Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 02 Desember 2021

Pria Dari Masa Lalu #7

Cerita Bersambung

*Lelah*
Ku segera masuk setelah Mas Pras pergi, kembali ke kamar, kulihat ponselku yang terlihat ada notif pesan masuk. Kubuka, dari adikku Beben.

Ada pesan juga dari Bang Hakim, Mobilku sebentar lagi sampai. Dan Fendi menanyakan apa kabarku.

Aku membalasnya satu-satu, lewat pesan juga. Bang Hakim menelponku kemudian setelah pesanku masuk padanya.

"Adek temani Oma tadi." ucapku padanya.

"Sama Pras berarti?"
"Iya." jawabku. "Mas Pras mengajak Adek keluar nanti."
"Abang tak mengijinkan." ucapnya.
"Kalau Abang jemput Adek nanti jam setengah tuju, Adek sama Abang. Kalau Abang tak datang, Adek pergi dengan Mas Pras." ucapku.
"Abang menemani Riana, Abang tak tau bisa pulang atau tidak kondisi Papa Riana buruk."
"Baiklah, Adek menemani Mas Pras kalau gitu." ucapku. Menutup pangilan. Tak kuhirau pangilan Bang Hakim selanjutnya.

Harapanku kembali memuai, percuma mengharap Bang Hakim meninggalkan Riana dalam kondisi seperti ini. Itu tak mungkin terjadi. Dan sekarang yang dilakukannya hanya mengulur waktu. Membuaiku dalam janjinya, walau aku merasa dia benar-benar menginginkanku.
Aku sadar sepenuhnya, aku hanya ingin menikmati kebersamaan dengan pria yang kucintai, salahkah?
Semakin kesini aku semakin terpesona olehnya, menikmati segala hal yang dia berikan padaku. Walau aku harus tetap menjaga sadarku. Agar aku tak kehilangan hartaku yang paling berharga, kehormatan.
Aku akan melepasnya dengan pria yang benar-benar mencintaiku, dan pria yang sepenuhnya aku miliki.
Berpisah dengannya apa itu sebuah gertakan?, tidak juga. Aku tidak sedang mengertak saja, aku benar-benar tidak ingin berbagi cintaku dengan wanita lain.
Aku memang egois, Riana lebih dululah yang ada di hati Bang Hakim, seperti apapun dia Bang Hakim juga tak tau, dan bila wanita itu memiliki cinta Bang Hakim lebih besar, wajar saja sebenarnya.
Kenapa aku harus masuk dalam lingkaran kisah ini. Meski aku di nikahinya lebih dahulu, aku tetaplah orang kedua dalam hubungan mereka.
Kenapa juga Bang Hakim harus memiliki perasaan yang sama denganku. Akan lebih mudah keluar dari masalah ini bila Bang Hakim tak menginginkanku juga.
Nikmati sejenak, tapi jangan pakai hati. Mungkinkah itu?, bisa saja, apa salahnya sedikit berjuang. Menaklukannya sepenuhnya? Boleh di coba. Jangan libatkan hati, bila tak sesuai harapan tak akan terpuruk diri ini. Entahlah terdengar sulit untuk tak melibatkan hati di sini.
***

"Hadiah dari Bang Hakim Oma?" jawabku.

Aku sedang mengobrol dengan Oma, saat Mba As memberi tahu ada orang delaer mengantar mobilku.
Setelah menandatangani berkas penerimaan dan surat jalan, aku pamit ke Oma.
Beben sudah menjemputku.

"Nggak pakai mobil barunya Mba Rinda." tanya Mas Samsul ramah.
"Nanti saya carikan plat nomor lain dulu." lanjutnya lagi.
"Iya Mas Samsul, makasih bantuannya." ucapku.

Tak berapa lama Beben sudah sampai di depan rumah

"Nggak apa-apa naik motor?" tanyanya.
"Emangnya kenapa?" tanyaku.
"Ya nggak apa-apa, cuma sekarang kan Mba naik mobil terus." jawabnya.
"Haiyah, kirain apa. Udah ayok jalan." ucapki setelah nangkring di motor buntutnya.
"Mba, makan dulu ya? lapar. Traktir tapi."
"Iya, Ke foodcenter aja yang dekat klinik," ucapku padanya.

Motor melaju pelan, karena memang tak mampu lagi berlari kencang.
Akhirnya sampai juga di tempat yang kami tuju.

"Laper bener, berapa hari nggak makan?" tanyaku, Beben tergelak.
Dia mengambil makananku juga, aku juga sedang tak terlalu lapar.

"Kapan KKN?" tanyaku kemudian. Dia meneguk teh dingin di depannya.
"Akhir bulan, dua mingguan lagi." jawabnya.

Dia mulai menanyakan perkembangan hubunganku dengan Bang Hakim. Dia mulai mengaruk kepalanya, karena memang sudah rumit dan masuk ranah pribadi. Aku hanya bercerita garis besarnya saja.

"Berat juga, sepertinya akan sulit sekali Bang Hakim lepas dari istrinya. Eh Kak, coba di rekam aja pas Riana lagi bicara kasar, biar Bang Hakim tau juga."
"Ya kan nggak keduga, nggak nentu juga. Kalau dirumah jarang bawa ponsel kemana-mana. Dia juga kayak jailangkung, tiba-tiba muncul gitu." ucapku.
"Kalau cctv?"
"Ada di beberapa sudut, sudah Mbak periksa, cuma pas di ruang olah raga hanya terpasang di luar, tak menyorot di dalam. Kan terhubung ke satpam, sedang itu termasuk ruang pribadi." jawabku.
"Suaranya nggak kedengeran juga?"tanyanya lagi, aku mengeleng.
"Haiy Rind."
Aku mendongak saat seseorang menyapaku. Fandi.

"Haiy, Fand." jawabku.
"Disini juga, baru datang atau sudah selesai?" tanyaku. Dia menjawab baru datang.
Aku memperkenalkan Beben pada Fandi. Dia baru selesai meeting di dekat sini katanya.
Kami mengajaknya bergabung dan memulai obrolan.

"Mbak, aku mendadak di tunggu temen. Mba ke kantornya naik taksol aja ya." ucap Beben setelah mendapat telpon dari temannya.
"Iya udah nggak papa, hati-hati ya." ucapku.
Dia mencium pungung tanganku, itu kebiasaanya dan kemudian berjalan cepat, sepertinya ada urusan penting.

"Akhirnya kesampaian juga makan siangnya, walau tak di sengaja." ucap Fandi.
"Maaf ya, aku terus yang batalin." ucapku. Fandi tersenyum.
"Boleh aku antar ke klinik?" tanyanya.
"Kalau tak merepotkan." jawabku.
"Tentu saja tidak." jawabnya.

Sudah jam satu lebih, aku mengikuti Fandi ke mobilnya. Fandi supel seperti kakaknya. Selalu ada topik yang bisa di jadikannya bahan obrolan. Dan semua mengalir begitu saja.

"Makasih ya." ucapku saat akan turun dari mobilnya.
"Aku yang senang bisa mengantarmu." jawabnya. Kuberikan senyum termanisku.
Dia membalasku tak kalah manis.
***

Fani memberikan data penerimaan Produk dari pusat yang harus ku periksa. Dia juga memberi tahuku ada meeting besok pagi jam delapan.
Ponselku berdering, Bang Hakim menelponku. Aku mengangkatnya, menanyakan apa aku sudah makan dan tentang rencanaku nanti malam dengan Pras.
Aku mengembalikan semua kepadanya, seperti yang ku katakan tadi.
Aku cukup sadar posisiku sebagai wanita yang sudah bersuami, walau pernikahan kami di dasari bukan karena cinta.
Dan Mas Pras, aku hanya ingin membalas kebaikannya saja. Aku belum memiliki perasaan apapun padanya, dan aku takut bila sampai menyakitinya.
Tak akan aku memberi dia harapan, karena aku sendiri masih mengharap Bang Hakim. Tak adil baginya bukan?
Mas Pras yang lebih dulu datang. Aku pergi dengannya. Semenyenangkan apapun dia, belum mampu membuat hatiku bergetar sedikitpun.
Sangat berbeda dengan Bang Hakim, membayangkannya saja hatiku sudah mendesir.
Melewati malam ini dengan menemati Mas Pras belanja cukup menyenangkan. Hanya senang biasa belum bisa lebih dari itu.

"Terima kasih sudah di temani." ucapnya saat menurunkanku.
Aku memintanya menurunkanku di depan pagar.

"Sama-sama, terima kasih juga makan malamnya." jawabku.
"Aku yang senang bisa bersamamu, kamu tau itu." ucapnya.
"Apa aku masih bisa berharap kembali untuk makan malam selanjutnya?" tanyanya.
"Tentu saja, kalau Mas longgar lagi bisa mengajakku." ucapku.
"Aku selalu ada waktu untukmu."
"Oh ya." aku tersenyum.
"Katakan padaku kalau kamu sudah selesai dengannya. Aku menunggumu."
"Maksud Mas apa?" tanyaku kaget.
"Tunanganmu."
"Oh,"

Aku kembali tersenyum dan langsung turun.
Mobil Mas Pras bergerak menjauh dan kemudian menghilang di telan kegelapan.
Baru aku berbalik ke arah gerbang, mobil Bang Hakim terlihat datang. Dari cahaya lampu dapat kulihat ada Riana di sampingnya.
Mas Samsul mendorong pagar lebar, mobil melewatiku yang berjalan kaki. Sengaja ku pelanlan langkahku, membiarkan mereka masuk lebih dulu.
Hanya Riana yang masuk, Bang Hakim masih memarkiran mobilnya garasi. Dia berhenti di depan sepertinya menungguku.
Aku mencapkan salamku saat di depannya, mencium pungung tanganya. Kemudian melangkah masuk. Tanganya menahanku.

"Adek jadi pergi dengan Pras?" tanyanya. Aku hanya mengangguk.
Kembali melangkah setelah melepas pegangannya.

"Abang sudah melarang, kenapa Adek masih pergi?" tanyanya, menjajarkan langkahnya denganku.
"Maaf," jawabku.
"Abang tak suka, Adek istri Abang." Ucapnya. Aku menoleh dingin ke arahnya dan tersenyum masam.
"Kenapa melihat Abang seperti itu?". tanyanya. Aku kembali mengeleng kemudian bergelayut di tangannya, tak perduli Riana akan melihatku.

"Adek lelah, capek." ucapku pelan. Menyandarkan kepalaku di lengannya.
 Melepasnya saat kami sampai di depan tangga.
Kamar Bang Hakim di atas. Aku berjalan meninggalkanya.

"Adek kenapa?" tanyanya menahan tanganku.
"Nggak apa-apa, cuma capek aja. Kan udah adik bilang tadi." jawabku. Kemudian tersenyum ke arahnya.
"Adek berbeda." ucapnya lagi.

Iya, aku lelah dan bingung menghadapinya. Ingin ku lepaskan tapi aku semakin mencintainya. Ingin bertahan tapi hatiku tak setegar itu. Aku mengelengkan kepalaku dan tersenyum.

"Adek mandi dulu." ucapku, melepas kan pegangannya. Dan berjalan ke kamarku.

Aku segera membersihkan badan, sholat dan kemudian merebahkan badanku.
Kepalaku sakit, aku ingin belajar membuka hatiku untuk pria lain tapi aku tak mampu. Rasa ini terpatri begitu dalam padanya tanpa kusadari.
Mataku semakin sulit kupejamkan, bayangan Bang Hakim terus menari di pikiranku.
Kenapa bisa sedalam ini, ini melukaiku.
Dadaku semakin sesak terasa, aku tak sangup berpisah dengannya, aku sangat mencintainya. Tapi aku juga tak bisa berbagi dirinya dengan Riana. Kenapa rasa ini begitu menyakitkan.
Aku melihat ke nakasku, aku lupa mengambil air minum. Aku bergegas bangun dan keluar kamar menuju dapur.
Langkahku sempat terhenti, Mereka berdua di sana di ruang makan. Aku melanjutkan langkahku.

"Rind, mau makan juga?" tanya Riana saat melihatku. Aku tersenyum dan mengelengkan kepalaku.
"Mau ambil minum." jawabku masih dengan senyumku.
Mereka berdua memandangiku, biasanya memang aku terlihat sebal saat melihat mereka berdua.

"Sudah makan?" tanya Riana terlihat lembut.
"Sudah tadi dengan Mas Pras." jawabku sama lembutnya.
"Oh ya, apa kalian ... kencan?" tanya Riana
"Kalian jadian?" lanjutnya.
"Belum sih, Doakan saja secepatnya, biar bisa bahagia sepertimu." ucapku.
Suara sendok dan piring yang beradu terdengar lebih keras dari arah Bang Hakim.

"Tentu saja, bahagia seperti kami. Iya kan Mas?" Riana mengusap wajah Bang Hakim yang di sebelahnya. Aku tersenyum.
"Aku ke kamar dulu." Pamitku, masih dengan tersenyum. Kuberikan senyum termanisku pada mereka.

Tapi kenapa mataku semakin memanas. Air mata ini luruh juga tepat saat ku memasuki kamarku.
Apa yang kuinginkan dan yang harus aku lakukan, aku tak tau.
***

"Kamu berangkat pagi?" tanya Oma.
"Iya Oma."
"Mobil siapa di depan Mas?" tanya Riana yang yang baru tiba di ruang makan.
"Rinda." jawab Oma.
"Baru?" tanya nya kaget.
"Iya, kenapa?" tanya Oma lagi. Mas Hakim masih terdiam.
"Di kasih Mama?" tanyanya ingin tau. Aku mengeleng.
"Bang Hakim." Jawabku, Riana terlihat kaget.
"Makasih ya Bang, Abang yang terbaik." ucapku. Kembali menyungging senyum manis

Riana memandangi wajah Bang Hakim yang terdiam.

"Oma, Rinda berangkat dulu, ada meeting pagi." pamitku, selepas menghabiskan minuman hangatku. Mencium nya seperti biasa.

"Bawa mobil sendiri?" tanya Oma.
"Belum Oma, Rinda bareng Dokter Fathir, yang Dokter di klinik. nebeng dulu aja." jawabku.
Aku berjalan pelan mendekat dan berdiri di samping Bang Hakim, dia menyodorkan tangannya tanpa melihatku.
"Adek berangkat." ucapku.
"Kakak ipar, berangkat dulu." pamitku me Riana. Wajahnya masih terlihat masam, tapi memaksakan senyumnya.
Ku berjalan pelan keluar.
Aku memilih Dokter Fathir di banding Mas Pras atau Fendi, karena dia tak memiliki perasaan padaku. Sepertinya kami bisa dekat sebagai sahabat. Tak akan ada yang terluka, karena tujuanku hanya ingin Bang Hakim merasakan betapa tidak nikmatnya rasa yang diberikannya padaku.
Semalaman aku memikirkan semuanya. Aku tak akan mendesaknya lagi.
Ponselku bergetar, dia sudah menungguku di depan. Aku berjalan cepat.

"Pagi Mas." Sapaku padanya.
"Pagi juga." jawabnya manis.
"Makasih ya, mau di repotin terus." ucapku.
"Nggak lah, kan sekalian." jawabnya melihat ke arahku.

Aku memulai obrolan, bertanya lebih jauh tentangnya tak ada salahnya.
Aku harus lebih banyak tahu tentangnya.
Dia tinggal sendiri, karena dia pendatang. Rumahnya tak jauh dari rumah Oma.
Dia anak bungsu dari empat bersaudara. Hanya dia yang belum menikah, tapi sebentar lagi.

"Kenalin dong sama calonnya."pintaku.
Jujur aku ingin mengenal wanita itu.
"Boleh, kapan-kapan aku bawa kamu kesana." ucapnya.
"Dia cerewet juga sepertimu."
"Oh ya, hahaha. Tak sabar rasanya." ucapku.
Terlihat senyum terkembang di bibir itu.
Andai cinta Bang Hakim padaku seperti Cinta Mas Fathir pada kekasihnya, betapa bahagianya diriku.
***

Meeting selesai jam sepuluhan, ada banyak hal yang di kemukakan oleh Bu Alexa, selain pengenalan alat yang baru datang.
Ponsel ku tinggal di laci, Bang Hakim menelponku berkali-kali. Hanya kupandangi.
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku.

"Sibuk?"
Aku mendongak Bang Hakim datang, tak ada ketukan.
Dia masuk kemudian mengunci pintu ruangan.

"Iya." jawabku kembali menghadap layar monitor.
"Apa maksud semuanya?" tanya Bang Hakim berdiri di depanku.
"Maksud apa?" tanyaku masih datar
"Ada hubungan apa Adek dengan Pras dan Fathir?" tanyanya langsung.
"Oh, samalah seperti Abang, adik kakak saja." ucapku menyunging senyum.
"Adek jangan bercanda Abang nggak suka." ucapnya.
"Maaf." ucapku.
Tak mendebatnya sebagian strategi membuatnya semakin kesal.

"Adek kenapa?, Adek berubah." ucapnya lagi. Aku berdiri mendekatinya.
"Perasaan Abang saja." ucapku .
"Adek kangen." ucapku. Memeluknya.
Dia terlihat bingung menghadapiku. Namun di membalas pelukanku.

Terdengar pintu di ketuk. Aku melepaskan pelukanku. Dan membukanya. Dokter Fathir sudah berdiri di depan pintu ruanganku.

"Jadi?". Tanyanya, aku menganggukan kepalaku. Kami janjian makan siang di luar.
"Bang, Adek mau makan keluar dulu yah." Pamitku, aku mengambil tasku kemudian beranjak meninggalkannya.

==========

"Nggak apa-apa ada Dokter Hakim." tanya Dokter Fathir.
"Nggak apa-apa, sudah selesai urusannya." jawabku.
"Makan siang di mana?, ke Resto Dapur Nyonya mau, rekomended makanannya." Ajak Dokter Fathir, aku sampaikan aku ikut saja.

Tak terlalu jauh ternyata dari klinik, dia benar makanannya memang enak.

"Dulu sebelum Sharen kondisinya drop kami suka makam di sini." ceritanya padaku.
"Emang enak mas, terutama sambalnya. Mantap pedas aku suka." ucapku.

Dia kembali bercerita tentang Sharen kekasihnya.
Mereka sudah pacaran cukup lama, sejak mereka kuliah hampir delapan tahun. Namun ternyata kisah mereka tak semanis perkiraanku. Mereka terganjal restu orang tua karena perbedaan keyakinan.

"Tapi sudah hampir setahun kami memiliki keyakinan yang sama, dan orang tuaku akhirnya menerima Sharen." lanjutnya.
"Ikut senang mendengarnya." ucapku.
"Dari kemarin aku terus yang bercerita, kamu sendiri gimana?, LDR an ya kok nggak pernah dimunculkan." tanyanya.
"Em, tak ada yang menarik dalam hidupku, males ceritanya." jawabku.
"Sudah ada kan tapinya?"
"Nggak jelas."
"Nggak jelas gimana?"
"Digantung kayak jemuran tetangga" jawabku. Mas Fathir tergelak mendengarku.
Aku tersenyum masam.

"Hmm, perlu bantuan. Biar aku hajar, enak saja gantungin anak orang." candanya, aku tertawa hambar.
"Yang sabar ya, kalau nggak ngasih kepastian juga, tinggalin aja, cari yang lainnya. Banyak yang mau sama kamu pastinya."

Obrolan kami cukup seru dan dekat, tak salah aku memilihnya. Pembicaraan kami begitu lepas, tanpa permainan hati. Mas Fathir sangat bijaksana dalam melihat suatu masalah, terlihat sabar dan penyayang.

"Nanti bareng lagi nggak?" tanyanya saat kami sudah berada kembali di klinik.
"Aku ada jadwal kursus Mas, jam setengah empat sampai setengah enam, paling pulang langsung dari sana nanti." jawabku
"Besok, kalau bawa kendaraan sendiri hati-hati ya." Pesannya.
"Siap Mas Brow." jawabku. Mas Fathir tersenyum lebar.
Kami kemudian turun dan memulai kembali pekerjaan.
***

Jam setengah enam aku keluar dari tempat kursus.
Bang Hakim memaksa menjemputku, benar saja dia sudah menunggu di depan.

"Haiy Abang kenapa cemberut, kesel gitu mukanya?" tanyaku sesaat setelah memasuki mobilnya. Bang Hakim masih terdiam, dia marah padaku.

"Abang marah?" tanyaku lagi. Dia bergeming.

Aku merapat padanya, sedikit mengodanya dia masih bergeming untuk sesaat.
Ah, tak perlu menunggu lama, mana tahan dia.
Dia membalasku sedikit berlebihan seperti ungkapan kekesalan.

"Kenapa Adek mempermainkan perasaan Abang." ucapnya lirih.
"Nggak kebalik?" tanyaku. Bang Hakim terdiam.

Ponselku berdering, pangilan dari Dokter Fathir.

"Iya mas." ucapku setelah menjawab salamnya.
"Mau di jemput sekalian?" tanyanya.
"Oh, nggak usah mas, aku udah naik taksol." jawabku sambil tersenyum melihat ke arah Bang Hakim. Wajahnya kembali terlihat kesal.
"Oh, ya udah hati-hati. Kabari kalau kalau sudah di rumah." ucapnya.
"Iya, ntar aku kabari. Mas juga hati-hati ya nanti pulangnya." ucapku, bergaya mesra.

Kembali ku masukan ponselku selepas pangilan berakhir.

"Maksud kamu apa bilang naik taksol?" tanyanya kesal.
"Abang maunya aku bilang apa?, di jemput suamiku Dokter Hakim yang tampan, gitu?" tanyaku datar.
"Adek membalas Abang?" tanyanya.
"Iya, Adek membalas Abang, dengan segenap cinta yang Adek punya. Walaupun Adek tau, Abang hanya mempermainkan perasaan Adek saja. Abang seolah sudah lupa Abang pernah meminta Adek pada mama dan berjanji akan menjaga Adek dan menjadikan Adek satu-satunya." ucapku.

Bang Hakim terdiam. Tak ada ucapan apapun darinya.
Dia menyalakan mobilnya, dan sesaat kemudian bergerak meninggalkan tempat kursusku.
Mobil berhenti di sebuah masjid, sudah Adzan magrib.
Sepertinya dia belum ingin pulang. Aku mengikutinya.
Selepas sholat, dia membawaku entah kemana hanya berjalan tanpa tujuan dan tanpa ada pembicaraan apapun di antara kami.

"Sebenarnya mau kemana?, Adek capek." ucapku akhirnya.
"Abang hanya ingin berdua dengan Adek saja." ucapnya.

Kami berhenti di sebuah taman kota, hanya memarkirkan mobil tanpa turun.
Untuk beberapa saat kami masih terdiam.

"Harusnya tak ada Adek di antara Abang dan Riana." ucapku memecah kebisuan.
"Maafkan Adek atas perasaan tak tau diri ini." lanjutku.
"Adek bicara apa?"
"Harusnya tak ada perasaan itu di antara kita, harusnya Adek tak boleh jatuh cinta pada Abang dan harusnya Abang tak perlu membalasnya. Sekarang apa, kita sama-sama menyakiti diri sendiri." ucapku dengan isak tertahan. Aku sungguh lelah dengan persaan ini.

"Rasa ini datang di waktu yang salah dan tempat yang salah. Adek tau Abang hanya mengulur waktu, Abang tak bisa melepasnya bukan? Tapi Abang juga tak mau melepasku. Maafkan Adek membawa Abang dalam situasi seperti ini. Andai Adek tak jatuh cinta pada Abang, hidup kita tak serumit ini bukan?"

Kupandangi Pria tampan di depanku, yang mengisi mimpi malamku, dengan tatapan nanar. Aku sudah terlalu jauh dengan perasaan ini, aku sudah terlalu dalam menancapkan rasa ini.

"Abang juga minta maaf, Abang tak bisa tanpa Adek, tapi Abang juga belum tega menceraikan Riana. Abang memang egois." ucap Bang Hakim merutuki dirinya sendiri.

Aku mengalihkan pandanganku, melempar jauh, merasakan sakit dan nyeri di hati ini.
Situasi ini sunguh membuatku merasa sangat sesak. Apa hakku atas dirinya, aku hadir setelah ada Riana di hati Bang Hakim.
Kenapa aku begitu egois memaksanya berpisah dari Riana.
Aku hanya menjadi wanita kedua yang kebetulan saja mengikatkan diri terlebih dahulu, tapi dia melakukannya tanpa cinta, berbeda dengan Riana.
Dan sekarang aku mengodanya, menginginkan dia sepenuhnya menjadi milikku, tak tau diri sekali diriku ini. Aku menertawakan diriku sendiri, rasa ini salah, rasa ini tak seharusnya ada.

"Maafkan Adek atas perasaan ini." ucapku, menahan sesak di dadaku.
"Adek jangan bicara seperti itu, Abang yang salah, Abang yang egois, belum bisa memberi keputusan apapun. Abang juga mencintai Adek, Adek tau itu." ucap Bang Hakim, tangan itu meraih wajahku dan membingkainya. Lembut dia mengusap pipi basahku. Membenamkanku dalam dadanya.

"Akan sampai kapan kita seperti ini?, Bila Abang tak ingin menceraikan Riana tak mengapa, Adek yang mengalah. Adek akan baik-baik saja. Adek akan tetap menjadi Adik Abang kan?. Adek akan membunuh rasa ini, Adek pasti bisa, hanya soal waktu saja." ucapku.
"Adek akan tetap jaga Oma, Adek nggak akan kemana-mana. Semua aka sama kondisinya, hanya kebersamaan kita saja yang akan memiliki rasa dan arti yang berbeda." lanjutku.
"Abang tak bisa melihatmu dengan lainnya."
"Adek tak akan dengan siapapun sampai rasa di hati Abang menghilang. Adek tak mau menjadi beban pikiran Abang. Berbahagialah dengan Riana, seperti yang Abang cita-citakan, seperti tujuan Abang menikah dengannya."
"Jangan paksa Abang menceraikanmu, Abang tak bisa."
"Lalu, apa yang Abang harapkan dari Adek?, Adek harus bagaimana?" tanyaku padanya.
"Abang mau Adek tetap menjadi istri Abang seutuhnya, selamanya."
"Lalu Riana?"
"Abang hanya kasihan padanya, Adek yang memiliki Abang seutuhnya, semuanya raga dan cinta ini." Bang Hakim meyakinkanku.

Ponsel Bang Hakim bergetar, pangilan dari Riana. Dia menanyakan Bang Hakim di mana, Bang Hakim hanya berkata ada urusan dan akan pulang larut.

"Abang tau bagaimana rasa sakitnya, melihat Abang dengan Riana, Abang bilang memilihku, mencintaiku, tapi di depan Riana Abang bahkan tak sangup untuk menolak mesra dengannya, hanya agar Adek tak terluka, Abang tak sanggup menjaga perasaan Adek. Apa yang bisa Adek harapkan dari hubungan ini?"

Tak ada jawaban yang Bang Hakim berikan. Kami kembali saling diam.

"Harus sampai kapan, Adek menjadi istri bayangan, yang tak jelas statusnya. Bukankan lebih baik kita akhiri saja, Bila memang kita di takdirkan bersama pasti cinta akan menemukan sendiri jalannya," ucapku. Bang Hakim melihat ke arahku.
"Maafkan Abang telah melukai hati Adek, beri sedikit waktu lagi untuk dapat Abang menentukan semuanya," pintanya.
"Adek akan menunggu, apapun yang Abang putuskan, Adek akan siap menerimanya," ucapku.
"Adek mau menemani Abang malam ini, Abang ingin berdua saja menghabiskan malam ini." pintanya lagi, aku menatapnya. Sedikit anggukan sebagai tanda menunggu jawabanku. Sebuah anggukan menerbitkan senyum di bibirnya.

Aku menelpon Oma, beralasan pulang ke rumah Mama bersama Bang Hakim. Bang Hakim tak membawaku pulang, kami hanya ingin berdua saja.
***

Pagi baru aku pulang ke rumah mama, terlihat bingung melihat kedatanganku, aku hanya menjawab dengan senyum maluku.

"Abang berangkat dulu ya, nggak apa-apa kan?" tanyanya, Aku merapikan kemeja yang dikenakannya. Dia membawa beberapa pakaian dari apartemen tadi.
"Iya, Adek kan siangan biar Beben yang anter nanti." jawabku.
"Makasih ya," bisiknya, aku mengulum senyumku.
Tautan hangat menjadi booster untuk kami pagi ini. Aku mengantarnya sampai di depan, sebuah kecupan di kening dia berikan sebelum beranjak pergi.
Biarlah kunikmati peranku saat ini, cinta ini begitu buta.

"Kamu bahagia?" tanya Mama menghampiriku di kamar. Aku mengelengkan kepalaku, tersenyum hambar.
"Rinda terombang-ambing dalam hubungan ini. Harusnya Rinda tak masuk kedalamnya. Ini menyakiti kami semua." Mama memelukku, aku menidurkan kepalaku di pangkuannya.
"Maafkan mama sayang."

Bukan salah mama atau siapa-siapa, semua salahku sendiri yang jatuh cinta padanya. Aku tak bisa mengendalikan diriku. Rasa itu menguasaiku, ini sunguh menyesakkan. Aku tak berdaya, aku benar-benar gamang, di sisi lain aku ingin mengkahiri, di sisi lain aku ingin selalu bersamanya.

"Mba, berangkat abis ini ya," ucap Beben, berdiri di ambang pintu kamarku.

Aku bangun dari pangkuan Mama.

"Iya, Mbak bersiap dulu," jawabku. Mama membelai rambutku, kemudian keluar.

Beben berdiri, memandangiku. Matanya menyiratkan sesuatu, aku mengelengkan kepalaku. Dia mengernyitkan dahinya.

"Beneran, dah sana Mbak mau ganti baju." aku mendorongnya dan menutup pintu. Dia benar-benar seperti cenayang.
***

Jam setengah sembilan aku sampai di klinik. Banyak yang melihat ke arahku dan Beben. Mungkin mereka mengira kami pacaran, apalagi saat Beben membantuku melepas helm.
Bukan apa-apa, kaitanya memang sulit dibuka. Dan kebiasaannya salim padaku.
Satpam menyambutku dengan ucapan selamat pagi, senyum dan anggukan hormat. Aku membalasnya dengan ramah seperti biasa.

"Hai." Mas Fathir menjajarkan langkahnya denganku.
"Katanya mau bawa mobil sendiri," tanyanya."Itu tadi cowok yang ngantungin kamu?"
"Bukan hahahha, itu Adikku mas. Mas kira pacarku ya?" Mas Fathir tergelak.

Kami terpisah di dekat tangga, ruanganku di atas, Mas Fathir dan dokter lainnya di bawah.
Fani memberiku beberapa berkas yang harus kuperiksa. Semua sudah mulai berjalan.
Awal yang cukup bagus, tapi memang tidak lepas dari nama besar yang sudah dimiliki klinik ini.

"Kok mendadak Oma?" tanyaku saat Oma menelponku mengabarkan besok akan ke Mama Lyna.
"Nggak mendadak, Oma belum sempat kasih tau, Oma nanti di temeni sama Lina."
"Besok ya?, berapa lama di sana?" tanyaku.
"Dilihat nanti, bisa dua mingguan atau lebih. Ya udah kamu pulang cepet nanti ya." pinta Oma.
"Iya Oma." jawabku.

Ada pernikahan cucu teman dekat Oma, dan beberapa acara lainnya.
Oma memang belum lama di kota ini. Dia menemani Bang Hakim yang tinggal sendiri dan bekerja di sini.
***

Seminggu sudah Oma pergi, merasa sepi. Tapi Bang Hakim memberikan perhatian lebih padaku, Riana sibuk dengan Ayahnya juga disela pekerjaannya. Waktu Bang Hakim lebih banyak denganku.

"Seminggu Abang sudah habis, Adek menunggu keputusan Abang." ucapku padanya malam ini. Kami berdua seperti biasa di teras samping. Tempat kami biasa melepas rasa.

"Iya, Abang akan bicara pada Riana." ucapnya.
"Apa artinya Abang memilihku?" tanyaku berdebar.
"Tentu saja," jawabnya.

Seketika rasa bahagia menyeruak, aku senang mendengar jawaban dari bibir manis itu. Kami menautkan diri menikmati rasa yang kini terasa tak terlalu begitu menyesakkan, namun belum sepenuhnya lega sebelum Riana mendengarnya.

"Mas, kalian."

Suara kencang Riana mengagetkan kami yang sedang terbuai dalam pertautan yang mulai panas.

"Kalian apa-apaan?" teriak Riana, berjalan cepak ke arahku dan mulai menyerangku, tapi Bang Hakim menghalanginya.
Bang Hakim mendekapku, walau cakaran Riana sempat mengenai tanganku.
Semua sumpah serapah keluar dari mulut wanita itu.

"Kamu gadis yang benar-benar menjijikkan, kamu bukan hanya penjilat tapi kamu juga sund**, pelac** menjijikan." teriaknya padaku.
"Rinda istriku juga." Teriak Bang Hakim kemudian. Riana mengelengkan kepala tak percaya dengan yang di dengarnya.

"Mas, kamu tega. Apa yang perempuan bin** ini telah lakukan sampai kamu lupa akan cinta kita."
"Dia istriku, dia menikah denganku lebih dulu. Karena dia, aku di ijinkan menikahimu," jelas Bang Hakim lagi. Dia masih memelukku.
Riana berteriak histeris.

"Mas memelihnya?" tanya Riana disela tangisnya.
"Mas tega."
"Mas minta maaf." ucap Bang Hakim pada Riana.

Riana mengambil Vas bunga disamping, di benturkan ke meja, aku terbelak seketika, ketika dia menggunakan pecahan vas di tanganya untuk melukai pergelangan tanganya.

"Riana lebih baik mati." teriaknya, saat darah mulai keluar dari luka itu. Bang Hakim melepasku dan menangkap tubuh Riana saat kembali mengarahkan pecahan vas itu ketangannya.
Art mulai berdatangan mendengar keributan kami.
Darah keluar dengan deras, Bang Hakim berteriak pada Mbak As untuk mengambil kotak obat, dan membopong Riana yang seperti kehilangan kesadarannya.
Bang Hakim membaringkan Riana di kamar tamu, darah terus mengucur. Dia memeriksanya.
Aku masih syok dengan yang terjadi. Bang Hakim terlihat sangat cemas sekali melibat kondisi Riana.

"Kenapa kamu nekat seperti ini?" tanya Bang Hakim setelah Riana tersadar. Riana kembali menangis. "Jangan lakukan ini lagi."
"Mas tega sekali," ucap Riana.
"Mas minta maaf."
"Untuk apa Riana hidup, hidup Riana sudah tak ada artinya lagi. Lebih baik Riana mati." Riana kembali histeris dan membuka perban di tangannya. Bang Hakim memeluknya. Mereka berpelukan dan menangis
Aku melihatnya, melihat semua. Aku masih terpaku. Aku bergerak mundur ingin keluar dari kamar itu. Suara Riana menahanku.

"Kalau Mas memilihnya, Mas akan segera melihat mayatku," ucap Riana mendorong tubuh Bang Hakim. Pria itu melihat ke arahku dengan mata basahnya.

"Mas masih memilihnya?" teriak Riana lagi. Dia dengan cepat mengambil gunting di dekat kotak obat. Aku terkejut, begitupun Bang Hakim. Gunting itu di arahkan ke dadanya. Bang Hakim mendekat, Riana berteriak menahannya.

"Sayang, apa yang kamu lakukan, jangan lakukan ini," ucap Bang Hakim panik melihat kenekatan Riana.
"Aku akan mengakhiri semua, untuk kalian," ucap Riana.
"Riana jangan nekat," ucapku.
"Diam kamu perempuan sund**." Riana berteriak padaku.
"Mas pilih aku atau dia?" teriaknya.

Bang Hakim terdiam. Teriakan Riana kembali terdengar mengulang pertanyaan yang sama.

"Baik, Mas memilih kamu, tapi berikan dulu guntingnya pada mas." bujuk Bang Hakim.
"Mas bohong, katakan di depan perempuan itu kalau mas memilihku, ceraikan dia dan usir dia." Teriak Riana lagi.
Bang Hakim terlihat kaget dia melihat ke arahku, gunting di tangan Riana sudah di dorongnya, terlihat darah keluar dari kemeja pinknya.

"Riana, jangan lakukan itu. Iya aku turuti semua. Aku memilihmu. Adek maafkan Abang." ucap Bang Hakim matanya semakin memerah.

Riana mengelengkan kepala dan menekan gunting itu kembali.

"Ceraikan dia dan usir sekarang. Atau ... "
"Iya, iya ... Rinda Abang menceriakanmu, pergilah dari rumah ini," ucap Bang Hakim.

Aku mengigit bibirku, tak ada air mata, walau dadaku terasa sesak sekali. Semua bagai mimpi buruk, aku masih belum sepenuhnya mencerna semua ini. Diri ini seperti linglung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Mba Rinda."
Mba As menyusulku ke kamarku, dia memang sudah tau kalau aku telah menikah dengan Bang Hakim. Mba As dan Lina orang kepercayaan Oma.
Dia menangis dan memelukku tapi, aku masih bergeming. Hanya sesak kurasa, menangis saja aku tak bisa. Ada apa ini. Apa karena rasa sakit yang teramat dalam.

"Rinda tak apa-apa," ucapku menenangkanya. Aku beranjak mengemasi barangku.
"Mba tunggu Oma tau dulu, Oma pasti tak mengijinkan Mba Rinda pergi." ucap Mba As menahanku.
"Rinda nanti yang kasih tau Oma," ucapku sambil mengemasi barangku.

Aku menelpon Vero untuk menjemputku, aku tak mungkin pulang ke Mama.
Riwayat penyakit mama membuatku takut dia kenapa-kenapa mendengar semua ini.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER