Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 04 Desember 2021

Pria Dari Masa Lalu #9

Cerita Bersambung
~Belajar Mencintai dan Melupakan~
"Kamu belum memberikan jawaban." Fendi menahan tanganku saat aku hendak turun.
"Bisa memberiku waktu, aku butuh waktu berfikir," jawabku.
"Bisa, sepuluh detik dari sekarang," jawabnya, reflek ku cubit lengan kekar itu. Tangannya kembali memegang tanganku.
Cukup lama kami saling memandang, mencoba menelusuri untuk mencari rasaku padanya, apakah aku memilikinya.

"Kenapa tidak kita jalani dulu, " ucapnya kemudian.

Dia memiringkan kepalanya mendekat, menunggu jawaban dari mulutku yang bergeming.
Aku masih terdiam, aku belum memiliki jawaban apapun.
Ponselku bergetar, aku menariknya dari dalam tasku. Mas Fathir menelponku. Ragu aku mengangkatnya.

"Bisa memberiku waktu, ada banyak hal yang masih membuatku harus berfikir untuk menjalin sebuah hubungan baru. Aku berharap kamu bisa mengerti," ucapku.
"Baiklah, aku akan sabar menunggumu, bahkan kalau kamu menolak pun, aku pastikan akan tetap memperjuangkan rasaku."

Aku tersenyum tipis. Tak mudah bagiku menerima kehadiran cinta lain. Walaupun aku ingin move on, tapi entahlah.

"Makasih ya, besok tak usah menjemputku, biar aku di antar sopir saja," ucapku.

Fendi mengelengkan kepalanya.

"Aku akan tetap menjemputmu, jangan menolakku."

Aku mengangguk pelan, kemudian beranjak turun. Fendi ikut turun mengambilkan bawaanku di jok belakang.

"Makasih ya, Assalamualaikum," pamitku padanya.
Mas Indra sudah membukakan pagar untukku.

Lepas mandi aku baru menelpon kembali, Mas Fathir. Suara khasnya terdengar sedikit parau. Masak sudah tidur, baru saja dia menelponku.

"Mas sudah tidur?"
"Ketiduran, tadi nelpon kamu nggak diangkat."
"Iya, masih di jalan tadi, maaf ya."
"Kok malam?"
"Iya, diajakin temen ngopi tadi."
"Cewek pa cowok?"
"Emang kenapa?"
"Ya mau tau aja, Oh ya mau kasih kabar ke kamu, Mas lusa akad nikahnya, doakan lancar ya," ucapnya.

Aku terdiam sejenak, kenapa ada rasa perih yang menjalar dalam hati. Rasa yang tak kutau artinya.

"Haloo, Rin," pangilnya.
"Eh, iya mas, maaf. Rinda doain lancar sampain hari h," jawabku.

Apa-apaan ini, kenapa mataku menghangat. Ini tak mungkin. Mungkin aku hanya takut kehilangan sosoknya, yang selalu menemani hampir setiap malamku.
Aku berasa menjadikan dia adalah milikku, seolah lupa ada Sharen pemilik Mas Fathir sebenarnya.
Aku terlalu nyaman dengannya, dengan segala hal dalam dirinya. Yang kurasakan selama ini kami seperti saling memiliki satu sama lain, aku baru menyadarinya.

"Hallo, kok diam aja?" Tanyanya.
"Kalau sudah nikah, Mas masih akan nelpon aku kayak gini nggak?" Tanyaku.
"Kenapa?"
"Yah, biasanya hampir tiap malam kan Mas telpon aku, kalau sudah ada istri pasti nggak bisa lagi," kenapa dadaku sesak ketika mengucapkannya. Padahal kami tak punya komitmen apa-apa.
"Kamu ingin Mas nelpon kamu kayak gini terus?" Tanyanya, suaranya lembut namun
terdengar mengoda. Atau itu hanya perasaanku saja.

Aku tertawa, merasa aneh dengan hubungan ini. Kami bukan sepasang kekasih, tapi kenapa ada yang berbeda. Rasanya akan seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Pangilan beralih ke video, aku mengusap airmataku. Senyum manis muncul di layar ponselku. Sunguh tak kupahami arti dari hubungan kami.

"Kamu nangis?" Tanyanya. Dia melihatnya juga.
"Nggak cuma capek aja," jawabku tersenyum padanya.

Obrolan kami berlanjut seperti biasa, bercerita tentang hari ini. Aku menikmati senyum manisnya. Sampai aku terlelap.

Kuterbangun menjelang, masih mendekap ponsel di dadaku. Menertawakan diriku sendiri. Menertawakan rasa yang tak ku mengerti. Tapi kalau Mas Fathir tak memiliki rasa sama sekali, apa arti kenangan yang dia berikan sewaktu aku akan pergi.
***

"Makan siang yuk," ajak Fendi padaku.
"Aku banyak kerjaan, nggak bisa keluar."
"Ya udah, ntar aku bawain sekalian ya," ucapnya. Aku mengangguk. Dia berlalu meninggalkan ruanganku.

Fendi tak berhenti walau kubilang belum bisa menerimanya dua bulan yang lalu. Semua berjalan seperti biasa, perhatiannya tak berkurang padaku. Tapi semua itu belum bisa mengetarkan hatiku.
Justru kenyamanan kudapatkan dari Mas Fathir yang sekarang jadi suami orang. Tapi aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama, di mana aku terjebak diantara cinta Bang Hakim dan Riana.
Aku mulai menahan diri, tak berhubungan dengannya. Ada hati yang harus di jaga. Karena aku merasa hati ini sedikit mulai memiliki rasa padanya.
Ponselku bergeetar, ada nama Vero terpampang di layar. Ku segera mengangkatnya.
Dia bercerita bertemu dengan Bang Hakim di sebuah kafe, sendirian.
Bang Hakim mendatangi Vero dan menanyakan tentangku. Vero menjawab tidak tau.

"Berantakan, swear. Aku hampir nggak ngenalin, kalau dia nggak datengin aku dulu," cerita Vero.
"Dia merasa bersalah ke kamu, dia bilang sangat mencintai kamu. Dia terus mencari kamu, tapi semua keluarga bungkam tentangmu. Kesian juga liatnya, tapi aku banyak kesalnya."

Aku menyimak cerita Vero, dan harus ku akui, masih ada hati yang terpaut dalam di sana. Rasa ini membelenguku, seolah tak melepasku untuk bisa menikmati rasa dari sosok lainnya.
Harus bisa mengenyahkannya, harus bisa.
Ayolah Rinda ada Fendi di sini, pria single, mapan, tampan dan menyenangkan.
Apa yang kurang darinya. Tak ada ... tapi kenapa sulit sekali menerimanya.

"Nasi padang, kesukaan kamu," ucap.Fendi yang tiba-tiba sudah ada di depanku.

Dia membawa dua bungkus nasi padang dan dua piring di tangannya. Meletakkan di meja dekat jendela.
Aku beranjak dari kursiku. Menghampirinya yang sudah menarik kursi untukku.
Kami duduk di kursi bersisian, menghadap piring kami masing-masing.

"Makasih ya," ucapku padanya.

Fendi tersenyum dan melihat ke arahku. Lesung pipi itu terlihat menambah manis parasnya.
Aku masih memandanginya, untuk apa? Untuk menciptakan getaran dalam dadaku atas hadirnya.
Fendi melakukan hal yang sama. Apakah cinta bisa di paksa? Harus bisa, aku tak ingin hidup dalam bayangan Bang Hakim untuk selamanya. Bukankan aku juga berhak untuk bahagia.

"Apa ini artinya iya?" Tanyanya.

Wajahku menghangat seketika.

"Menurutmu?" Tanyaku padanya. Bibir basah itu tersenyum, rona bahagia jelas terpancar. Aku ingin membuka hatiku untuknya. Memulai lembaran baru cinta yang baru.

"Aku suapin," ucapnya padaku. Aku mengelang.
"Aku yang suapin kamu," ucapku. Fendi tersenyum.
Aku sedang berkompromi dengan hatiku, membiasakan diri dengannya. Menciptakan getaran cinta yang aku yakini akan hadir bila kami terus bersama, saling mengisi dan saling memberi arti.

"Sana kembali kerja, dah abis jam istrihatnya," ucapku.
"Cepet banget, kayaknya barusan duduk."
"Jangan main perasaan,"
"Main apa dong?" Alis tebal itu terangkat.
"Udah sana, aku ada meeting abis ini," ucapku lagi sambil mendorongnya.
"Iya sayang, sabar kenapa." Tanganya memegang kedua tanganku yang ada di kedua sisi pingangnya.
"Ihh, harus profesional, kita di bayar buat kerja bukan sayang-sayangan."
"Iya Ibu, siap." Goda Fendi padaku. Tangannya menarik kedua tanganku hingga melingkar di pingangnya.
"Ihh, bisa-bisanya ya," ucapku sambil menarik tanganku, tapi dia begitu kuat memegannya.
"Sayang, aku balik keruangan dulu. Lepasin dong," godanya padaku, aku menahan tawaku. Udah tua masih jail aja.
"Sudah sana, becanda mulu," ucapku lagi. Fendi hanya tertawa, membalikkan badan ke arahku.
"Makasih yang tadi ya," ucapnya.
Aku mengulum senyumku. Menatapanya malu-malu. Pasti wajahku kini bersemu, merah jambu.

"Sudah sana, aku mau nyiapin bahan meeting dulu," ucapku. Fendi mengangguk dan tersenyum.
Dia keluar setelah mengecup tanganku. Kuulas senyum di bibir, ayo Rinda kamu bisa.
Lihatlah betapa manisnya Pria itu. Lupakan Pria-Pria yang tak memilihmu.
Melangkah kembali ke meja, saatnya bekerja. Mengambil berkas yang sebagian tadi sudah ku siapkan kemudian melengkapinya.
Aku bergegas ke ruang meeting, agenda meeting hari ini membahas proyek baru yang akan segera jalan.
Bagian keuangan proyek Bu Yanti dan Manager Proyek Pak Irwan sudah terlihat datang. Tinggal menunggu pengawas proyek Pak Subhan.

Selepas meeting dengan bagian proyek, aku menghadap ke Pak Yoga, untuk mengajukan draft proposal yang baru di buat bagian keuangan proyek. Menyangkut dana perijinan juga.

"Tinggalkan dulu saja, nanti aku pelajari," ucap Pak Yoga. Aku meletakkan map yang kubawa di atas meja kerjanya.
"Oh ya, lusa ada undangan dari salah satu relasi. Ambar tak bisa menemaniku, dia menyarankan kamu, apa kamu bisa?, lusa jam delapan malam," ucapnya.
"Saya?, lusa bukannya malam minggu."
"Iya, bisa?"

Aku terdiam sejenak.

"Nanti akan banyak relasi penting juga, kamu bisa sebagai wakil dari papa kamu, dari keluarga Dinata," jelas Pak Yoga.

Aku menganggukan kepala.

"Iya Pak, saya bisa," jawabku.
"Saya permisi," ucapku lagi.

Kemudian melangkah keluar ruangan Pak Yoga dan kembali ke ruanganku.
Kembali dengan jajaran angka-angka, yang sudah menjadi sahabatku sekarang.

"Lembur lagi?" Tanya Fendi yang sudah berdiri di ambang pintu. Aku mengeleng.
"Kangen Oma, aku bawa pulang aja beberapa, di kerjakan di rumah," jawabku
Masih cukup sore baru jam lima. Aku sudah membereskan mejaku. Dan melangkah ke arah pintu tempat Fendi berdiri. Tapi pria itu malah menutup pintunya.

"Mau ku antar?" Tanyanya.
"Nggak usah, makasih yah," jawabku.
Fendi tersenyum, selalu manis.

"Aku antar sampai bawah ya?"
Aku mengangguk.

"Kamu nggak pulang?" Tanyaku.
"Mas Yoga ngajakin keluar," jawabnya.
Aku mengangguk, Fendi mengambil berkas dan laptop dari tanganku.

"Jangan malam-malam jaga kesehatan, jangan terlalu di forsir," ucapnya setengah berbisik dengan memajukan wajahnya di samping telinggaku.
"Iya, kamu juga jangan malam-malam," ucapku padanya.
***

"Adek, Abang rindu." Dadaku berdesir halus. Bang Hakim meraihku dalam dekapan hangatnya.
"Adek juga rindu," ucapku. Kuangkat kepalaku dan memandangi wajah tampan di depanku.
Sesaat kemudian bibir kami sudah saling menyapa lebut dan hangat.

"Berjanjilah Adek tak akan pergi lagi" pinta Bang Hakim padaku. Aku tak menjawabnya dengan kata-kata, hanya memberikan ciuman yang hangat dan lama.
Dadaku semakin berdegub kencang, lama tak kurasakan hangat nya sentuhan dan dekapnya.

"Kriinnggg."

Suara alarm berbunyi mengagetkanku, ternyata hanya mimpi, tapi seolah nyata sekali, dadaku masih terasa berdegub kencang.
Cerita Oma tentang Bang Hakim membawanya ke mimpiku. Aku rindu, kenapa susah sekali menghilangkan rasa ini.
Oma terlihat sedih saat bercerita tentang cucunya itu. Aku hanya bisa mendengarkan Oma bercerita, tak mampu menimpali apa-apa.

Aku bangun dari tempat tidur, sekalian sholat malam sebelum menjamah pekerjaan yang tadi kubawa pulang.
Bayangan Bang Hakim seolah sedang mengejekku, bertengger tak mak mau pergi, membuatku kehilangan kosentrasi. Kertas di depanku hanya kupandangi tak kusentuh sama sekali.

Kuambil ponsel lamaku dari laci lalu menyalakannya. Tak banyak gambarnya di ponselku, karena kami jarang punya kesempatan bersama.
Tanganku berhenti di sebuah fotonya. Foto ini kuambil saat dia membuatku tergila-gila padanya dan sampai sekarangpun aku tak bisa melupakan getaran yang tercipta.
Kami memghabiskan malam bersama, bagiku semua terasa indah saat itu.
Segala tentangnya, aku merindunya. Ini sama sekali tak baik untukku. Kenapa begitu sulit memudarkan rasa padanya.
Aku ketiduran, pekerjaanku sama sekali tak tersentuh. Percuma saja aku membawanya pulang.
***

Pagi lepas sarapan kami memulai aktifitas kami masing-masing. Begitu juga aku menghabiskan waktu separuh hariku berkutat dengan begitu banyak pekerjaan. Semua menuntut segera di selesaikan.

"Fin, kalau sudah selesai, antar ke ruangan ya," ucapku pada Fina sambil menyodorkan beberapa draft proposal yang harus direvisi.
"Baik Bu," jawabnya. Aku kembali ke ruanganku. Fendi sudah terlihat menungguku di depan pintu.

Kulihat jam di tanganku, sudah jam dua belas lebih.

"Aku sudah pesankan makanan, sebentar lagi Rahman mengantarnya," ucap Fendi saat ku sampai di depannya. Tanganya membukakan pintu untukku.
"Makasih ya," ucapku padanya setelah pintu tertutup.
"Aku suka parfummu," ucapnya mendekatkan hidungnya ke arahku.
"Tak suka orangnya?" Godaku, Fendi tersenyum.
"Aku tidak suka, tapi sangat suka, katakan ada apa denganku?, kenapa aku begitu tergila-gila padamu. Apa yang telah kamu lakukan padaku, sampai aku tak pernah bisa berhenti memikirkanmu, dan tak lelahkan dirimu? Terus menerus berlari dalam pikiranku?, dan apa alasanmu untuk selalu hadir dalam setiap mimpi malamku?"

Tangan itu sudah melingkar di pinganggku, matanya menatapku tajam.
Aku mengulum senyumku mendengar tiap kalimat yang keluar dari bibir manis itu. Dia sedang menerbangkanku dan aku suka.

"Apa kamu selalu mengatakan ini pada wanita yang sedang kau dekati?"
Fendi mengelangkan kepala.

"Hanya padamu," jawabnya. Entah benar atau tidak bukan hal yang harus dicari tau kebenarannya.

Yang pasti dia mulai mampu mengentarkan hati ini. Bukan hanya kata-kata, segalanya nya, perhatian serta cinta yang terpancar darinya begitu nyaman kurasakan.

"Apa sebuah pernikahan terlalu cepat untuk kita?" Tanyanya. "Bukankan usia kita sudah cukup matang untuk itu."
"Kau melamarku?" Tanyaku saat kening kami beradu.
"Kamu mau?"
"Apa ada alasan yang pantas untuk bisa menolakmu?" Tanyaku.

Bibir indah itu terkembang sempurna. Sebuah ikatan dengan cinta pasti akan bisa membuatku melepas bayangan Bang Hakim dari kisahku.
Suara ketukan dipintu, mengagetkan kami. Aku mendorong pelan tubuhnya, dan beranjak membuka pintu.
Ternyata Rahman yang mengantar makanan pesanan Fendi.
Aku meletakkan di meja dekat jendela, seperti biasa kami bersantap bersama, menikmati makan siang dengan duduk bersisian.

"Aku akan persiapkan semuanya. Kamu sedang tak mencandaiku kan?"
"Kenapa curiga padaku?" Tanyaku.
"Dua bulan baru ada kata iya darimu, dan sekarang ketika kuberanikan diri berbicara tentang pernikahan, kamu langsung mengiyakan."
"Kau tak yakin padaku?" Tanyaku lagi. Wajah kami sudah tak berjarak.
"Aku yakin padamu, hanya sedikit mengejutkan, kejutan yang indah," ucapnya.
Lengkungan merah di wajah itu menyapaku sekilas, tulus kurasakan.

"Apa lagi yang kucari, semua sudah terlihat begitu sempurna," ucapku.
"Kamu benar-benar tidak sedang bercanda kan?" Tanyanya lagi.
Aku tertawa, kenapa terdengar begitu aneh untuknya.

Apa aku sudah begitu yakin padanya? Aku yakin perasaannya padaku. Yang tak kuyakini adalah perasaanku sendiri, tapi hanya dengan cara ini aku bisa lepas dari masa laluku.
***

"Mba Yan, buatin Rinda kopi antar ke kamar ya," pintaku pada Mba Yanti salah satu asisten rumah tangga di sini.
"Lembur lagi non?" Tanyanya, aku mengangguk. "Sekalian camilannya nggak?"
"Boleh, makasih ya Mba," ucapku.

Lepas isya aku baru pulang. Seperti biasa membawa setumpuk pekerjaan. Semoga tak seperti semalam.
Aku lepaskan penat dengan mengalirkan air hanggat ke badanku.
Benar saja lepas mandi badanku sudah kembali lebih segar.
Terdengar kentukan di pintu, aku duduk di meja kerjaku, menghadap ke layar di depanku.

"Masuk Mba!" Teriakku

Terdengar pintu berderit, aku belum mengalihkan pandanganku. Sampai pesananku di letakkan di sampingku. Aku masih bergeming.

"Makasih Mba Yan," ucapku tanpa melihatnya.

Aku menoleh karena Mba Yanti tak beranjak, dadaku bergetar saat tersadar siapa yang berdiri di sampingku.

"Abang ... "

==========


Lepas isya aku baru pulang. Seperti biasa membawa setumpuk pekerjaan. Semoga tak seperti semalam. Aku lepaskan penat dengan mengalirkan air hangat ke badanku.
Benar saja lepas mandi badanku sudah kembali lebih segar.
Terdengar kentukan di pintu, aku duduk di meja kerjaku, menghadap ke layar di depanku.

"Masuk Mba!" Teriakku

Terdengar pintu berderit, aku belum mengalihkan pandanganku.
Sampai pesananku di letakkan di sampingku. Aku masih bergeming.

"Makasih Mba Yan," ucapku tanpa melihatnya.

Aku menoleh karena Mba Yanti tak beranjak, dadaku bergetar saat tersadar siapa yang berdiri di sampingku.

"Abang ... " aku bangkit dari dudukku. Kenapa dia ada di sini, tapi apanya yang aneh ini kan memanh rumahnya juga.

Dadaku berdegub kencang, sunguh bukan pertemuan yang kuharapkan.

"Kenapa Adek pergi ninggalin Abang?" Tanyanya, matanya memerah.

Apa dia amnesia atau hilang ingatan, jelas-jelas dia yang mengusirku.

"Abang sedang melucu?, Abang yang mengusirku, sekarang bertanya kenapa aku ninggalin Abang, aneh," ucapku tersenyum sinis.
"Abang hanya panik waktu itu, itu bukan dari dalam hati Abang, Abang mencintaimu sangat mencintaimu, Adek tau itu kan?"

Aku tertawa hambar dan tersenyum masam kemudian.

"Omong kosong apa yang sedang Abang sajikan. Sudahlah tolong jangan ganggu aku lagi, sampai kapan Abang akan menyiksaku. Belum puas Abang memberiku luka, atau masih ingin mempermalukanku di hadapan Riana, apa sedikit saja Abang tak punya hati, tak kasihan padaku?" Aku kesal benar-benar kesal.
"Abang minta maaf, beri Abang satu kesempatan. Kita perbaiki semua, Abang akan menceraikan Riana. Kalau Adek mau sekarang juga Abang akan menalaknya."
"Apakah sebuah pernikahan begitu tak berartinya untuk Abang, hingga dengan mudahnya menjatuhkan cerai. Riana pilihan Abang, hidup berbahagialah dengannya. Biarkan aku juga bahagia," ucapku padanya.
"Abang ingin denganmu, kamu tau? Abang seperti orang gila mencarimu. Abang mencintaimu, sangat mencintaimu," ucapnya. "Maafkan Abang, satu kesempatan kita mulai lagi, Abang berjanji tak akan pernah menyakitimu, Abang akan membahagiakanmu," ucapnya.
"Bang, kita melangkah kedepan, dengan kisah kita masing-masing. Lupakan saja yang kemarin, itu kesalahan, tak seharusnya aku hadir di antara Abang dan Riana, kalian saling mencintai, padaku Abang hanya tergoda dan karena sangat terbiasa dengan hadirku. Itu bukan cinta," ucapku melembutkan suaraku.
"Kamu salah, perasaanku ke Rianalah yang bukan cinta, Abang hanya simpati dan kasihan padanya. Abang sudah salah mengartikannya," bantah Bang Hakim. "Dengan Riana, rasaku semakin memudar, bahkan sekedar simpati, padamu rasa ini semakin nyata."
"Adek minta, apapun yang Abang katakan sudah tak ada artinya lagi. Mengawali kisah dengan menorehkan luka di hati wanita lainnya, Adek tak bisa. Adek tak mungkin bisa bahagia, bila harus merebut Abang dari Riana apapun alasannya," ucapku.
"Sudah malam, tak baik Abang lama-lama di kamar Adek, kita sudah bukan pasangan halal lagi," lanjutku memintanya keluar.
"Adek belum memaafkan Abang?"
"Tak ada yang perlu di maafkan, semua sudah berlalu, Adek ikhlas. Sekarang ijinkanlah Adek menata hidup Adek dengan membuka lembaran baru, cinta baru dan orang baru."

Kutahan rasaku, cinta tak harus saling memiliki, atau menyelaraskan hati dan membangun kisah. Cinta bisa juga dengan saling melepaskan bila kenyataannya ketika kita mengengam hanya menjadi sebuah luka. Tak akan bahagia hati ini bila harus melukai hati lain, baik Riana atau Fendi.

"Sudah malam, bisa tolong keluar," pintaku padanya. Aku membuka pintu lebar-lebar.
Bang Hakim beranjak keluar, aku segera menguncinya.

Kutarik nafasku dalam. Tak mengira aku bisa sekuat ini. Tapi kenapa Bang Hakim tiba-tiba ada di sini.
***

Pagi-pagi sekali aku ke kamar Oma. Menanyakan kenapa Bang Hakim di sini. Kata Oma Bang Hakim tak bekerja lagi di rumah sakit beberapa bulan selepas aku pergi. Hidupnya kacau, dia pulang juga tak memberi tau siapapun, tiba-tiba datang. Karena itu Oma belum sempat memberi tahuku.
Rumah tanganya dengan Riana juga sudah kacau, Bang Hakim tak menghiraukan Riana lagi. Sepertinya mereka akan bercerai, tapi Riana meminta syarat rumah yang di tinggalinya sekarang menjadi hak miliknya. Tapi itu rumah milik Oma.

"Apa kamu tak ingin rujuk kembali, Oma rela memberikan rumah itu ke Riana, kalau memang itu bisa menyatukan kalian," ucap Oma, dadaku berdesir halus. Kenapa Oma harus mengatakannya.
"Oma, maafkan Rinda. Sekarang Rinda sudah membuka hati untuk Fendi, Oma kenal juga kan?"
"Adik Alexa?"
"Iya Oma, kami berencana menjalani hubungan lebih serius."
"Kamu mencintainya?"
"Kadang cinta tak harus dihadirkan terlebih dulu untuk dapat bersama. Cinta bisa hadir setelah kita bersama, Fendi sosok yang begitu sempurna, Rinda yakin dia bisa membahagiakan Rinda nantinya," jawabku.
"Itu keputusanmu, Oma hanya bisa mendukung dan berdoa, semoga kalian bahagia."

Aku cukup memahami, Oma masih menginginkan untuk aku dapat kembali bersama Bang Hakim.
***

Pagi ini kami sarapan bersama, ada yang berbeda, yah Bang Hakim terlihat bersih dan rapi wajahnya juga tak sesuram tadi malam.

"Pa, Hakim terima tawaran Papa. Tapi Hakim mau pegang Karya Hutama."

Aku melihat seketika ke arahnya, senyumnya mengarah padaku. Karya Hutama adalah perusahaan tempatku bekerja.

"Tapi Yoga ada di sana, itu juga tak sebesar Hutamaland," ucap Papa.
"Hakim maunya di sana, Yoga saja pegang Hutamaland, dia pasti setuju, lagian Hakim kan harus banyak belajar Pa, kalau langsung memegang perusahaan sebesar Hutama Land takutnya tak mampu," ucap Bang Hakim.

Semua terdiam, kenapa tak ada yang bisa membantahnya. Senyumnya terkembang ke arahku. Dia mengodaku.

"Pa,Ma, Oma Rinda berangkat dulu," pamitku setelah menyelesaikan sarapanku.
"Adek, tunggu Abang. Ma, Pa, Oma, Hakim berangkat dulu, assalammualaikum," pamit Bang Hakim.

Dia mengikuti langkahku yang sengaja kupercepat.

"Abang ikut Adek ya?"
"Nggak bisa, Abang berangkat sendiri saja," jawabku, tapi seolah tak didengarnya. Dia terus mengikutiku sampai kedalam mobil.
"Okay, Abang nggak akan ganggu Adek lagi. Atau meminta Adek kembali. Tapi tetaplah menjadi Adek Abang yang manis seperti dulu," ucapnya.
"Bang, anak TK pun tau, Abang sedang modus. Pakai jadi kakak adek segala." Bibirku sudah manyun kesal, sunguh dia jadi begitu sangat menyebalkan dengan senyum yang selalu menghias bibirnya.
"Anak TK sekarang, pintar-pintar ya," ucapnya santai. Aku melihat ke arahnya. Gigiku gemeretak karena kesal. Dia hanya tersenyum. Apa yang di rencanakan orang ini sebenarnya.

Ada apa denganya. Entahlah, aku mulai menyalakan mobilku dan melajukannya pelan saat keluar halaman, kutambah kecepatan saat kendaraan keluar dari perumahan.
Pria itu tak melepas pandangannya dariku, masih dengan senyumnya yang menyebalkan. Dan sialnya, ada perasaan senang saat berada dekat dengannya, rasa yang susah payah ingin kubunuh, dan ingin kutengelamkan ke dasar hatiku terdalam.

"Abang mau ngapain ke kantor?" Tanyaku tanpa melihat ke arahnya.
"Mau ketemu Yoga," jawabnya.
"Harusnya Abang menuruti Papa, Hutamaland, itu perusahaan terbesar Papa, sudah seharusnya Abang yang di sana. Abang penerus Papa, kenapa membiarkan orang lain memegangnya,"
"Kamu perduli?"
"Adek perduli pada semua hal menyangkut keluarga Hutama, semuanya," jawabku.
"Pada Abang juga?"
"Abang orang yang paling berjasa dalam hidup Adek, dan Adek tak akan lupa itu. Lepas dari sakit yang pernah Adek dapatkan, tapi memang itu akibat kesalahan Adek sendiri, begitu tak tau dirinya hadir di antara Abang dan Riana, pasangan bahagia yang saling mencinta," terasa begitu pahit, tapi itulah adanya.
"Abang yang memintamu,"

Aku mengelengkan kepalaku. Jelas aku menikmati semua rasaku dan semua yang dia berikan padaku.

"Adek tak bersalah, Abanglah yang egois. Abang yang memberikan luka dengan begitu mudahnya," ucap Bang Hakim.
"Abang benar," aku tertawa sumbang, "apa Abang pikir hati Adek terbuat dari batu, hingga tak bisa merasakan sakit saat Abang memberi luka, dan Abang tau yang paling menyakitkan?, hal paling menyakitkan hati adalah saat Abang menalakku kemudian mengusirku." Kuusap air yang memenuhi sudut mataku.
"Saking tak percayanya, Adek butuh waktu lama mencernanya, Adek tak percaya Abang sangup mengatakan itu padaku. Tapi itu kenyataan. Mudah sekali Abang menceraikanku, lalu mengusirku. Dan mudah sekali sekarang Abang memintaku rujuk kembali."
"Adek maafkan Abang."
"Adek bukan pendendam, hari itu juga Adek sudah memaafkan atas semua luka yang telah Abang torehkan. Tapi untuk kembali, sudah tak Adek inginkan lagi," ucapku.
"Abang memang bodoh dan lemah, Abang pantas menerima nya." Rutuknya pada dirinya sendiri.
"Tapi setidaknya, biarkan Abang di dekatmu, menjadi Kakakmu, seperti dulu."
"Apa itu bisa? Rasa itu telah ternoda. Sulit membangun kembali sebuah kisah Kakak Adik dalam arti sesungguhnya," ucapku.
"Sulit bukan berarti tak bisa. Asal kamu mengiyakan Abang akan menjaga batasan. Bukankah setau dunia kita kakak adik, asal bisa menjagamu dan selalu bisa melihatmu itu sudah cukup buat Abang."

Aku terdiam, mobil sudah memasuki basement, kulajukan pelan menuju tempat parkir khususku. Seorang petugas kemanan sudah menunggu.
Aku segera turun dan membiarkan dia yang akan memarkirkan mobilku seperti biasa. Bang Hakim belum terlihat ikut turun, aku meninggalkannya.

"Pagi cantik,"
Aku cukup dibuat kaget, Fendi tiba- tiba muncul di sampingku.

"Pagi sayang." Balasku.
Mendengar kata sayang bibir itu tersenyum lebar.
Fendi terlihat kaget melihat Bang Hakim yang sudah menjajarkan langkahnya dengan kami.

"Mas Dokter," sapa Fendi "Kok di sini?"
"Hai, Iya. Mau ketemu Yoga. Kamu di sini juga sekarang?"
"Iya Mas, baru beberapa bulan." Jawab Fendi. Bang Hakim hanya memanggutkan kepalanya.

Kami bertiga berjalan bersisian ke arah lift khusus manager up. Belum ada pembicaraan lagi setelah tadi. Aku berdiri di antar Bang Hakim dan Fendi.

"Sudah sarapan?" Tanyaku pada Fendi.
"Sudah tadi, kamu sudah?"
"Iya," jawabku.

Sudah sampai di lantai delapan, kami keluar setelah pintu lift terbuka.

"Katanya mau ke Pak Yoga, ngapain masih di sini?" Tanyaku pada Bang Hakim yang ikut berhenti di dekat lift.
"Kamu ngapain berhenti di sini?" Tanyanya padaku.
"Belum ada jam delapan, pacaran dulu boleh kan?"

Fendi kaget mendengarku, wajah putihnya bersemu.
Bang Hakim lebih kaget lagi memdengarku.

"Pacar?" Tanya Bang Hakim dengan mata menyipit. Aku tersenyum, memasang wajah sok manis, padahal hati menangis.
"Udah Abang duluan, kayak nggak pernah pacaran aja." Aku mendorong Bang Hakim menjauh. Dan kembali ke Fendi yang masih berdiri di dekat lift.

Fendi membawaku ke ruangannya.

"Kamu, tumben manis banget?" Tanya Fendi padaku.
"Emang nggak boleh?, kamu nggak suka?" Tanyaku.
"Bukan gitu, suka pastilah, suka sekali," ucap Fendi. Tangan itu sudah melingkariku, senyum manisnya terbit sempurna.

Aku harap aku sedang tak menipu diriku sendiri, apalagi Fendi. Dan berharap apa yang aku ucap selaras dengan hatiku.

"Aku suka, suka sekali," ucapnya lirih. Rasanya berbeda, debaran ini tak sama.
Tak sehidup seperti saat ku bersama Bang Hakim. Padahal perlakuan mereka sama tapi kenapa diri ini berbeda meresponnya.

"Sudah jam delapan," ucapku.
"Kenapa waktu terasa berjalan begitu cepat saat kita bersama?"

Aku hanya tersenyum menangapinya. Kumengusap lengkung manis itu dengan tanganku. Menatap mata yang penuh binar cinta itu, memastikan hatiku, dia pilihanku.

"Tak perlu mengantarku," ucapku.

Aku berjalan keluar ruangannya. Kenapa hatiku tak bergetar sehebat seperti saat kumelakukannya dengan Bang Hakim. Apa rasa itu masih begitu kecilnya padahal aku sudah berusaha.
Kudorong pintuku pelan, mungkin karena melamun aku baru sadar ada Bang Hakim duduk di kursiku saat ku letakkan tas di atas meja.

"Abang ngapain di sini?" Tanyaku malas.
Dia benar-benar sudah memporak-poranda kan perasaanku.
Bang Hakim menghampiriku, memindai wajahku.

"Adek barusan ngapain?" Tanyanya, tangan itu memegang daguku.
"Memangnya kenapa?, kami sudah sama-sama dewasa," jawabku. Aku mengerti arah pertanyaanya. Wajah itu memerah, tapi apa perduliku. Sengaja memang kulakukan agar dia tau, dan mau menjauhiku.

Tak ada jawaban darinya, hanya sorot matanya tajam menatapku. Dan aku ikut terpaku, apa yang pria ini miliki, kenapa sulit sekali melepaskan diri dari belengu pesonanya.
Sedekat ini dadaku bergetar hebat. Aku bukan labil, tapi inilah perasaanku sebenarnya. Rasa yang coba kuredam dan kuhalau rasaku padanya yang tak pernah berubah walau ku coba menutupinya.
Dia sadar, melihat itu semua di mataku. Karena mata tak akan bisa berbohong. Rasa itu kuat terasa, mengikat erat membelenggu jiwa.
Kenapa harus padanya cinta pertamaku berlabuh.

Bersambung #10

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER