Cerita Bersambung
~Melangkah kedepan~
"Iya, iya ... Rinda Abang menceraikanmu, pergilah dari rumah ini," ucap Bang Hakim.
Aku mengigit bibirku, tak ada air mata, walau dadaku terasa sesak sekali. Semua bagai mimpi buruk, aku masih belum sepenuhnya mencerna semua ini. Diri ini seperti linglung, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
"Mba Rinda."
Mba As menyusul ke kamarku, dia memang sudah tau kalau aku telah menikah dengan Bang Hakim. Mba As dan Lina orang kepercayaan Oma.
Dia menangis dan memelukku, tapi aku masih bergeming. Hanya sesak kurasa, menangis saja aku tak bisa. Ada apa ini? Apa karena rasa sakit yang teramat dalam.
"Rinda tak apa-apa," ucapku menenangkannya. Aku beranjak mengemasi barangku.
"Mba tunggu Oma tau dulu, Oma pasti tak mengijinkan Mba Rinda pergi." ucap Mba As menahanku.
"Rinda nanti yang kasih tau Oma," ucapku sambil mengemasi barangku.
Aku menelpon Vero untuk menjemputku, aku tak mungkin pulang ke Mama. Riwayat penyakit mama membuatku takut dia kenapa-kenapa mendengar semua ini.
Vero menelpon, dia memberi tahu sudah di depan. Segera bergegas kedepan dibantu Mba As, aku pesan padanya untuk tak mengatakan apapun ke Oma.
Vero terlihat heran melihat aku membawa banyak barang.
"Kamu sedang ada masalah ?" tanyanya, saat mobil mulai melaju menjauh dari istana itu. Aku masih terdiam, menarik nafas dalam kemudian menghembuskan pelan.
"Aku menginap di tempatmu dulu ya?" pintaku. Vero mengangguk cepat.
Aku menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Mulai mencerna apa yang baru saja terjadi. Hati ini baru saja sedikit berbahagia, aku kembali menertawakan diriku sendiri. Bodoh sekali ...
Mata ini terasa memanas, ah aku terluka juga akhirnya. Benarkah semua ini sudah berakhir, aku kalah. Kupikir perpisahan tak akan sesakit ini. Ternyata aku salah ini sunguh menyakitkan sangat sakit.
"Kamu baik-baik aja, maksudku ... " Vero kebingungan melihatku yang tiba-tiba terisak. Hati ini tak sekuat itu, ini benar-benar sakit.
"Apa cinta harus sesakit ini?" tanyaku pelan tanpa membuka mata.
"Hahh, itulah sebabnya aku tak pernah jatuh cinta. Aku menjalani hubungan atas dasar kebutuhan. Mas Surya butuh teman aku butuh kenyamanan," ucap Vero.
"Aku tak percaya cinta itu ada, yang ada hanya suka, nafsu dan obsesi." lanjut Vero.
"Ceritalah kalau kamu ingin bercerita, supaya sakitmu tak semakin dalam terasa."
Vero terus bicara, aku masih terdiam, memikmati kesesakan ini. Mungkin dia benar, cinta itu tak ada.
Vero menyodorkan segelas kopi. Kami tiba setengah jam yang lalu di apartemennya. Memilih duduk di sofa, memandang lepas jendela, terlihat cahaya lampu yang berhamburan, bila dilihat dari atas.
"Rencana kamu gimana?" tanyanya
Aku mengelengkankan kepala, belum terpikirkan apapun juga. Masih gamang dengan yang baru saja terjadi. Semua serasa mimpi.
"Dalem banget ya?"
Kembali kuanggukan kepalaku pelan. Cinta ini ternyata lebih dalam dari yang kusadari. Lebih besar dari yang kukira. Dan sekarang sakitnya sungguh luar biasa.
"Tangan kamu luka, aku ambilin obat dulu." Vero beranjak dari sampingku. Melihat sebentar ke arah tangan. Sama sekali tak terasa sakitnya, karena hati ini lebih sakit. Walau kusadari ini juga akibat salahku sendiri, tapi aku juga tak meminta untuk jatuh cinta, semua terjadi begitu saja, tanpa bisa ku hindari.
Kubiarkan Vero mengobati lukaku, aku masih bergeming. Tak bisa memikirkan apapun juga.
"Aku memang bodoh, mengharap sesuatu yang jelas tak mungkin," ucapku setengah bergumam.
"Cerita nya jangan setengah-setengah saiy, aku bingung. Kamu istirahat saja, kalau sudah tenang besok kamu cerita versi lengkapnya," ucap Vero, tangannya mengusap lembut pundakku.
"Masih pengen di sini, ntar lagi aku tidur. Duluan aja," ucapku. Tanganya kembali mengusap pungungku sebelum beranjak.
Ponselku berpedar dari tadi, Bang Hakim menelponku. Entah berapa puluh kali. Nama Beben muncul di layar, sepertinya Bang Hakim sudah mencari tau ke orang rumah.
"Ada apa?" tanyaku setelah menjawab salamnya.
"Mbak dimana?, Bang Hakim telpon Chand cari Mbak Rinda, ada masalah apa?" Berondong Beben.
"Besok aja Mbak cerita, pastikan saja Mama nggak tau mbak pergi dari rumah Bang Hakim. Mbak baik-baik saja kok." jawabku.
"Di tempat Mbak Vero ya?" tanya Beben. Dia tau aku tak akan berani kemana-mana, dan sahabatku hanya Vero.
"Jangan kasih tau siapapun." Pesanku ke Beben.
Aku menutup pangilan dari Beben, ponselku masih berpedar, tak kuhiraukan.
Apa yang terjadi?, bahkan desah nafasnya masih kurasakan di telingaku, lembut bibirnya masih terasa hangat di bibirku, tanganya masih berasa mendekap erat tubuhku.
Itu baru saja terjadi, dan sekarang semua berakhir, dia baru saja mengucap janji akan menjadikan diri ini satu-satunya, tapi kenyataannya dia mengusirku.
Dia membuangku, dia memilih wanita itu, cintaku padanya membutakan akalku.
Sunguh aku mencintainya, aku sendiri tak menginginkan rasa ini hadir, tapi saat rasa itu menyapaku, aku bisa apa. Hati ini tak mampu menolaknya.
Aku memang bodoh sangat bodoh, kenapa aku menutup mata pada kenyataan yang ada.
Apakah mencinta harus sesakit ini, rasa ini hadir pada orang dan waktu yang salah.
Pertama kali jatuh cinta, itu padanya dan hanya dia satu-satunya. Kenapa harus dia, aku sendiri tak tau kenapa, rasa itu hadir begitu saja tanpa hati ini meminta.
Rasa ini begitu menyesakkan dada, menyiksa hati dan jiwaku.
Cintaku berakhir dengan sebuah penghinaan, dia mengoyak harga diri ini, dia memperlakukanku seolah aku tak memiliki hati yang bisa sakit dan terluka.
Hatiku tak terbuat dari batu, ketika terluka dan tersayat tak berasa sakitnya.
Bukankah ini lebih baik, sebuah kebebasan? Iya tapi bukan dengan sebuah penghinaan. Dia mengusirku demi wanita itu, apakah dia tau luka tak berdarah ini lebih sakit rasanya dari luka sayatan di tubuh.
Dia bilang tak bisa kehilanganku, tak bisa tanpa aku. Tapi kenyataannya?
Mencinta dan membenci itu tipis sekali jaraknya sekarang. Tipis sekali ...
"Saiy, saiy bangun." Aku membuka pelan mata yang terasa sangat berat, hasil tangisan semalam, mengerjap berlahan.
Aku ketiduran di sofa ternyata, selimut terpasang, sepertinya Vero yang menyelimuti diriku semalam.
"Kamu nggak sholat?" tanyanya. Aku langsung bangun dari sofa. Melangkah pelan kekamar mandi.
Aku bentangkan sajadahku, selesai sholat, masih bergeming, aku masih ingin berlama-lama mengadu. Dadaku kembali terasa sesak.
"Sarapan dulu." Vero menghidangkan segelas teh hangat dan roti bakar.
"Ada apa?" Tanyanya kemudian, saat melihatku sudah tenang.
Berlahan aku menceritakan semua, berawal dari mama di rumah sakit sampai dengan Bang Hakim menalakku lalu mengusirku.
Kugigit bibir dalamku, agar aku tak menangis tapi percuma air mata itu luruh juga.
Vero bergeming mendengar ceritaku, seolah tak percaya kejadian ini menimpaku.
"Dia mengusirku, di depan wanita itu. Sakit sekali rasanya, ketika sesaat sebelumnya dia menghujaniku dengan berjuta kata cinta, hanya dalam waktu sekejab dia mengoyak hati, cinta dan harga diriku dengan mengusirku, apa dia pikir aku tak punya hati hingga semudah itu dia menyakiti."
Vero memelukku, tangannya lembut mengusap pungungku untuk menenangkan.
Tangisku kembali pecah. Aku tak sesakit ini bila berakhir seperti yang kuminta, tapi semalam rasanya aku benar-benar terhina.
"Telpon." Vero beranjak mengambilkan ponselku. Oma menelpon, aku mengangkatnya, tak mau Oma cemas.
"Rinda baik-baik aja Oma," jawabku. Suara Oma terdengar begitu kuatir.
Oma memintaku menyusulnya. Tapi kumeminta waktu sejenak untuk menenangkan dan mempersiapkan diri. Mama Lyna akan mengatur semua setelah aku siap katanya.
Kuberikan ponselku pada Vero, agar mereka percaya aku baik-baik saja. Mereka orang baik dan sayang padaku tak ingin membuat mereka cemas memikirkanku.
"Kamu beruntung, banyak yang menyayangi kamu, sedang aku." Vero tak melanjutkan kalimatnya, ada butiran bening di sudut matanya. Aku memeluknya, kami berpelukan saling menguatkan. Kami sama-sama terpuruk dalam kisah yang berbeda.
Vero, aku lebih beruntung memiliki keluarga yang hangat walau dengan segala keterbatasan finansial. Sedangkan dia harus berjuang sendiri untuk dirinya.
Ibunya meninggalkan dia bersama neneknya setelah bercerai dengan ayahnya.
Selepas neneknya meninggal tak ada lagi keluarga yang memperhatikannya, tidak Ibu, tidak juga ayahnya.
"Apa rencana kamu sekarang?" Tanyanya.
Kugelengkan kepalaku, aku belum tau pastinya.
"Kamu mau menemaniku menyusul Oma?, kamu tau aku bahkan tak pernah pergi kemana-mana. Aku tak pernah naik pesawat, belum tau caranya. Kalau hilang gimana?"
Vero tertawa, walau matanya masih terlihat basah.
"Aku temani nanti," ucapnya. Aku juga tersenyum walau butiran hangat masih mengalir dari mata.
***
Kumulai menbaca pesan masuk, termasuk dari Bang Hakim. Dia memintaku mengangkat pangilannya, dia meminta maaf dia terpaksa karena panik melihat Riana. Hanya kubaca, sengaja memang.
Kembali dia menelpon aku biarkan saja.
Kuketik pesan untuk Beben, memberikan alamar Vero padanya. Vero ada urusan dia pergi keluar.
Ponselku kembali bergetar, pesan dari Dokter Fathir menanyakan kenapa aku tak masuk kerja. Aku menelponnya, aku bilang sedang tidak enak badan saja.
Dia bertemu Bang Hakim yang mencariku, dia memintaku berkata sejujurnya. Aku belum bisa, kusampaikan kalau semua baik-baik saja.
Dia mengajakku bertemu siang ini, ku jawab belum bisa. Malam mungkin, mungkin.
Kututup pangilan saat suara bel berbunyi, Beben sudah di depan pintu. Kumemintanya masuk.
"Bang Hakim tadi pagi kerumah dia terlihat cemas dan bingung, kasian juga ngelihatnya. Mama kaget, tapi aku bilang ke Mama kalau aku tau Mbak dimana," jelas Beben.
"Apa yang terjadi?" Tanyanya melihat luka di tanganku.
Kuceritakan semua kejadian tadi malam padanya. Tapi sudah tak ada air mata, sudah lelah rasanya. Senyum sinis hadir di bibir Beben.
"Kalau Mba cerita dari semalam, pas tadi pagi kerumah sudah kuhabisi dia," ucap Beben terlihat emosi. "Mba nggak terfikir untuk kembali ke Pria plin plan seperti dia kan?"
Aku mengelengkan kepala. Beben tertawa hambar.
"Mba masih sangat mencintainya, bibir bisa berbohong tapi mata Mbak tak bisa mengingkarinya."
Beben benar, rasa itu masih begitu besar. Aku tak bisa berbohong padanya.
"Jujur, apa dia sudah mengambilnya?, sewaktu Mbak kerumah pagi itu."
"Mba udah jawab kan, tak terjadi apa-apa," jawabku.
Malam itu kami memang sudah jauh, tapi tak sampai terjadi karena aku masih menjaga sadarku. Walau sudah hampir kumelepasnya, tapi aku masih bisa mengendalikan diri.
Aku masih beruntung, tapi tak juga dia sudah mendapatkan walau belum sepenuhnya.
"Ya sudah, Mba bebas sekarang. Aku malah senang, daripada menyiksa diri dalam hubungan tak jelas dengan pria tak punya pendirian," ucap Beben
Dia menanyakan rencanaku, aku sampaikan tawaran Mama dan Oma. Yang memintaku menyusul ke sana.
"Tak bisa ya lepas dari keluarga itu, ya Oma dan orang tua Bang Hakim sangat baik, tapi sampai kapan hidup dalam bayangan Bang Hakim?"
"Oma bilang tak akan kasih tau Bang Hakim," ucapku.
"Terserah mbaklah, mbak pikirkan lagi saja dulu, baru putuskan. Pikirkan dengan hati tenang. Tapi kalau mbak masih di kota ini, Beben yakin mbak tak akan bisa lepas dari Bang Hakim. Tau kenapa?, karena hati mbak sudah dibutakan oleh cinta pada Bang Hakim," ucap Beben.
Lagi-lagi dia benar, diri ini begitu lemah di hadapan Bang Hakim. Sangat lemah.
"Ya udah, Beben ada kuliah. Mbak baik-baik di sini. Butuh apa-apa telpon aja," pamit Beben.
Aku menganggukan kepalaku dan mengantarkannya sampai di pintu.
"Mas, aku besok pergi dari kota ini. Makasih yah sudah jadi temanku, walau baru sebentar, tapi sudah merasa nyaman. Pasti akan rindu sekali nanti," pamitku ke Mas Fathir malam ini.
"Kamu ada masalah apa?, kamu tak ingin berbagi cerita?".
"Rinda belum siap, suatu saat pasti aku cerita," ucapku.
"Ada hubungannya dengan Dokter Hakim?" Tanya nya lagi. Aku mengangguk pelan.
"Dia berkali-kali datang mencarimu, terlihat kacau sekali." Lanjutnya lagi.
Aku tersenyum masam. Semuanya sudah berakhir, sungguh-sungguh berakhir.
"Boleh meminjam bahu Mas sebentar?" Pintaku padanya.
"Tentu saja, selama yang kamu ingin," jawabnya. Kusandarkan kepalaku di bahunya.
Aku lelah, sangat lelah dengan rasa dan perasaanku sendiri.
Bagaimana aku bisa masih merindunya, masih mengharapnya dan masih mencintainya setelah apa yang dia lakukan padaku.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Mas Fathir padaku, aku menganggukan kepalaku pelan.
"Benar-benar tak ingin cerita?, aku akan mendengarmu." Mas Fathir mengenggam tanganku. Kujawab dengan gelengan kepala.
Aku sedang berdua saja dengannya, dia memaksa untuk bertemu. Tak ada salahnya sekalian pamit denganya. Vero sedang menjemput keluargaku.
"Apa artinya?"
"Jangan lupakan aku," ucap Mas Fathir. "Sebuah kenangan agar kamu tetap mengingatku." Lanjutnya.
Belum ku cerna semua, terdengar suara pintu terbuka, aku mengeser dudukku dan kemudian berdiri.
Ah, mereka malah menangis melihatku. Padahal aku sudah berusaha setegar mungkin. Mas Fathir terlihat bingung. Aku memperkenalkan ke semua.
Mas Fathir pamit, memberiku kesempatan dengan keluargaku. Aku mengantarnya sampai pintu.
"Bisa ku tau kamu akan pergi kemana?" Tanyanya sebelum pergi. Aku menyebutkan sebuah nama kota. Dia tersenyum, tapi aku tak tau artinya.
"Hati-hati, aku pasti akan merindukan kebersamaan kita seperti biasanya. Tolong selalu angkat telponku," ucapnya.
"Maaf belum bisa bertemu Sharen, dan tak bisa menghadiri pernikahan Mas dengannya," ucapku.
"Tak apa. Hati-hati ya." Pesannya.
Aku mengangguk. Terasa ada yang berbeda, tapi apa?, atau aku hanya sedang pura-pura tak bisa membaca. Lalu tadi apa artinya?
***
Sambutan hangat Oma berikan padaku. Mama Lyna dan Papa belum pulang. Wanita itu menangis mendekapku, kusampaikan semua baik-baik saja.
"Oma tak tega pada kalian berdua, bagaimanapun Hakim cucu Oma, mendengar Astuti bercerita betapa kacaunya dia tak bisa menemukanmu, hati Oma sakit sekali," ucap Oma.
"Maafkan Rinda Oma," ucapku.
"Bukan salahmu. Semua sudah terjadi, Oma hanya berdoa untuk kebaikan kalian berdua, Oma sayang kalian berdua."
Aku tau Oma berharap banyak padaku, berharap dapat terus mendampingi Bang Hakim dan memberikan keturunan.
Menata kembali hidupku, bukan dari nol, karena semua sudah kumiliki sekarang, kecuali cinta. Sepertinya aku sudah mati rasa. Rasa itu terlanjur tercurah hanya padanya.
Benarkah? Entahlah biar waktu yang menjawab. Semoga suatu waktu hati ini kembali terbuka untuk cinta yang lainnya.
Dua pilihan diberikan, aku memilih bekerja di salah satu perusahaan Papa. Dipercaya sebagai manajer keuangan, itu jabatan yang terlalu tinggi untukku yang baru masuk. Tapi mereka memberiku kesempatan belajar dan mereka percaya kemampuanku.
Masuk sebagai keluarga pemilik perusahaan memang rasanya berbeda. Semoga mereka tak hanya memandang aku sebagai siapa tapi apa yang bisa kulakukan untuk perusahaan ini.
"Rinda, ini Pak Surya Ramadhan sebagai komisaris di sini, ini Yoga Wijaya direktur disini." Kenal papa di meeting pagi itu.
Dia melanjutkan dengan memperkenalkan manager lainnya.
"Kamu akan di bantu Fani, untuk staff keuangan nanti biar Fani yang handle perkenalannya."
Papa memintaku memperkenalkan diri. Papa komisaris utama di sini.
"Selamat pagi, perkenalkan nama saya Rinda, saya dipercaya sebagai manager keuangan yang baru, mengantikan Bapak Yuzril yang sudah pensiun. Mohon kerja sama serta bimbingannya. Terima kasih."
Fani membawaku ke ruang divisi keuangan. Ada sekitar sepuluh staff di sini. Rata-rata lebih senior dari aku. Hanya Fani yang seumuran denganku. Dia menunjukkan ruanganku. Sangat luas dan nyaman.
Hari pertama ku masuk kerja setelah perkenalan, langsung meeting dengan Pak Yoga, dan manager lainnya. Aku masih di bantu Fani untuk sementara.
Meeting membahas proyek perumahan yang akan segera di kerjakan. Kusimak semua walaunada beberapa hal yang masih awam bagiku. Aku mencatatnya nanti kutanyakan pada Fani.
"Kamu jangan keluar dulu, saya ada perlu." Pierintahnya padaku. Aku bergeming ketika yang lain sudah keluar.
"Saya hanya ingin sampaikan, kamu harus bisa bertangung jawab atas pekerjaanmu, bukan berarti karena kamu putri dari pemilik perusahaan kamu bisa bekerja semaumu. Saya tekankan itu dari awal, supaya kamu mengerti dan paham bagaimana seharusnya kamu bekerja."
"Baik Pak, saya akan terus belajar dan akan bekerja keras untuk kemajuan perusahaan," jawabku.
"Okay, saya harap kamu bisa melakukan seperti yang barusan kamu katakan," lanjutnya.
"Baik Pak."
Aku sedikit keder, dia mengatakan dengan wajah tanpa senyum. Wajahnya datar dan terkesan meremehkan. Tak ku ambil pusing.
Aku yakin aku bisa bekerja dan memberikan yang terbaik untuk perusahaan ini.
Bekerja, bekerja dan bekerja. Isi hari-hariku sekarang. Pulang pasti lepas jam tujuh malam. Menemani Oma, dan masuk kamar setelahnya.
Suara Mas Fathir selalu menemani malamku, sudah hampir tiga bulan aku di sini. Hampir tiap malam dia menghubungiku, walau hanya bercerita hal-hal ringan saja.
Aku belum memiliki teman di sini. Hanya Fani yang seumuran yang lain sudah di atas empat puluhan.
Bang Hakim, aku masih selalu ingin mendengar kabarnya. Yang jelas selepas kepergianku dia tak baik-baik saja. Ada rindu di hati ini, dia hadir walau tak ku ingini.
Tiga bulan tak cukup untukku melepas sedikit saja rasaku padanya. Ini tak baik, aku harus bisa lepas dari bayangannya.
***
"Rinda ke ruangan meeting sekarang," perintah Pak Yoga pagi itu. Aku segera beranjak dari dudukku.
Kulihat manager lainnya juga menuju ke ruang meeting.
Langkahku terhenti di ambang pintu saat melihat seseorang yang duduk di sana.
==========
"Rinda ke ruangan meeting sekarang," perintah Pak Yoga pagi itu. Aku segera beranjak dari dudukku.
Kulihat manager lainnya juga menuju ke ruang meeting.
Langkahku terhenti di ambang pintu saat melihat seseorang yang duduk di sana.
Senyumku terkembang, dia juga melihat ke arahku dan memiringkan kepalanya.
Pak Yoga membuka meeting hari ini, perkenalan manager pemasaran yang baru, mengantikan Pak Rahman yang mengundurkan diri karena masalah kesehatan.
"Sudah tau ruanganmu?" Tanyaku padanya selepas keluar dari ruang meeting. Pria itu mengangguk.
"Tak perlu aku antar berarti ya?"
"Tak perlu, tapi kita bisa jalan bareng yah nanti sepulang kerja," pintanya. "Kamu berhutang banyak cerita padaku," lanjutnya.
Aku menggukkan kepalaku.
"Sampai lupa ngucapin selamat datang. Selamat datang semoga kerasan di sini," ucapku padanya.
"Pastilah, kan ada kamu."
"Masih aja suka mengoda."
Pria itu tertawa. Aku menunjukkan ruanganku. Dia mengangguk, kami harus berpisah dan kembali bekerja, dia sudah di temani Rehan staf bagian pemasaran yang akan membantunya sementara.
Baru kududuk di kursi kerja, suara telpon berdering.
Pak Yoga meminta beberapa laporan padaku. Severa kusiapkan dan beranjak keruangannya setelah kudapatkan.
Kuketuk pintu dengan jari tengahku, terdengar suara menyuruhku masuk. Awal pertama pria ini terlihat tidak menyukaiku, tapi semakin ke sini dia terlihat mulai bisa menerima dan menghargaiku.
"Siang pak, ini laporan yang tadi Bapak minta," ucapku, sambil meletakkan berkas data di mejanya.
"Terima kasih," jawabnya. "Oh ya, Ini proposal pengajuan dana untuk proyek yang di pegang Pak Hari, bisa jelaskan point yang saya sudah tandai," pintanya lagi, membuka draft proposal yang kemarin kuserahkan.
"Iya Pak," jawabku, kenudian menarik kursi di depan mejanya. Pak Yoga menandai beberapa point dengan tanda tanya.
Aku menjelaskan detail semua yang menjadi pertaanya. Dia terlihat memanggutkan kepalanya berulang.
"Ada lagi Pak?" Tanyaku kemudian setelah menjelaskan.
Dia memberikan beberapa point tambahan yang harus ku masukkan.
"Baik Pak, saya akan koordinasikan kembali dengan Pak Hari, segera akan saya revisi setalahnya," ucapku.
"Ok, segera ajukan lagi. Ini proposal pengajuan yang kemarin dan laporan kemarin, sudah saya tanda tangani, tolong dicek lagi," perintahnya.
Aku menarik berkas yang di sodorkannya. Membuka berlahan dan mengeceknya.
"Pak, sudah semua," ucapku.
Tak ada sautan, aku melihat ke arahnya. Kenapa melihatku seperti itu.
"Pak Yoga," panggilku, dia masih melamun.
Kembali mengulang pangilan dengan nada yanh sedikit lebih kencang. Dia terlihat tergagap.
"Sudah semua, saya bawa ya pak," ucapku. Pak Yoga hanya mengangguk.
Aku permisi keluar dan kembali bekerja. Langkahku baru sampai di pintu saat dia kembali memanggilku.
"Iya Pak,"
"Mau makan siang denganku?" Tanyanya, kupastikan lagi pendengaranku.
Dia mengajak makan siang dan tak menyebut dirinya dengan saya.
"Makan siang?" Tanyaku saat ku berbalik melihat ke arahnya. Pria itu menganggukan kepalanya.
"Iya Pak," jawabku.
"Bersiap, aku tunggu di bawah sekarang," ucapnya. Mataku reflek melihat jam, sudah waktunya istirahat memang.
"Baik pak. Permisi." Tanganku menarik pintu, melangkah keluar dan kembali menutupnya.
Menyapa Mbak Ambar sekretaris Pak Yoga. Aku lumayan akrab dengannya, mungkin karena faktor usia. Dia belum terlalu berumur seperti karyawan lainnya.
Aku memilih sholat terlebih dahulu sebelum keluar. Membenahi rambut dan riasanku setelahnya. Menenteng tas hadiah dari mama lyna yang harganya puluhan juta.
"Maaf, lama ya? Saya sholat dulu tadi," ucapku saat melihatnya sudah menunggu di dekat mobilnya.
"Oh, nggak apa-apa," jawabnya. Dia membukakan pintu mobilnya.
"Terimakasih," ucapku padanya.
Mobil melaju pelan meninggalkan kantor, Pak Yoga sedikit menambah kecepatan saat sudah di jalan raya.
"Apa kabar Hakm?" Tanya Pak Yoga padaku, membuat ku sedikit terhenyak.
Nama yang ingin sekali kulupakan beserta bayangan dan sejuta kenangannya. Kenapa dia harus menyebutnya.
"Bapak kenal Bang Hakim?" Tanyaku kemudian.
"Kami teman sekolah dulu, mulai tak bertemu sejak dia kuliah kedokteran di luar kota, hingga menetap dan menikah disana. Aku datang sewaktu pernikahannya, tapi aku tak melihatmu," ceritanya.
Mendengar kata pernikahan hatiku tiba-tiba terasa sakit. Aku inggat lari keluar gedung karena tak bisa melihat Bang Hakim dengan Riana.
"Kamu kenapa?, kamu baik-baik saja?" Tanyanya melihat ku terdiam.
"Ba ... baik. Bang Hakim juga baik," jawabku gagap.
Mengingatnya itu bagai sedang menyayat hati dengan sembilu, SAKIT.
Bagai mengenggam bara di tangan PANAS, terlalu dalam luka ini, terlalu terhina diri ini. Namun kenapa rasa itu tak juga mau pergi, rasa ini menyiksaku, rasa yang tak harusnya tak tercurah padanya, rasa yang seharusnya tak ada.
"Sebelum di sini, kamu kerja di mana?"
Aku menjawab, memegang klinik kecantikan milik Mama Lyna di kota asalku.
Kembali dia menanyakan kenapa pindah, aku jawab ingin suasana berbeda dan menemukan orang-orang yang berbeda.
Tak berapa lama mobil berhenti di sebuah kafe dan resto, kami turun dan masuk.
Setelah memilih beberapa menu kami melanjutkan obrolan.
Mungkin karena Bang Hakim yang sama-sama kami kenal, pembicaraan banyak tentangnya, dan itu menyesakkan.
"Kamu terlihat tak suka bicara tentang kakakmu?" Aku sedikit kaget dia menyadari juga ekspresi malasku.
"Kami sedang tidak akur." Alasanku.
"Oh ya, kenapa? Hakim itu karakter paling sabar dan lembut di antara kami berempat." Ceritanya lagi. Dia sedang menceritakan masa sekolah dulu dengan geng-nya.
"Rinda malas dari tadi Bang Hakim mulu di bahas," ucapku kesal, Pria itu malah tertawa melihatku kesal.
"Bapak sudah menikah?" Tembakku langsung, tak lucu rasanya jalan dengan suami orang. Pria itu mengangguk.
Tuh kan, aku cukup trauma dengan Bang Hakim, untung aku tak memiliki perasan tertarik dengan pria ini, walau boleh dibilang pesonanya di atas rata-rata.
"Kenapa menanyakan hal itu?"
"Takut ada yang salah paham, lebih baik aku duluan kan jadi bisa tau bagaimana harus bersikap," jawabku.
"Kamu sudah punya pacar?"
"Inginnya nggak mau pacaran, langsung dilamar saja, tapi belum ada yang mau ya sementara sendiri juga tak terlalu buruk," jawabku.
Tak berapa lama pesanan kami datang, kami mulai memindahkan isi piring kedalam mulut menikmati setiap suapan dan kunyahan. Tanpa kata ataupun pembicaraan sampai selesai.
"Kamu mengenal Fendi juga sepertinya, dia bekerja di kota yang sama denganmu."
Aku tersenyum.
"Iya kami saling mengenal. Surprise akhirnya kami bekerja dalam perusahaan yang sama," ucapku.
"Akrab?"
"Cukup akrab, Fendi pribadi yang menyenangkan selalu tertawa bila sedang bersamanya," ceritaku. "Bapak kenal juga?"
"Dia sepupuku, sudah lama di tawari bergabung di sini, selalu menolak. Nggak tau kenapa tiba-tiba menghubungiku tentang lowongan di sini. Kebetulan Pak Hari mengundurkan diri, masuklah dia."
Pak Yoga bercerita tenta Fendi yang baru bergabung sebagai manager penasaran di perusahaan hari ini.
Aku kembali melanjutkan pekerjaan yang menumpuk setelah kami kembali di kantor.
Menjelang jam tuju malam aku baru merapikan meja dan berkas-berkasku.
Banyak proyek yang jalan bersamaan, itu betarti banyak pula pekerjaan yang menuntut untuk diselesaikan. Mulai mengikuti alur dan pola pekerjaanku.
Aku sedang menyiapkan beberapa berkas yang akan kukerjakan di rumah, ketika Fendi datang.
"Satu mobil saja ya, aku akan mengantarkan kamu pulang sekalain jemput kamu besok," ucapnya.
"Apa itu semacam modus?" Gurauku, Fendi tertawa mendengarku.
Dia menghampiriku, membawakan berkas yang akan kulembur dan juga laptopku.
"Bukan modus hanya usaha," bantahnya.
"Sama aja, apa bedanya," ucapku sedikit mengerucutkan bibirku. Fendi kembali tertawa, kami berjalan bersisian, masih banyak karyawan yang terlihat di kantor, seperti biasa aku menyapa mereka.
"Akhirnya aku kembali ke kota kelahiranku, padahal aku sudah cukup kerasan di kotamu," ucap Fendi saat mobilnya mulai melaju.
"Lah, kalau sudab krasan, ngapain malah balik sini?" Tanyaku.
"Yang buat kerasan, tiba-tiba menghilang. Tak taunya dia di sini. Katakan padaku kenapa kamu menghilang tanpa kabar dan menganti nomor hape?" Tanya Fendi.
Aku memang menganti nomor ponselku, selain keluarga hanya Vero dan Mas Fathir yang tau.
"Hanya ingin membuka lembaran baru, di sana tak ada yang melamarku, siapa tau aku menemukan jodohku di sini," candaku.
Hanya untuk menutupi kisah kelam dalam kehidupan cintaku. Tak ingin berbagi ke siapapun tentang Bang Hakim. Bahkan nanti ke suamiku.
"Aku juga sedang mencari jodohku, yang tiba-tiba menghilang, tak memberiku kabar," ucap Fendi.
Aku merasa arah pembicaraanya semakin terbuka. Aku sadar dia ada rasa, tapi aku dulu kan masih wanita bersuami. Tapi sekarang, aku sudah sendiri, kenapa tak kucoba jatuh cinta lagi.
"Oh ya, sudah ketemu?" Tanyaku.
"Iya, dia di sampingku sekarang," jawabnya. Sesaat kami bertatapan, aku sedikit mengulas senyumku.
"Kamu sedang mengombaliku, berapa bulan tak bertemu, tambah genit," ucapku.
Fendi tertawa, manis sekali. Dari pertama bertemu memang sudah sadar sepenuhnya dia sempurna secara kasat mata. Tapi pesona dan ikatan pernikahan dengan Bang Hakim menutup semua.
Bang Hakim lagi kapan aku bisa melupakannya.
Fendi membawaku ke sebuah Kafe, tak nauh dari rumah Mama Lyna.
"Kamu tau aku rindu sekali, apa kamu begitu tak pekanya, atau memang sudah ada yang lainnya?"
Aku sedikit terkesiap, dia mengatakan semua tanpa basa-basi.
"Kamu bicara apa?"
"Rin, kita sudah sama-sama dewasa, tanpa aku berkata pun kamu pasti sudah tau perasanku padamu," ucap Fendi padaku.
"Aku tak mau menebak atau kepedean atas perasaan seseorang padaku," ucapku.
"Baiklah, aku jatuh cinta padamu, sejak pertama aku melihatmu. Aku ingin menjalani sebuah hubungan denganmu."
"Apa itu tidak terlalu cepat, kamu bahkan belum terlalu mengenalku, aku juga belum mengenalmu jauh."
"Karena itulah, kita jalin sebuah hubungan, kita buat sebuah kisah, kita akan saling mengenal dan kita akan saling melengkapi, ini bukan soal waktu, ini soal rasa, yang harus di ungkap, yang harus kau tau, dan mengaharapkan balasmu," ucapnya.
"Aku sengaja kembali ke kota ini karenamu, Kak Alexa baru tau kalau kamu disini. Bukankah cinta harus di perjuangkan, aku sedang berjuang untuk cintaku, padamu."
Aku terdiam, tak tau apa yang harus kuucapkan. Sepertinya ini terlalu cepat, kami baru bertemu lagi hari ini, dan sekarang dia bicara seperti itu padaku. Tapi dia benar ini soal rasa, bukan soal waktu.
"Aku lapar, apa kita akan terus di sini?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Fendi cukup tau maksudku.
Kami menikmati makan malam di temani live musik. Kami hanya mengobrol seputar pekerjaan saja sampai hampir jam sembilan.
Sudah malam, Fendi mengantarkanku pulang. Mobil menepi di dekat pagar rumah besar itu.
"Kamu belum memberikan jawaban." Fendi menahan tanganku saat aku hendak turun.
"Bisa memberiku waktu, aku butuh waktu berfikir," jawabku.
"Bisa, sepuluh detik dari sekarang," jawabnya, reflek ku cubit lengan kekar itu. Tangannya kembali memegang tanganku.
Cukup lama kami saling memandang, mencoba menelusuri untuk mencari rasaku padanya, apakah aku memilikinya.
"Kenapa tidak kita jalani dulu, " ucapnya kemudian.
Dia memiringkan kepalanya mendekat, menunggu jawaban dari mulutku yang bergeming.
Aku masih terdiam, aku belum memiliki jawaban, ini cepat sekali.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel