bisa buat orang jadi ge-er." balasku. Mas Pras tertawa.
"Rinda berangkat jam sembilan, kalau ingin bertemu dengan Rinda, jadwal terapi di buat pagi."
"Mas Praktek dari jam tuju sampai jam sepuluh, tak bisa menemuimu berarti."
"Sayang sekali.".
"Tapi kalau makan siang atau makan malam bisa kan?"
"Tentu saja." jawabku.
"Tunanganmu?"

Aku mengangkat bahuku. Aku tak punya jawaban untuk itu.

"Baiklah, Mas pulang dulu. Sore nanti tolong terapi mandiri ya, besok pagi juga ajak Oma olahraga ringan."
"Siap Pak Dokter." ucapku, dengan gaya hormat, Mas Pras tertawa.
Aku masih memandang ke arah pagar, walau mobil Mas Pras sudah menghilang.
Aku kembali masuk ke rumah, Bang Hakim sudah berdiri di dekat pintu. Tanganya menahan tanganku, yang berjalan melewatinya.
Aku kembali mengibasnya, berjalan cepat ke Oma dan Mama.

Mama Lyna mengundang keluargaku makan siang di rumah. Bertambah ramai, karena Papa juga sudah sampai menyusul Mama.
Melihat semua tertawa, cukup bisa menghalau rasa sakitku.
Riana tak turun dengan alasan tak enak badan.
Hanya Bang Hakim itupun tak terlalu lama karena Riana minta ditemani.
***

Seminggu lebih aku memulai kegiatan baruku, seminggu lebih juga aku abaikan Bang Hakim. Walau dia selalu mendekat, tapi dia belum percaya padaku, aku bisa merasakan itu.
Sebuah pesan masuk ke ponselku, dari nomor yang tak ku kenal. Menanyakan kabarku. Aku tak membalasnya.

[Ini Fandi, masih ingat denganku?]

Aku tersenyum, Fandi adik Ibu Alexa. Aku menjawabnya.
Sebuah ajakan makan siang dia utarakan. Aku masih ragu, aku bilang tak bisa hari ini. Aku menawarinya besok, dia menyetujuinya.
Mulai sudah mengerti pekerjaan yang akan menjadi tangung jawabku nanti. Karena baru beroperasi belum banyak laporan juga. Tapi sudah di ajarkan semua oleh Bu Alexa mengambil contoh dari cabang lain yang sudah berjalan.

Aku sedang di pantry selepas sholat Magrib di mushola klinik. Menikmati segelas kopi dan beberapa potong lemon cake yang di belikan Mba Yuni OG di sini. Sebelah klinik ada toko kue, aku paling suka dengan lemon cakenya.

Kunyahanku terhenti saat seseorang masuk ke pantry, kami beradu mata. Aku tersenyum padanya. Dia membalas senyumku.
Dia terlihat sedang meracik kopi juga.

"Boleh duduk di sini?" tanyanya kemudian.
"Oh, silahkan." jawabku. Mempersilahkan.

Kami hanya diam, dengan aktifitas kami sendiri, terlihat dia sedang fokus ke ponsel di tangannya.

"Lemon cake." tawarku padanya. Dia melihat ke arahku, aku memyodorkan piring di depanku.
"Makasih, beli di sebelah ya. Saya juga suka." jawabnya. Aku mengangguk.

Dia mengambil sepotong dan mulai memakannya.
Terlihat dia sedang menghubungi seseorang. Terdengar akrab dan mesra. Sepertinya istri atau pacarnya.
Dokter Fathir, ternyata orang yang romantis. Manis sekali obrolan mereka.

"Adek masih di sini?"
Bang Hakim muncul di ambang pintu. Dia mengamati Dokter Fathir yang menoleh ke arahnya. Dokter itu menganggukan kepalanya isyarat sebuah sapaan. Dia masih menelpon.

"Abang ngapain ke sini?" tanyaku.

Aku beranjak dan menghampirinya.

"Pulang?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Aku berjalan ke atas ke ruanganku. Bang Hakim mengikutiku.

"Adek marah sama Abang?, Abang minta maaf." ucap Bang Hakim sesampainya di ruanganku.
"Bang, boleh Adek minta sesuatu?" tanyaku padanya.
"Tentu saja, Adek minta apa?" Bang Hakim memelukku dari belakang, aku masih merapikan mejaku.
"Adek jangan hukum Abang seperti ini, jangan lama-lama mendiamkan Abang." lanjutnya.
"Adek minta Abang ceraikan Adek." ucapku.
"Adek bicara apa, bukannya Adek bilang akan menunggu."
"Menunggu untuk apa? Untuk di sakiti lagi. Bahkan Abang tak percaya padaku, untuk apa kita teruskan hubungan ini."
"Sayang sudah jangan di pikirkan lagi, Abang sudah melupakannya, Riana juga sudah tak mengingatnya."

Aku membalikkan badanku.

"Abang masih percaya kalau aku yang memulai masalah dengan Riana?" tanyaku padanya. Bang Hakim terdiam.

"Sudahlah, itu tak masalah. Lupakan saja." Bang Hakim mengelus pipiku.
"Abang tak percaya pada Adek kan? Adek tak pernah memulai masalah dengan Riana, dia yang menghina Adek, dia mendorong Adek terlebih dahulu sampai Adek jatuh. Dan tiba-tiba dia histeris dan menyerang Adek, adek membela diri, tak bermaksud membuatnya jatuh." Ceritaku padanya.

Bang Hakim terdiam mendengarku. Dia bahkan belum mempercayaiku juga.

"Sudahlah, Abang percaya Adek, lupakan semua." Bang Hakim memelukku, tapi aku tau dia belum percaya padaku.
Aku mendorongnya.

"Abang tak percaya, Adek bisa lihat itu di mata Abang. Dan Abang juga tak punya keberanian memutuskan hubungan dengan Riana. Abang hanya mengulur waktu. Dan bila saatnya tiba, Adek tau Abang tak akan memilihku, iya kan?"
"Adek bicara apa?"

Aku tertawa. Aku cukup mengenal Bang Hakim, jiwa Raina yang terlalu lembut di matanya tak akan mungkin bisa membuat Bang Hakim memutuskan hubungan denganya.
Andai saja dia tau seperti apa istrinya itu. Tapi aku tak ada waktu dan malas membuktikanya. Dari awal Bang Hakim tak percaya padaku untuk apa juga.

"Adek akan bicara kepada semua keluarga, adek sudah tak bisa."
"Apa karena Pras, atau adiknya Tante Alexa?" tanya Bang Hakim.
"Bisa jadi, apakah tidak lebih baik Adek memiliki hubungan yang jelas dengan salah satu dari mereka atau yang lainnya."
"Itu tak akan terjadi, Adek hanya akan bersama Abang."
"Kenapa Abang egois sekali, kenapa Abang tak pernah memikirkan perasaan Adek sedikitpun."
"Karena Abang mencintai Adek."
"Cinta seperti apa yang Abang berikan, kenapa malah menyakitkan, bukan membahagiakan?"

Pria itu meraihku, ingin mendekapku. Aku mengibasnya pelan dan beranjak keluar.
Aku cukup lelah, sekarang terserah. Dia masih belum keluar dari ruanganku, aku berjalan cepat.

"Apa saya boleh menumpang?" tanyaku saat melihat Dokter Fathir di dekat mobilnya.
Dia terlihat bingung, tapi dia mempersilahkan dan membukakan pintu untukku. Aku segera masuk dan menutupnya.
Terlihat Bang Hakim keluar dan mencariku, dia menelponku. Mobil melaju keluar dari area klinik.

"Tolong turunkan saja saya di cafe De Lima di depan." pintaku.

Dia menoleh ke arahku.

"Kalau mau, saya antarkan sampai di rumah, di luar mulai hujan." tawarnya.

Hujan memang terlihat mulai turun. Aku berfikir sejenak.

"Tidak merepotkan?" tanyaku kemudian.
"Tentu saja tidak. Rumahnya di daerah mana?" tanyanya kemudian.

Aku menyebutkan alamat rumah Oma, dia bilang searah dengannya. Hujan semakin deras, aku menerima tawarannya.
Kami hanya saling diam selama perjalanan.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER