Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 01 Desember 2021

Pria Dari Masa Lalu #6

Cerita Bersambung
~Tergoda~
"Cinta seperti apa yang Abang berikan, kenapa malah menyakitkan, bukan membahagiakan?"

Pria itu meraihku, ingin mendekapku. Aku mengibasnya pelan dan beranjak keluar.
Aku cukup lelah, sekarang terserah. Dia masih belum keluar dari ruanganku, aku berjalan cepat.

"Apa saya boleh menumpang?" tanyaku saat melihat Dokter Fathir di dekat mobilnya. Dia terlihat bingung, tapi dia mempersilahkan dan membukakan pintu untukku. Aku segera masuk dan menutupnya.

Terlihat Bang Hakim keluar dan mencariku, dia menelponku.
Mobil melaju keluar dari area klinik.

"Tolong turunkan saja saya di cafe De Lima di depan." pintaku.
Dia menoleh ke arahku.

"Kalau mau, saya antarkan sampai di rumah, di luar mulai hujan." tawarnya.

Hujan memang terlihat mulai turun. Aku berfikir sejenak.

"Tidak merepotkan?" tanyaku kemudian.
"Tentu saja tidak. Rumahnya di daerah mana?" tanyanya kemudian.

Aku menyebutkan alamat rumah Oma, dia bilang searah dengannya. Hujan semakin deras, aku menerima tawarannya.
Kami hanya saling diam selama perjalanan.
Aku menelpon Mba Astuti untuk menungguku di depan gerbang dengan payung sekitar sepuluh menitan lagi aku sampai. Hujan turun sangat deras malam ini

"Tumben hujan, deras lagi. Sepertinya sudah lumayan lama tak hujan." ucap Dokter Fathir, membuka kembali obrolan.
"Iya, lama tak hujan." jawabku.

Ponselku bergetar, ku lihat Mama Lyna menelponku.

"Iya Ma." ucapku setelah membalas salamnya.
"Kamu dimana?"
"Masih di jalan Ma, ada sesuatukah?"
"Kata Alexa SIM kamu sudah keluar ya."
"Iya Ma sudah. Kemarin." jawabku.
"Oh ya sudah, Mama telpon Hakim dulu."
"Iya Ma, salam buat Papa."
"Iya, Mama sampaikan."

Mama menutup telpon. Tak berapa lama ponsel kembali bergetar. Bukan telpon, Bang Hakim hanya mengirim pesan memintaku mengangkat telponya. Ponsel aku masukkan kembali ke dalam tasku

Sepuluh menit berlalu.Kami kembali dalam diam.

"Di depan itu, yang ada orang pakai payung." tunjukku ke Dokter Fathir saat sudah akan sampai. Mobil menepi di depan gerbang. Mba Astuti sudah menungguku.
"Di sini ya." ucapnya. Aku menganggukan kepalaku.
"Terima kasih sudah di beri tumpangan." ucapku padanya.

Dokter Fathir tersenyum dan mengangguk. Aku segera keluar, Mbak As sudah menunggu di depan pintu mobil. Suara klakson berbunyi sebelum mobil Dokter Fathir melaju pergi.
Aku segera masuk, hujan di sertia angin tetap membasahiku walau sudah berpayung lebar. Bergegas ke kamar mandi sesampainya di dalam kamar. Mandi air hangat cukup mengurangi penatku.
Aku kaget saat Bang Hakim sudah duduk di pingiran ranjang saat aku keluar dari kamar mandi.

"Abang ngapain di sini?" tanyaku. Dia bergeming, hanya memandangiku. Aku menyipitkan mataku.

Aku tersadar dan kembali ke kamar mandi dan menutupnya.
Terdengar ketukan di pintu, suara Bang Hakim memangilku.

"Abang keluar dulu, Adek mau pakai baju." teriakku.
"Kenapa, Abang suami kamu." ucapnya.
"Kalau Abang tak keluar, Adek tak mau keluar dari sini."
"Baik-baik, abang keluar. Tapi janji setelah itu kita bicara."
"Ya udah sana pergi!" teriakku. Kutempelkan telingaku ke pintu. Terdengar pintu di buka kemudian ditutup kembali. Ku buka pelan, kepalaku keluar lebih dahulu, tak ada. Aku bergegas keluar kamar mandi dan mengambil baju di lemari.
Ku keluar kamar menuju kamar Oma, dia terlihat sedang membaca buku saat aku masuk ke kamarnya.

"Barusan pulang?" tanya Oma menyambutku. Ditutupnya buku yang baru saja dibaca di atas meja.
Aku menghampirinya memberikan kecupan di pipi dan memeluknya.

"Iya Oma." jawabku kemudian.
"Mau makan?" tanyaku lagi. Oma mengangguk.
Aku membawa Oma keluar ke ruang Makan. Makan malam terlihat sudah di siapkan.

"As, yang lain sudah pulang?" tanya Oma pada Mba As yang sedang menuangkan air putih kedalam gelas.
"Tuan Hakim sudah, tapi Nyonya Riana belum datang." jawab Mba As.
"Pangil Abangmu." suruh Oma padaku.

Aku bangun dari dudukku.
Melewati ruang tengah dan mulai menaiki anak tangga. Mengayunkan tanganku, mengetuk daun pintu dengan jari tengahku.

"Abang, di pangil Oma. Ditunggu di ruang makan." seruku.

Tak ada sautan. Aku kembali mengulangi pangilan dan ketukanku. Pintu terbuka, aku sejenak terpaku.

"Tunggu, sebentar lagi Abang turun." jawabnya.
Melihatku dia tersenyum. Menarikku merapat padanya. Sadarku kembali menyapa, ku lepaskan pelukannya. Pipiku terasa hangat, Aku beranjak dan berjalan cepat.
Kudengar tawa Bang Hakim, aku mengelengkan kepalaku mencoba menghilangkan ingatan tentang apa yang baru saja aku lihat.
Aku langsung menarik kursi, dan duduk di samping Oma, ku bilang sebentar lagi Bang Hakim turun.
Tak berapa lama Bang Hakim sudah berdiri di seberang meja.
Senyumnya berbeda, nakal dan mengoda. Wajahku terasa menghangat.
Dia mengerlingkan matanya saat tatapan kami beradu.
Sedikit obrolan Oma dan Bang Hakim sebelum makan malam.
Aku tak menimpalinya, otakku terlalu sibuk menghalau pikiran tak jelas yang tiba-tiba berkelana kemana-mana.

"Antar Oma ke kamar, oma mau melanjutkan membaca lagi." pinta oma selepas makan malam selesai.
"Hakim antar Oma." ucap Bang Hakim, berdiri dari kursinya.
Mengangkat Oma kembali ke kursi roda. Mendorong kembali Oma masuk ke dalam kamar. Aku mengikutinya dengan membawa air putih hangat.

"Oma Rinda taruk sini ya minumnya, oh ya jangan malam-malam tidurnya." pesanku saat Oma sudah duduk di atas ranjangnya.
Aku pergi selepas mengecup pipi dan memeluk seperti biasanya.
Bang Hakim melakukan hal yang sama, kemudian dia mengikuti langkahku.
Dia menarikku ke teras samping.
Hujan sudah mereda, menyisakan angin yang sedikit menusuk dinginnya di kulit.

"Adek pulang dengan apa tadi?, Abang bingung mencari, Abang telpon juga tak Adek angkat. Abang kuatir, Adek ngerti?" ucapnya. Aku terdiam.
"Maafkan Abang. Abang percaya kamu tak melakukannya, itu hanya salah paham saja. Tak usah Adek pikirkan lagi." ucapnya.

Aku memandanginya, aku lebih memilih meyakini yang matanya ungkapkan dari pada apa yang dia ucapkan.

"Maafkan Abang, kalau Abang tak percaya pada Adek, untuk apa Abang terus meminta agar Adek tak meninggalkan Abang, Abang tak mungkin mau punya istri yang kasar." ucapnya lagi.
"Lalu kapan Abang akan melepas Riana?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Secepatnya." jawabnya.
"Abang yakin?"
"Yakin sekali." jawabnya lagi.

Aku kembali mencari kebenaran di matanya. Tanganya meraihku mendekapku dalam peluknya.
Dadaku bergetar hebat. Rasa ini menyiksaku menguasai sadarku.
Tangan Bang Hakim mengangkat kepalaku, kemudian membingkai wajahku.

"Secepatnya, Abang akan mengakhiri semua." janjinya lagi.
Aku melihat keseriusan di mata itu dan aku percaya.
Dan saat bibir itu menyapa pada bagian yang sama, diri ini tak dapat menolaknya.
Kami tertaut lama, debaran di dadaku semakin terasa. Apa salah kalau aku juga menginginkannya.
Hangatnya cinta ini, membawaku terbang tinggi. Aku menginginkannya, dan dia menginginkanku saat ini, sementara cukup bagiku.
Secepat itukah Bang Hakim berubah?, aku tak tau. Aku hanya membaca dari mata itu, perasaanya tulus padaku.
Tak ada kebimbangan lagi di sana. Walau tak ku yakini sepenuhnya, apa dia bisa saat menghadapi respon Riana nanti.
Kami hanya saling mendekap hangat.
Tak banyak bicara, hanya saling menautkan diri.
Menikmati dinginnya angin yang berhembus, namun tak mampu mendinginkan hasrat yang sudah terlanjur memuncah.

"Apa Abang tak takut kalau Riana melihatnya?" pertanyaan pancingan seorang perempuan yang ingin di utamakan.
"Akan lebih baik, Abang tak perlu banyak menjelaskan." ucapnya lagi.
"Boleh malam ini Abang tidur di kamar Adek."
"Nggak."
"Adek katakan, Abang noleh melakukan apapun asal di rumah."
"Tidak sekarang, tunggu Akte cerai Abang keluar."
"Ayolah, Abang janji tak akan macam-macam. Abang hanya ingin selalu bersama Adek." ucapnya pelan, hangat nafasnya terasa di telingaku.
Ada apa denganku, aku begitu menikmati setiap sentuhanya, aku menikmati kehangatan ini.

"Abang serius?, Bagaimana kalau Riana pulang mencari Abang. Apa yang akan Abang katakan?" tanyaku.
"Abang akan bilang apa adanya." ucapnya lagi.
Kenapa perasaanku berubah tak nyaman. Aku tak percaya Bang Hakim bisa melakukan hal itu.

"Oh ya, besok ikut Abang, Abang punya hadiah buat kamu."
"Hadiah?"
"He hem." jawab Bang Hakim. Dia kembali menangkap lengkungan hangat di wajahku.

Kami menikmati malam ini, sampai larut. Tapi kenapa tak ada tanda-tanda Riana pulang.
Ini sudah sangat larut. Aku melepaskan diri dari pelukan Bang Hakim.

"Riana tidak pulang?" tanyaku padanya. Bang Hakim mengangkat bahunya.
"Abang tak tau, dari tadi kan Abang bersamamu di sini." ucapnya. Aku merasa sedikit curiga kepadanya. Jangan-jangan Riana memang tak pulang, karena itu Bang Hakim berani mendekatiku di rumah, minta tidur bareng lagi, kan aneh.

"Mana ponsel Abang?" tanyaku.
"Di kamar, ada apa?"
"Rinda mau lihat." jawabku. Aku berdiri Bang Hakim mengikutiku.
"Memang ada apa?" tanyanya lagi. Aku tak menjawab hanya berjalan masuk.
Langkah aku lanjutkan ke arah tangga.

"Ada apa sih?" tanyanya bingung.
Dia mengikutiku, dan membuka pintu kamarnya saat kami sudah di depannya.

"Mana ponsel Abang?" tanyaku. Dia menunjuk nakas di samping ranjang. Di beri pasword, aku menanyakannya. Dia bilang tanggal pernikahan kami, sedikit terkejut, tapi memang benar itu.
Pangilan tak terjawab dari Riana dan beberapa pesan belum terbaca.
Riana tak pulang Ayahnya mendadak sakit, dikirim jam delapan tadi.
Pesan belum terbuka saat ku melihatnya. Berarti Bang Hakim belum membacanya.

"Ada apa sih?" tanyanya kemudian mengambil ponsel dari tanganku.
Dia membaca dan terlihat membalas pesan dari Riana.
Kecurigaanku tak terbukti, dia tak tau kalau Riana tak pulang malam ini.

"Kamu tak percaya dengan Abang?" tanyanya.
"Iya, wajarkan. Bang Hakim sendiri membingungkan." alasanku.
"Sekarang percaya?"
Aku mengelengkan kepala.
"Adek baru percaya, kalau Abang sudah menjadi suami Adek sepenuhnya, dan Adek menjadi istri Abang satu-satunya." jawabku.
"Dah malam, Adek mau tidur dulu." ucapku.
"Di kamar Adek?"
"Tidur sendiri-sendiri Bang, cukup yang tadi saja, Abang sudah dapat lebih. Makanya jangan tunggu lama-lama." ucapku, aku tersenyum padanya.
Menyapanya sebentar tak ada salahnya. Ku taut lengkungan hangat di wajah itu.
Kemudian beranjak pergi keluar kamarnya.
Aku sedang di ombang-ambingkan oleh rasa ini, dia mendekat saat ku ingin menjauh. Tapi hatiku belum yakin akan semudah itu, Riana tak akan melepas Bang Hakim begitu saja.
Dia berbeda, aku harus berhati-hati dan waspada padanya.
Tapi setidaknya, Bang Hakim mulai berani, memunjukkan perasaanya. Walau belum terbukti sepenuhnya.
Aku saja bingung alasan apa yang akan di pakai untuk menceraikan Riana, sedangkan usia pernikahan mereka belum genap dua bulan.
Aku baru merabahkan padaku, ketika ponsel ku bergetar. Pangilan Video dari Bang Hakim.
Ada apa lagi.
Aku memgangkatnya.

"Adek jahat sekali." ucapnya padaku.
Wajah tampannya langsung keluar di layar. Dia sengaja sedikit menjauhkan ponselnya. Aku hanya bisa mengigit bibir bawahku. Dia sengaja mengodaku.
Dia merayuku, aku menahan senyumku, antara lucu, gemas, dan perasaan lainnya bercampur menjadi satu. Ini menyiksa, menahan hasrat ini sunguh menyiksaku.
Aku hanya mengelengkan kepalaku, dia pasti bisa melihat rona merah di wajahku.
Aku mengantinya ke kamera belakang. Hanya aku yang bisa melihatnya, seluruh tubuhku menghangat.
Dia benar-benar sempurna.
Pikirannku berkelana, dia memprotesku karena aku memindahkan kamera.

"Sudah Bang, Adek ngantuk." Alasanku. Aku memutus pangilan darinya.
Ku benamkan kepalaku di atas bantal. Aku hanya manusia biasa, dan ini bukan sesuatu yang salah. Hanya prinsip yang membuatku tetap bergeming.
Menyadarkanku untuk tak terbuai, atas surga dunia yang dia tawarkan padaku.
Bayangannya tak lepas dari pikiranku. Dia tau aku menginginkannya.
Rinda kamu harus kuat. Jangan tergoda, aku sedang menceramahi diriku sendiri.
Menutup kepalaku dengan bantal dan berharap segera terlelap.
***

Pagi ini Bang Hakim juga begitu manis padaku. Dia berangkat pagi, sebuah kecupan di singahkan dikeningku, saat ku mengantarkannya ke depan.
Tanganya lembut mengusap pipiku, hidung mancungnya beradu gemas dengan hidungku. Manis sekali, seperti mimpi.

Siang Bang Hakim mengajakku keluar, aku membatalkan janjiku dengan Fandi.

"Abang serius?" tanyaku padanya.
"Apa Abang terlihat bercanda?" tanyanya balik. Aku mengangkat bahuku.
"Kan Adek sudah punya SIM sekarang. Ini Hadiah Abang buat Adek." Aku masih berdiri tak percaya, sama dengan milik Riana hanya beda warna.

"Harus sama ya?" tanyaku merasa tak nyaman.
"Nggak juga, cuma Abang suka aja, kalau Adek ada pilihan lain ya tak apa, terserah Adek saja." ucapnya.

Aku memilih type lainnya, dan ternyata lebih mahal dari milik Riana. Kata Bang Hakim tak mengapa. Tak masalah baginya.
Begini ternyata orang kaya, beli mobil seperti membeli kacang saja.
Pihak Dealer akan mengirimkannya besok ke rumah.

"Temani Abang makan dulu ya?" pintanya. Aku menganggukan kepala.

Ponsel Bang Hakim bergetar. Telpon dari Riana.
Sepertinya meminta Bang Hakim kerumah sakit, untuk menjenguk Ayahnya.

"Iya, aku kesana nanti, tak bisa sekarang. Tunggu ya." ucap Bang Hakim pada Riana.

Tadi malam dan hari ini adalah milikku. Bang Hakim memperlakukanku seperti seharusnya, memperlakukanku sebagai istri sebenarnya. Tapi tak cukup membuaiku, sebelum terpisah dengan Riana, aku tak akan membunuh akalku.

Aku pulang selepas Magrib, Bang Hakim tak bisa menjemputku, Dia memintaku di antar Pak Basri sopir kantor yang dulunya sopir pribadi Oma.
Ayah Riana semakin parah sakitnya. Dia tak bisa meninggalkannya. Perasaan baru saja ku kecap rasa manisnya.
Sekarang kembali menyesakkan.

==========

Terserahlah, aku sedang malas memikirkannya. Aku mencari Pak Basri kata Budi OB, sedang ngopi di warung belakang klinik.
Sambil menunggu aku pergi ke toko kue tepat di samping klinik. Sayang Oma tak boleh banyak makan yang manis, kalu noleh dia pasti suka.
Seperti biasa aku mengambil Lemon Cake dan menambahkan Chesscake.

"Hai."
Aku menoleh saat ada yang menyapaku.
Aku mengulas senyumku sambil menyelipkan rambutku yang jatuh dan menutupi pipiku ke belakang telinga.
Aku menjawabnya dengan kata yang sama.

"Mau pulang." tanyanya kemudian. Kami sama-sama mengantri di kasir, dia lebih dulu.
"Iya, masih nunggu Pak Basri." jawabku.
"Sekalian punya Mba ini boleh?" ucapnya ke Mba kasir.
"Nggak usah repot-repot, biar saya bayar sendiri." ucapku.
"Cuma kue, sekalian aja." ucapnya menarik nampanku dan menyodorkannya ke Kasir.
"Semua tiga ratus enam puluh tujuh ribu rupiah Pak." ucap Mba Kasir.
Pria itu mengeluarkan kartu debit salah satu bank dari dalam dompetnya. Kemudian memberikannya pada kasir.

"PIN nya silahkah." ucap Mba kasir, Pria itu menekan kombinasi angka di mesin EDC.

Ucapan terima kasih dan silahkan datang kembali, mengiringi kami melangkah keluar toko.

"Makasih yah, ngrepotin terus kan jadinya." ucapku padanya. Pria itu hanya tersenyum.

Aku kembali menanyakan Pak Basri pada Budi yang masih duduk di depan Klinik dengan Mas Slamet satpam.
Pak Bisri diminta Bu Alexa mengantarnya, karena mobil Bu Alexa masuk ke Bengkel, setelah di tumbur sepeda motor kemarin siang. Aku juga mendengar kejadian itu.

"Mau bareng lagi?" tawar Pria yang sedari tadi ternyata masih berada di sampingku.

Aku menolaknya karena sungkan, terus merepotkanya. Tapi dia bilang tak merasa direpotkan. Memintaku untuk tidak perlu sungkan.

"Makasih ya Mas." ucapku, saat mobil melaju pelan meninggalkan parkiran klinik.
"Terima kasih terus." ucapnya dengan tersenyum.

Dia tak sependiam yang aku kira. Cukup hangat dan supel.

"Mas sudah berkeluarga?" tanyaku. Aku takut ada salah paham kalau ternyata dia sudah berkeluarga.
"Belum, baru mau. Rencana tahun depan, tapi kemungkinan di percepat bulan depan karena sesuatu hal." jawabnya kemudian.
"Oh, jangan lupa saya di undang nanti ya." ucapku padanya.
"Tak ada perayaan. Hanya orang tua dan saudara saja." ucapnya lagi.
"Oh, semua baik-baik saja?" tanyaku.
Ih kenapa aku jadi penasaran. Rencana tahun depan di majukan bulan depan, apa ... ah tak mungkin Pria ini terlihat begitu baik dan sopan masak iya deposit dulu.

"Sharen sakit, dia menderita leukimia. Karena itu pernikahan kami di percepat." jelas Pria itu, seolah menjawab pertanyaan dalam pikiranku.
"Ikut sedih mendengarnya." ucapku.
Sekilas kulihat ke arahnya, senyum sumir terlihat saat tersorot lampu jalan.

Ah, setauku kebanyakan penderita leukimia tak bisa bertahan lama. Apa itu alasan pernikahan mereka di percepat. Pria ini huff kenapa aku jadi memikirkanya.

"Boleh aku pangil, dengan kamu?, kalau Ibu terdengar aneh saja. Kamu masih begitu muda."
"Tentu saja, pangil Rinda juga tak mengapa." jawabku.
"Adik?"
"Jangan." entah kenapa aku berseru.
"Bercanda, aku sering mendengar Dokter Hakim memangilmu seperti itu."
"Mas kenal Bang Hakim." tanyaku.
"Hanya tau, tapi dia tak mengenalku." jawabnya.
"Dia terlihat sayang sekali padamu." ucapnya kemudian. "Jarang Adik - Kakak se akrab itu." tambahnya lagi.

Aku tak tau harus merespon seperti apa kecuali hanya tersenyum. Senyum yang bahkan aku sendiri tak dapat mengartikannya.

"Aku mengenal Dokter Ridwan, dia sepupu Istrinya Dokter Hakim." lanjutnya.
"Oh, Riana." ucapku pelan setengah bergumam.
"Iya."

Tak berapa lama, mobil sudah menepi di depan pagar.
Aku mengucapkan banyak terima kasih padanya. Dia membalasnya dengan senyuman dan ucapan sampai bertemu besok.

"Hakim belum datang?" tanya Oma, saat makan malam.
"Ayah Riana sakit Oma." jawabku. Oma hanya menjawab dengan kata O.

Lepas makan malam , aku menemani Oma, menanyakan kemajuan terapinya.
Oma menunjukkan hasil terapi Dokter Pras, Oma bisa berjalan beberapa langkah dan bisa berdiri tanpa alat bantu lebih lama.
Senang sekali melihatnya, aku memijat pelan kaki Oma, sampai dia tertidur.
Kulihat jam, sudah hampir jam sembilan. Aku kembali ke kamarku.
Bang Hakim sepertinya belum datang juga.
Kenapa juga aku menunggunya, tapi bukankan dia sudah berjanji padaku akan melepaskan Riana. Ah, aku menertawakan diriku sendiri seolah tak mengenal Bang Hakim.
Setengah sadar aku membuka pintu kamarku, terdengar seperti ketukan. Benar, Bang Hakim berdiri di depan pintu. Aku menyipitkan mataku.

"Abang baru pulang?" tanyaku kemudian.
"Iya, bisa buatkan teh hangat buat Abang." pintanya. Aku mengangguk.
"Abang mandi dulu ya." ucapnya. Aku kembali hanya mengangguk.

Kami beranjak dari depan kamarku, Aku ke dapur Bang Hakim kekamarnya.
Kulihat sudah jam sepuluh lebih. Aku menunggunya, dia belum turun juga.

"Abang sudah makan?" tanyaku saat dia sudah di ruang makan.
"Belum, tapi nggak pengen makan. Minum aja, Badan Abang terasa nggak enak." ucapnya, menarik kursi dan duduk di sampingku.
"Masuk angin mungkin Bang, kecapaian." ucapku. Aku memaksa membuka mataku, di tengah ngantuk yang menderaku.
"Abang tidur aja abis ini, besok juga baikan." ucapku.
"Kalau Adek ngantuk, Adek tidur aja, makasih teh hangatnya." ucapnya. Tanganya mengusap ujung kepalaku. Aku mengangguk dan kembali ke kamar.

Baru aku kembali sedikit terlelap, kembali terdengar ketukan di pintuku. Malas dan setengah sadar aku membukanya.

"Abang butuh sesuatu?" tanyaku saat Bang Hakim kembali berdiri di depan kamarku.
"Bagian sini sakit, tolong Adek pijit bentar ya."ucapnya sambil memegang tengkuknya. Tanpa menunggu jawabanku dia masuk ke kamarku.

Dia duduk di ranjangku, aku menghampirinya.
Kupijat kepalaku sendiri sebentar untuk menghilangkan kantukku.
Aku mengambil posisi setengah duduk di belakangnya. Bahunya terasa begitu kaku.
Kutekan jempolku dan memijatnya berlahan leher ke bahu.
Baru beberapa menit tanganku sudah terasa capek. Badanya terlalu kekar untukku. Tak seperi Oma, Mama atau Nenek.

"Capek." ucapku. Ku duduk dan menyandar di pungungnya. Tanganku di raih Bang Hakim hingga melingkarinya.
"Ya sudah, mau gantian." Godanya. Aku hanya tertawa kecil.

Ada yang menari nakal dalam otakku, yang tiba-tiba menghalau kantukku.
Tak ada pelajaran khusus tentang ini, semua alamiah terjadi.
Aku juga tak mengerti semua berjalan pelan mengikuti hasrat hati. Aku menertawakan diriku sendiri yang tak bisa menolak pesona yang di sajikannya malam ini.
Bermain sebentar saja tak mengapa kan?, aku masih cukup sadar kapan harus mengakhirinya.
Nafas kami terdengar semakin berat. Bukan maksud mempermainkannya, karena aku sama juga tersiksanya. Tapi aku bisa apa ketika tak ada ketegasan yang kudapat darinya.

"Abang tak ingin kembali ke kamar Abang. Sudah malam." ucapku mendorongnya pelan. Rasanya seperti sedang terbang tinggi, kemudian seketika jatuh ke bumi.

"Adek sengaja mengerjai Abang." ucapnya dengan mata terpejam. Aku tersenyum masam.
Kumainkan jemariku di atas dada bidangnya. Detaknya dapat kulihat dan kurasakan.

"Cepat putuskan. Genggam atau lepaskan." Bang Hakim terkejut dengan perlakuanku, matanya terbuka. Dia menarikku hingga wajahku tepat di atasnya.

"Kenapa Adek sekarang nakal sekali ha?" ucapnya. Aku hanya memanyunkan bibirku dan mengelengkan kepalaku.
Matanya berhenti di satu titik. Ku menyapu wajah itu dengan tanganku. Menarik diri darinya.

"Kenapa tidak kita lakukan, Adek menginginkan Abang juga kan." ucapnya belum mau menyerah. Aku memandanginya dengan nakal, dan kemudian mengeleng.

"Satu istri, Adek atau Riana." ucapku berjalan ke pintu dan membukanya.
"Satu bulan Abang akan segera habis." ucapku lagi.

Bang Hakim bangun dari ranjangku berjalan ke arahku. Kembali aku terpaku melihatnya dan segera mengahalau lagi pikiran itu. Dia menarikku dan kembali memangutku.

"Tunggu balasan dari Abang." ucapnya setelah melepasku.
"Adek tunggu." jawabku. Ku membelainya pelan, matanya terpejam.
Sebuah kecupan di pipi kuberikan sebelum mendorongnya keluar.
Aku begitu geli membayangkan diriku sendiri. Tapi semua terjadi begitu saja. Entah apa yang dia rasakan, aku sendiri merasa meriang di sekujur badan.
***

Pagi sekali kata Mba As Bang Hakim keluar, sepertinya kondisi Ayah Riana memburuk. Ini bukan kabar baik juga untukku.
Aku berangkat siang karena jam sebelasan ada janji dengan pihak Dealer yang akan mengantar mobil baruku. Sekalian menemani Oma terapi.
Mas Pras dia tak menghubungiku selepas hari itu.

Hari ini aku bertemu dengannya, tak ada yang berbeda, hanya dia sedang sibuk dengan bisnis Kafenya ternyata.

"Kamu rindu mas?, tumben." godanya padaku. Aku hanya tertawa.
"Bagaimana kalau menemani Mas belanja selepas kamu pulang dari Klinik. Mas butuh beberapa barang untuk di Kafe mungkin kamu bisa bantu pilihkan." pintanya.
"Boleh, setengah tujuh Mas bisa jemput Rinda." jawabku.
"Siap, oh ya, bagaimana kabar tunangan kamu, tak marahkah dia, kamu pergi denganku?" tanyanya. Dan aku kembali hanya mengangkat bahu.
"Baiklah, sampai ketemu nanti malam ya." ucapnya. Aku mengangguk manis.

Ku segera masuk setelah Mas Pras pergi, kembali ke kamar, kulihat ponselku yang terlihat ada notif pesan masuk. Kubuka, dari adikku Beben.
Ada pesan juga dari Bang Hakim, Mobilku sebentar lagi sampai. Dan Fendi menanyakan apa kabarku.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER