Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 05 Desember 2021

Pria Dari Masa Lalu #10

Cerita Bersambung
*Masih Cinta*
Dia sadar, melihat itu semua di mataku. Karena mata tak akan bisa berbohong. Rasa itu kuat terasa, mengikat erat membelenggu jiwa. Kenapa harus padanya cinta pertamaku berlabuh.

"Kenapa?, abang melihatnya juga kan?, sebesar itu rasa cintaku, sedalam itu juga luka yang telah abang torehkan di hatiku. Jangan berharap apapun, kecuali memang karena kehendak Tuhan, adek memilik tak kembali pada abang." Aku melepaskan tangannya dariku.

"Abang baru saja bilang, akan menjaga batasan. Hubungan kita adalah adik - kakak, kenapa seolah lupa. Bagaimana Adek bisa percaya, bahkan janji yang baru saja terucap abang sudah tak mengingatnya."

Tak ada jawaban, hanya dia terlihat lebih tenang. Senyum masam hadir di bibir itu.

"Baiklah, abang minta maaf. Abang akan menjaga sikap, tapi tak ada larangan bila suatu saat Adek kembali jatuh cinta pada Abang. Selamat bekerja abang ke ruangan Yoga dulu," ucapnya. Tangan itu menepuk pelan puncak kepalaku.

Kemudian berlalu dengan seulas senyum. Selama masih berada di lingkup Hutama, aku sadar sepenuhnya, bila aku tak mungkin bisa lepas darinya.
Tapi meninggalkan semua yang sudah kudapatkan, tak terlintas juga dalam pikiranku. Tanpa nama besar Hutama aku bukan siapa-siapa, aku pernah mengalami bagaimana kehidupan begitu tak bersahabat denganku.
Sekedar untuk membeli baju seratus ribuan saja berpikir berulang dan menunggu berbulan-bulan. Sebagai tulang pungung keluarga aku sudah cukup kenyang dengan yang namanya kesusahan.
Aku tak ingin kembali ke titik itu, kebahagian dan kenyamanan keluargaku di atas segalanya. Di atas rasa sakitku.
Bukan tanpa alasan aku bertahan, aku cukup sadar hanya dengan bertahan aku akan mendapatkan kehidupan yang layak, lebih dari layak. Serta kemapanan secara finansial untuk keluargaku.
Aku juga sangat menyagangi keluarga Hutama,Oma , Mama Lyna dan Papa. Tapi tak ada sedikitpun keinginan mengambil lebih dari yang seharusnya aku dapatkan.
Bukan memanfaatkan, aku hanya menerima kebaikan mereka, membalasnya dengan bekerja dan loyal pada perusahaan.

Menarik kursi dan memulai pekerjaanku, harus bisa memisah masalah pekerjaan dan juga masalah pribadi. Mulai menengelamkan diri dalam kesibukan.
Beberapa proyek yang jalan hampir bersamaan cukup melelahkan.
Baru sadar kalau sudah jam dua belas lebih saat terdengar ketukan di pintu dan wajah tamoan Fendi muncul dari baliknya.
Dia sudah membawa makan siang seperti biasa, entah apa yang di bawanya sekarang.

"Makan dulu yuk," ajaknya. Aku bangun dari kursiku, mendekat ke meja tempat biasa kami makan.
"Kalau aku dah nggak terlalu banyak pekerjaan, gantian aku yang kesana," ucapku padanya.
"Tak perlu, aku yang akan kesini, atau sesekali kita keluar. Tapi tak penting juga, yang penting bisa selalu berdua sama kamu, udah cukup buat aku." Fendi meraih tanganku dan mengecupnya.
"Kamu nanti malam nemenin Mas Yoga ya?" Tanya Fendi, kami masih berdiri berhadapan di depan meja.
"Iya hampir lupa," jawabku.
"Habis ini langsung pulang, atau masih lembur?"
"Lanjutin kerjaan bentar, nanggung," jawabku.
"Aku tungguin nggak apa-apa kan?, pengen ngajak jalan. Ntar malam kan kamu nggak bisa."
"Kemana?"
"Nonton?
"Belanja aja, ada beberapa yang harus ku beli,"
"Boleh."

Terdengar suara pintu terbuka, Bang Hakim muncul di sana. Pandanganya terarah padaku dan Fendi yang sudah tak berjarak lagi. Fendi sedikit memundurkan badannya

"Abang kenapa nggak ketuk pintu sih," ucapku.
"Kamu nggak pulang?" Tanyanya tanpa menjawabku.
"Adek mau keluar sama Fendi, Abang duluan aja." Aku berjalan ke mejaku mengambil kunci mobil. Dan memberikannya ke Bang Hakim. "Adek diantar Fendi nanti." Lanjutku.

Wajah itu terlihat kesal, aku abaikan. Bang Hakim pergi tanpa bicara apapun lagi.

"Abang kamu terlihat nggak suka sama aku?" Tanya Fendi ragu.

Aku hanya tersenyum tipis. Bang Hakim tak akan suka kepada siapapun yang dekat denganku.

"Yang penting aku suka kamu kan," ucapku padanya. Fendi tersenyum.

Aku memang tak yakin perasaanku penuh padanya, aku sedang belajar menerimanya. Apa salah ketika hati ini mulai membuka hati untuk cinta lainnya?, merangkai sebuah kisah baru. Masalah nanti kami berjodoh atau tidak itu sudah bukan ranahku.
Menjalani dengan tulus, tanpa modus, tanpa memanfaatkan, tak hanya sekedar menjadikannya tempat pelarian, atau agar ada kecemburuan di hati Bang Hakim. Bukan seperti itu niat awalnya.
Bila aku masih ada rasa dan tergoda pesona Bang Hakim, itu sudah di luar kuasaku, tapi aku sunguh tak menginginkannya lagi.
***

"Itu bagus juga." Tunjuk Fendi, Dia kemudian meminta pelayan itu mengambilkannya.

Seleranya terhadap fashion memang bagus. Sebuah jam tangan cantik, aku juga menyukai pilihannya. Dia mengeluarkan kartu debitnya saat di kasir. Aku sudah menolaknya.

"Sesekali saja bolehkan?, biar aku merasa benar- benar punya pacar," ucapnya. Aku hanya mengulum senyumku.

Untuk beberapa belanjaan lain, aku benar-benar menolaknya.

"Em, besok kemana?" Tanyanya saat kami bersantai di sebuah Kafe di lantai atas mall tersebut.
"Besok itu jatahnya Oma, jadi di rumah saja nemenin Oma," jawabku.

Sampai hampir jam empat, kami keluar. Jam setengah lima aku sampai di rumah. Mobil menepi di dekat pagar.

"Beneran nggak mampir?" Tanyaku.
"Pengen sih, tapi mama dah nunggu, nggak apa-apakan?" Tanyanya. Aku tersenyum, sebagai tanda bukan masalah.

Aku menghadap ke belakang meraih belanjaanku yang di jok belakang. Dia membantuku.
Tak sengaja wajah kami bersentuhan. Kenapa aku jadi bersemu, apa rasa itu mulai hadir dalam hatiku. Sejenak kami hanya saling bertatap, kucoba menghadirkan getaran yang mulai tercipta.

"Aku mencintaimu," ucapnya lirih saat melepasku. Ku kulum senyumku, bukan hangat lagi badanku terasa mulai memanas. Tak sadar barangku berjatuhan di jok belakang. Dia turun juga akhirnya.

"Ntar aku telepon ya," ucapnya saat mengantarku di depan pagar. Aku mengangguk. Masih berdiri di depan pagar, melihatnya pergi menjauh dari pandangan.

Pak Rinto membukakan pagar untukku, sebuah sapa manis dan terima kasih terucap padanya. Langkahku pelan saat memasuki rumah, kamarku di lantai atas.

"Baru pulang?"
Kutoleh asal suara, Bang Hakim berdiri di ambang pintu kamar depan kamarku.
"Iya," jawabku singkat. Kemudian mendorong pintu yang sudah tak terkunci.

Aku masuk dan meletakkan belanjaanku di atas ranjang.

"Belanja apa?" Tanyanya, dia mengikutiku masuk.
"Abang ngapain masuk?, Adek mau mandi," ucapku.
"Ya mandi aja kenapa?" Tanyanya cuek.
"Ya Abang keluar," ucapku lagi. Lah dia malah tersenyum. Pandangan nakalnya mengarah padaku. Dia berdiri dan berjalan ke arahku.

"Abang tak akan pernah lupa malam itu, terlihat sisi lain dari sosok adek dan abang suka, abang pastikan kita akan mengulanginya lagi dan lebih dari itu, adek tau itu bukan sekedar nafsu itu cinta kita yang begitu mengebu. Jangan pungkiri itu. Abang akan selesaikan urusan abang, dan kita akan bersama kembali, selamanya,"

Tanganku bertumbu di meja, getaran itu begitu hebatnya saat berdekatan dengannya. Dia selalu menang atasku. Itu kelemahanku. Aku sedang berperang dengan rasa ini, hasrat, cinta dan realita. Dadaku terasa sesak, menahan rasa ini. Kutarik nafasku pelan.
Mendorong tubuhnya yang mulai merapat menekanku. Bukan memerlukan tenaga, tapi kesadaran. Kesadaran untuk tak terbuai.

"Pesona Abang memang tiada duanya, tapi itu dulu. Karena hanya Abang di hidupku, dan Abang suamiku. Abang lupa, adek sudah punya Fendi sekarang. Kalau hanya bicara masalah hasrat bukankah setiap pria sama saja. Sekarang waktunya bicara hati. Cinta yang mengebu itu sudah padam saat talak Abang jatuhkan. Masih cinta bukan berarti ingin bersama, adek tak ingin kembali terluka," ucapku.
"Cinta juga harus tetap waras kan?, merusak rumah tangga Abang itu bukan sesuatu pilihan yang baik. Menerima Fendi yang masih lajang dan tak ada ikatan itu yang seharusnya. Adek akan menerima lamaran Fendi, umur adek sudah dua lima, sudah waktunya berkeluarga kan?"
"Abang adalah masalalu, Fendi adalah masa depan. Abang berdiri di sini seolah tak pernah berbuat kesalahan, karena Abang merasa menang atas perasaanku. Itu memang benar, tapi tak selamanya mata hati ini buta, cinta Abang pernah membuat adek gila, tapi itu semua akan segera berakhir," lanjutku.
"Tak semudah itu adek lepas dari abang, cinta abang ke adek lebih besar dari apapun. Semua cara akan abang lakukan. Abang sudah pernah gila selepas adek pergi, abang sadar abang tak bisa hidup tanpa adek," ucapnya. Tubuh Bang Hakim kembali merapat dan menekanku.

Aku tersenyum sinis. Diri ini tak bisa lagi mengartikan rasanya padaku, obsesi, nafsu atau cinta, semua terlihat sama.

"Selamat berusaha, sekarang abang keluar. Sedikit saja abang kurang ajar, abang tak akan melihatku di sini lagi. Adek tak segan meninggalkan semuanya, semuanya," ucapku padanya.

Bang Hakim memundurkan tubuhnya. Kedatangannya yang mendadak membuatku tak memiliki persiapan rencana apapun. Begitupun perasaanku, yang masih terus terombang-ambing. Jujur aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Sebentar bisa sangat rindu, sebentar lagi bisa sangat kecewa, sebentar kemudian senang di dekatnya, sebentar kemudian kesal dan sebal.
Tanganku mendorong tubuh kekar itu keluar, dan kemudian mengunci pintuku.
Rinda apa yang kamu inginkan? Aku benar-benar tak tau. Hubunganku dengan Fendi masih terlalu singkat untuk dapat mengeser Bang Hakim dari dalam hatiku.
***

Acara yang melelahkan, penuh basa-basi. Aku lebih banyak memilih diam, bahasan mereka masih belum bisa ku jangkau.

"Adek cantik sekali malam ini," ucap Bang Hakim saat aku mengambil minuman, dia sudah berdiri di sampingku.

Yah dia tak membiarkanku pergi sendiri dengan Pak Yoga, akhirnya kami pergi bertiga. Pak Yoga memperkenalkan kami sebagai keluarga Hutama.

Jam setengah sebelas kami keluar dari tempat acara. Kehadiranku dengan Bang Hakim sebagai keluarga Hutama cukup menyita perhatian, terutama Bang Hakim, yang memang awalnya tak tertarik terjun ke dunia bisnis.

"Abang mau pegang Hutamaland, tapi dengan syarat," ucapnya saat kami perjalanan pulang. "Adek pindah juga, ikut abang." Lanjutnya.
"Ogah," jawabku malas.
"Ya udah, kalau gitu Fendi yang akan pindah ke Hutamaland," ucapnya lagi. Aku menoleh ke arahnya, ada senyum yang terlihat saat wajahnya tersiram cahaya lampu jalan.

Dia sengaja membuat jarak pada hubunganku dan Fendi.

"Laki-laki itu harus gantle, itu namanya curang. Mentang-mentang punya kuasa, mengatur hubungan orang seenaknya," balasku.

Bang Hakim hanya tertama. Sepertinya benar, cinta membuatnya tidak waras.

"Semuanya sah di lakukan. Aku masih berbaik kan hanya memindahkan tak mendepaknya keluar,"

Aku kembali menoleh ke arahnya. Dia membalas menolehku. Sampai di rumah, aku hanya diam. Malas sekali rasanya, dia menjadi sosok yang menyebalkan dengan ke egoisannya.
***

"Mah, Rinda boleh pindah dari sini? Tanyaku pelan, aku dan Mama menemani Oma olahraga pagi.
"Karena Hakim ya? Dia menganggumu?" Tanya mama. Aku mengangguk.
"Ada apartemen di HCL, kamu bisa pakai. Kalau merasa tak nyaman di sini. Mama paham perasaan kamu," ucap mama.
"Rinda mau cari tempat sendiri Mah, tak mau terus-terusan bergantung, Rinda ingin mandiri," ucapku.

Mama tersenyum melihatku.

"Mama hanya melakukannya untuk anak mama, kamu sudah mama anggap sebagai putri kami sendiri. Sudahlah jangan mendebat mama, atau mama tak ijinkan kamu pindah," ucap mama.

Oma terlihat berjalan pelan bersama Bang Hakim menuju ke arahku dan mama. Kemajuan kesehatan Oma cukup pesat. Jadi ingat Dokter Pras, apa kabarnya sekarang.

==========


*Siksa Sebuah Rasa*

LinDa Vin

"Sekarang pindahnya?" Tanya mama padaku. Aku mengangguk. " Mama minta, Cici menyiapkannya dulu, sore bisa kita kesana."
"Em, jangan kasih tau Abang ya mah," pintaku. Mama Lyna tertawa.
"Mama nggak kasih taupun dia pasti akan tau," jawab mama.
"Jadi percuma ya ma, sama aja," timbangku.
"Ya begitulah, bahkan kamu keluar kotapun atau kemanapun dia akan mencarimu," ucap mama lagi.
"Terus Rinda harus bagaimana?"
"Apa kalau Hakim lepas dari Riana, kamu mau menerimanya kembali?" Tanya Mama Lyna.

Sejenak aku terdiam.

"Rinda sudah membuka hati untuk Fendi mah," jawabku.
"Fendi, Fendi adik Alexa?" Tanya Mama Lyna. Aku mengangguk.
"Kamu mencintanya?"

Aku terdiam. Mengangguk pelan kemudian.

"Walau belum sebesar seperti ke Bang Hakim tapi Rinda mulai menerima kehadiran Fendi."
"Setau mama Fendi anak yang baik, papanya juga berteman baik dengan papa kamu, kalau kamu serius ya, lebih baik segera minta di lamar, biar Hakim juga bisa segera menentukan arah mau kemana, tapi sepertinya dia tak akan kembali ke Riana,"
"Bukanya Abang dan Riana saling cinta?"
"Riana terluka mengetahui hubungan kalian, dia membalas perlakuan hakim, berhubungan dengan pria lain," cerita mama. Aku sedikit terkejut mendengarnya.
"Bang Hakim yang cerita?" Tanyaku, mama mengeleng.
"Astuti yang cerita ke mama, Hakim tak menceritakaan apapun pada mama. Ya mama tak menanyakannya juga, dia sedang mengurus perceraiannya sekarang,"
"Bang Hakim terlihat biasa saja,"
"Ya, mungkin dia merasa ini kesempatan untuk lepas dari Riana, sebelumnya Riana mau bercerai, asal rumah jatuh ke tangannya dan persyaratan lainnya," jelas Mama Lyna.

Aku terdiam mendengar penjelasan mama. Mungkin itu alasan Bang Hakim pulang kesini. Berarti mereka akan berpisah? Bukankah ini kesempatan kami untuk dapat bersama. Tapi ucapan Bang Hakim saat menalakku dan mengusirku masih jelas membekas dalam hati dan benakku. Rasa cintaku sama besarnya dengan rasa sakit yang kurasa. Aku belum bisa menerimanya.

"Ma, Rinda ke kamar dulu. Mau menyiapkan apa saja yang Rinda bawa nanti," pamitku ke Mama, wanita cantik itu mengangguk pelan.

Kumelangkah pelan keluar dari kamar mama, memikirkan apa dengan pindah bisa menjauhi Bang Hakim, tapi setidaknya kami mengurangi frekuensi bertemu kalau beda rumah.

"Abang cari dari tadi, dari kamar mama kah?"
Tak tau muncul dari mana, atau aku saja yang berjalan sambil melamun hingga tak sadar ada Bang Hakim.
"Ngapain cari adek?" tanyaku malas.
"Kangen," jawabnya dengan senyum terkembang. Kutangapi dingin, kemudian melanjutkan langkahku.
"Abang butuh baju buat ngantor, Adek anterin belanja ya," pintanya, menjajarkan langkah dan merangkulkan tangannya.

Ku geliatkan badanku untuk melepasnya, dia merangkulku erat.

"Lepasin!, nggak usah pegang-pegang kenapa?" sungutku, dia malah tertawa.
"Adek kalau lagi marah, kalau lagi sebel gitu terlihat tambah cantik. Abang jadi gemas," ucapanya, tanganya melepas rangkulan pindah menguyel pipiku.

Ya Tuhan, kenapa dia menyebalkan sekali. Kenapa sulit sekali membencinya, tapi aku juga belum bisa memaafkan Bang Hakim sepenuhnya. Tegaspun tak bisa, aku sendiri tak mengerti apa mauku.
Kukibaskan tangannya, dan berjalan cepat ke kamarku. Dia terus mengikutiku.

"Ngapain sih ngikutin adek?"
"Kamar abang kan di atas juga, abang mau kekamar," jawabnya.

Pindah memang merupakan pilihan tepat, bisa gila lama-lama dibuatnya.
Kuhela nafasku kesal, lagi-lagi dia malah tertawa melihatku. Kulanjutkan langkahku, dia juga ikut melangkah. Tanganya membuka membuka pintu kamarku.

"Silahkan masuk tuan putri," guraunya.
"Nggak lucu," ucapku ketus.
"Abang memang bukan pelawak, abang hanya seorang pecinta, yang menunggu luluhnya hati seorang gadis yang pernah abang buat luka hatinya."

Aku terdiam, tetaplah sadar Rinda. Jangan biarkan hasrat dan rasa cintamu membuat hilang harga dirimu. Apakah aku masih punya harga diri? Sepertinya tidak. Pria di dekatmu ini telah menginjak dan mengoyaknya.

"Abang tau, sampai kapanpun adek tak akan lupa, Abang pernah mengusir adek, menalak adek demi Riana. Padahal baru saja waktu itu Abang mengatakan hanya mencintaiku, dan adek percaya. Tapi apa balasannya? Abang mengusirku, menginjak dan mengoyak hati dan harga diriku. Sekarang begitu mudah abang memintaku kembali, seolah sakit itu tak berarti." Air mataku tak tertahan lagi.
"Kalau Abang benar sayang, lepaskan adek biarkan adek bahagia tanpa bayang sebuah luka. Adek mohon." ucapku padanya. Kutangkupkan kedua tanganku. Memohon padanya.

Bang Hakim bergeming, tak mengatakan apapun.

"Adek ingin benar-benar lepas dari abang?" tanyanya. Aku mengangguk, Bang Hakim memangutkan kepalanya.
"Maafkan abang yang tak tau diri ini. Abang hanya tak tau cara untuk membuat adek percaya kalau abang sayang dan benar-benar cinta. Kalau dengan abang mundur, adek bisa bahagia, abang akan melakukannya, abang berusaha tak akan menganggu adek lagi," ucap Bang Hakim.

Tanganya mengusap puncak kepalaku dan kemudian mengecupnya. Dia beranjak tak kekamarnya, tapi kembali turun. Aku menutup pintu kamarku.
Kisah cinta apa ini, sungguh sangat menyesakkan hati. Ketika benci dan cinta sama besarnya, membuat aku bergeming tak tau harus bagaimana.
Kembali dengannya aku belum bisa, tapi menjalani hubungan tanpa rasa dengan Fendi, itu juga cukup menyiksa. Fendi, dia terlalu baik untuk menerima luka, aku tak ingin menyakitinya.
***

"Kenapa tak bilang kalau sudah pindah," ucap Fendi. Ini kali pertama dia ke apartemenku setelah hampir dua minggu aku pindah.
"Sengaja, kamu pasti tak akan pernah absen mengunjungiku bila tau," jawabku. Fendi tertawa mendengarku.
"Pasti itu," jawabnya.
"Kopi?" tawarku.
"Boleh," jawabnya.

Dia mulai berkeliling melihat seisi ruang apartemen. Sebuah sofa menghadap ke dinding kaca, bila tirai di buka akan terlihat pemandangan dari ketinggian. Aku letakkan kopi di meja dan duduk di sofa, Fendi duduk di sampingku setelah menilik setiap sudut ruangan.
Jemarinya menelusup diantar jemariku, kemudian mengengamnya erat. Aku paksakan rasaku, walau tipis aku mulai merasakan ada getaran di hatiku.

"Kamu tau, sejak pertama melihatmu waktu itu, hatiku berkata, kamu adalah sosok yang selama ini aku cari, gambaran gadis impanku semuanya ada di dirimu," ucap Fendi lirih, di kecupnya jemariku.
"Gombal," ucapku dengan mengulum senyumku. Fendi tertawa mendengarku.
"Itu bukan gombalan sayang, itu ungkapan perasaanku, lihat di mataku, apa itu seperti bualan saja?" tanganya menangkup wajahku, hingga tatapan kami bertemu.
Tak ada keraguan atasnya, tak sedikitpun. Mata itu berbinar penuh cinta, terlihat jelas di sana.

"Aku mencintaimu, dengan segenap hati dan jiwaku," ucapnya lagi.

Bibirku tersenyum memindai wajah tampannya, kujuga merasakan ketulusan di setiap ucapannya.
Lengkung bulan sabit di wajah itu menautku lembut, rasanya tidak sama. Samar sekali kurasa seperti sebelumnya. Sangat berbeda, tapi kutetap berusaha menumbuhkan rasa.

"Kapan aku bisa melamarmu?" tanya Fendi sesaat setelah melepasku.
"Secepatnya, lebih cepat lebih baik," jawabku. Fendi kembali tersenyum.
"Aku ingin mengajakmu kerumah, Mama ingin ketemu sama calon mantu," ucap Fendi kemudian.
"Mamamu?" tanyaku dengan suara lirih, Fendi mengangguk. Akupun mengangguk kemudian.
"Dah malam, waktu berkunjung telah habis," ucapku kemudian. Sudah jam sembilan lebih.
"Perasaan aku baru saja duduk, kenapa waktu begitu cepat berjalan saat aku bersamamu," keluh Fendi, terlihat dia malas beranjak. Aku hanya tersenyum.

Kuberdiri menarik tangannya agar dia ikut bangun, yang ada Fendi menarikku hingga kuhilang keseimbangan dan menimpanya.
Bibir itu tersenyum mengodaku, wajahnya tepat di depan mukaku.

"Aku ingin pulang, kenapa kamu menahanku," guraunya kemudian. Matanya sedikit sayup walau bibirnya tersenyum.

Kupindai wajah sempurna di bawahku itu, tak ada yang kurang padanya. Kenapa tak bisa juga mengetarkan hatiku. Semua masih tetap hambar. Ingin kunikmati semua, tapi rasa itu masih tipis sekali.
Tanganku bertumpu pada pungung sofa dan bangun. Fendi masih bergeming menikmati sisa rasa atas yang baru saja terjadi.

"Oh ya, dua minggu ke depan aku ada pameran diluar kota," ucapnya.
Aku baru ingat, perusahaan ikut serta dalam sebuah pameran pembangunan yang cukup besar di kota A.

"Aku pasti akan merindukanmu," ucapku." Semoga sukses, banyak penjualan di sana."
"Aku yang pasti akan rindu."
"Seingatku satu bulan,"
" Iya, tapi mana kuat aku tak bertemu sebulan denganmu. Minggu ke dua aku pulang baru kesana lagi," ucapnya.

Aku tersemyum, dia selalu manis. Sebuah kecupan kembali dia berikan sebelum dia benar-benar beranjak keluar.
Kuhempaskan tubuhku di kasur, memikirkan kembali yang terjadi. Sudah benarkah keputusan yang kuambil. Kenapa aku masih merasa hampa.
***

Ketiadaan Fendi di hariku seperti biasa tak terlalu membuatku beda, semua berjalan biasa, aku berharap akan ada rindu di hatiku, tapi mengapa tak hadir juga. Kata-kata rindu dan ucapan manisku tak lebih dari kebohongan belaka, aku sudah memaksa diriku tapi kenapa begitu sulitnya hati ini terbuka.
Justru rasa rinduku semakin mengebu pada seseorang yang sedang belajar melupakanku. Dan yang sedang ingin kulupakan. Hampir sebulan kami tak bertemu baik langsung ataupun hanya suara. Tiap akhir pekan saat ku menemui Oma dan Mama dia sengaja menghindariku.
Kenapa justru aku yang merasa sakit dan tersiksa. Bukankah aku yang ingin dia pergi, melepasku dan tak mengangguku lagi. Apa yang sebenarnya aku cari? apa yang sebenarnya aku mau?

Sebuah pesta di gelar untuk ulang tahun pernikahan mama dan papa yang ke tiga puluh lima tahun. Acara di gelar di sebuah hotel berbintang, aku datang sendiri, Fendi masih di luar kota.
Bang Hakim sudah terlebih dahulu berangkat, saat aku kerumah. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya.

"Mama cantik sekali, Papa juga terlihat seperti masih tiga puluhan," pujiku pada kedua orang tua angkatku itu. Mereka tertawa mendengarku. Oma juga terlihat begitu cantik lebih dari biasanya.
"Tante cantik sekali, mau kemana te," godaku ke Oma, wanita yang berusia hampir tujuh puluh tahun itupun tertawa.

Bahagia sekali melihat mereka, kami berangkat bersama menuju hotel.
Banyak sekali undangan datang mulai dari keluarga, teman, kolega dan rekan bisnis. Semua tampak sempurna. Warna putih mendominasi acara.

"Bu Alexa," sapaku saat wanita cantik itu menghampiriku. Dia datang dengan seorang wanita cantik juga sedikit lebih tua.
"Kenapa memanggilku Ibu, bukankan sebentar lagi aku menjadi kakak iparmu," ucapnya to the point. Wanita di sampingnya tersenyum padaku.
"Ini mama, hemm Fendi belum sempat membawamu kerumah ya," ucap Kak Alexa.
Wanita itu tersenyum padaku, tangannya terulur, kucium pungung tanganya. Dia kemudian memeluk dan menciumku.

"Rinda kira, kakak Mas Fendi yang paling tua," ucapku. Wanita itu tertawa.
"Bisa aja, mama tak terlihat semuda itu," ucapnya.

Seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah datang bergabung dalam obrolan kami. Dia ayah Fendi, sekarang tau darimana wajah tampan itu berasal. Perpaduan wajah kedua orang tua pastinya.
Acara potong kue segera di mulai, aku merapat ke mama dan papa, sudah ada oma dan Bang Hakim. Melihatnya setelah sekian lama entahlah kenapa aku merasa bahagia.

"Adek apa kabar?" sapanya padaku saat aku berada di sampingnya.
"Adek baik," jawabku tanpa melihatnya.

Serindu apapun, aku tak ingin dia tau. Biarlah kunikmati rasa ini dengan caraku sendiri. Tapi dekat denganya seperti ini tak bisa kutampik getaran yang tercipta. Ini menyiksa sangat menyiksa.

Selepas acara inti semua berpesta, Bang Hakim kembali menjauhiku, apalagi setelah jawaban datar atas beberapa pertanyaannya tadi padaku. Dia terlihat bergabung dengan tamu lainnya. Tapi mataku terus terpaku pada seorang wanita yang selalu mendekat dan terlihat perhatian sekali pada Bang Hakim.
Ada yang terasa panas tiba-tiba, sesak juga. Di sini, di dalam dada ini. Apa aku cemburu, sepertinya. Aku tak suka wanita itu berada di sana.

Aku kembali mengobrol dengan Mama Fendi di temani Mama Lyna dan Oma. Mereka membicarankan hubunganku dengan Fendi. Aku menangapinya dengan sesekali tersenyum, fokusku bukan pada obrolan ini, tapi pada pria yang tengah asyik berbicara di sudut lainnya. Pria yang sudah mengacaukan hidupku dengan cinta dan lukanya.

Jam sebelas malam acara usai, kali ini kami pulang bersama. Aku duduk di kursi belakang bersama Bang Hakim. Tak ada pembicaraan kami hanya saling diam. Walau rasa dalam dadaku bergejolak setiap aku dekat dengannya.

"Fendi akan segera melamarmu, kamu sudah memberi kabar ke mamamu?" tanya Mama Lyna yang duduk di depanku.

Reflek kulihat Bang Hakim yang sepertinya kaget mendengar ucapan Mama Lyna.

"Belum Ma, tapi sudah tau kalau Fendi serius dengan dengan Rinda," jawabku.
"Mereka berharap kalian secepatnya meresmikan hubungan kalian," lanjut Mama Lyna lagi. Kembali kulirik pria di sebelahku, yang ternyata melihat ke arahku juga.

"Iya ma, Rinda juga berharap demikian," jawabku.
"Tadi perempuan yang nempel terus ke Hakim  siapa?" celetuk Oma tiba-tiba.
"Cindy Ma, asisten Hakim," jawab Papa.
"Oh, pantas mempel terus," ucap Oma.

Kembali ku toleh pria di sampingku, dengan tatapan berbeda, tak dapat kutahan rasaku, bibirku sudah manyun tanda aku juga tak suka, cemburu lebih tepatnya.
Pembicaraan selanjutnya aku sudah tak fokus, aku asyik sendiri dengam pikiran dan anganku sendiri. Hingga tak sadar ku terlelap.
Terasa tepukan pelan di pipiku.

"Adek bangun, sudah sampai," sayup kudengar suara Bang Hakim, pelan ku buka mataku. Segera bangkit saat sadar tubuh ini mrnyandar padanya. Yang lain sudah terlihat turun termasuk sopir Mang Adnan. Ku usap wajahku sendiri.

Segera ku turun dan melangkah cepat. Tapi percuma Bang Hakim dengan cepat menjajarkan langkahnya denganku.

"Abang tak ada hububgan apa-apa dengan Cindy, hanya sebatas pekerjaan tak lebih," jelasnya.
Bang Hakim berdiri di depan pintu kamarku.
Ada rasa lega dalam hatiku, walau berusaha ku tutupi.

"Adek nggak perduli, buka urusan adek lagi," ucapku , kemudian mendorong pintu kamarku, masuk melewatnya.

Tanganya menahan tanganku.

"Apa lagi sih Bang, adek capek ngantuk," ucapku mengibas tangannya.
"Tas adek," jawabnya. Dia menyodorkan tasku yang sedari tadi dibawanya.

Aku meraihnya kasar. Dan berjalan menuju ranjang tanpa melihatnya. Terdengar suara pintu tertutup, kutoleh dia sudah pergi.
Mataku tak bisa kupejamkan. Pikiranku kacau, aku seolah tak mengenali diriku sendiri. Aku bisa berbohong pada semua, tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, hatiku sendiri. Aku masih sangat mencintainya. Getaran rasa itu makin nyata, ini menyiksa.
Langkah membawaku keluar kamar menuju balkon. Meringkuk di sudut sofa, melepas pandangan jauh. Langit terlihat sedikit mendung, selaras dengan suasana hatiku saat ini. Dinginnya angin malam tak mampu di redam kain pantai yang kuselimutkan. Namun tak terlalu kurasakan.

"Katanya ngantuk kok malah ngelamun disini?" Tak kutoleh asal suara, karena sudah tau milik siapa.

Bang Hakim berjalan ke arahku, duduk di sampingku. Mata masih menatap jauh lepas, walau hati menikmati hadirnya.

"Abang sudah bercerai dengan Riana," ucapnya kemudian, tak membuatku terkejut karena Mama Lyna sudah memberi tahuku.
"Adek serius dengan Fendi?" tanyanya kemudian. Aku masih bergeming, tak mrngeluarkan sepatah kata pun juga.
"Apa abang benar-benar telah kehilangan kesempatan? rasa ini menyiksa, tapi abang sudah berjanji tak akan menganggu adek lagi. Abang hanya ingin adek bahagia," ucapnya lirih.
"Abang merasa Adek masih mencintai abang, semoga rasa itu tak salah. Belum terlambatkan untuk kita, untuk rasa kita, untuk cinta kita, untuk kisah kita," lanjutnya.

Aku masih terdiam, tapi mataku sudah menatapnya lekat. Pandangan kami beradu saat dia melihat ke arahku. Aku rindu, aku sunguh merindu, ingin berada dalam hangat dekapnya. Mengecup manis bibirnya, ah aku sudah gila sepertinya.
Sebelum datang khilafku, sebelum hilang kesadaranku, aku bangun dari dudukku. Bang Hakim menahanku.

"Tolong katakan sesuatu, jangan kau gantung rasaku seperti ini. Katakan iya dan kita akan mulai lagi kisah kita, melepas segala kenangan buruk masa lalu, abang akan merujukmu, kita bisa kembali bersama seperti yang orang tua kita harapkan," ucap Bang Hakim lagi.

Aku hanya menatapanya, tak mampu mengatakan apapun. Matanya menatapku tajam seolah ingin menembus sampai relung hatiku terdalam.
Rasaku sudah tak bisa kubendung, hasrat tak bisa kukendalikan, aku kalah untuk kesekian kalinya. Rasa ini terlalu besar padanya. Tak mampu ku tolak pautan hangatnya, walau dengan uraian air mata. Aku menikmati setiap sentuhannya, aku mengilai semua hal yang melekat padanya.

"Aku mencintaimu, melihatmu bersamanya aku hancur, sangat hancur," ucapnya, butiran hangat pecah di pipinya. Kami sama-sama tersiksa dengan rasa ini.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER