~Maafkan~
Aku melepasnya, beranjak tanpa kata dan kembali kekamarku. Rasa cinta ini masih begitu besar padanya, tapi rasa sakitnya tak mau hilang juga. Bayangan saat Bang Hakim menalak dan mengusirku terus berputar dalam benakku.
Tak perduli dia dalam tekanan atau kepanikan seperti alasan yang di sampaikan. Toh intinya dia lebih memilih aku yang terluka daripada Riana. Aku juga tak perduli akan perasaannya kepada Riana sekarang.
Sebuah pesan masuk jam tiga pagi, dari Fendi. Dia dalam perjalan pulang. Memintaku menunggunya dan mengatakan semua kata rindunya.
Ya Tuhan, aku begitu bersalah pada pria baik ini. Bagaimana aku bisa begitu tega mengabaikan rasanya. Mempermainkan cintanya.
Dia begitu sempurna, kenapa aku tak berusaha lebih keras untuk mencintai dan menerimanya. Bersamanya tak akan ada bayangan masa lalu yang menyakitkan, bersamanya tak perlu ada perih untuk diingat. Bersama Bang Hakim, akan terus terbayang luka yang pernah dia sayatkan.
Haruskah rasa cinta membunuh akal?
"Hallo assalamualaikum," salamku, kuatur rasaku.
"Waalaikumsalam, sayang kamu nggak tidur?" Suara Fendi terdengar sedikit parau.
"Kebangun, sudah sampai dimana?" tanyaku lagi.
Fendi menyebutkan sebuah nama kota, kira-kira aatu jam perjalanan dari kota ini.
"Sayang hati-hati," ucapku padanya.
"Iya, besok pagi aku jemput ya, mau kenalin sama mama," ucapnya lagi.
"Iya, aku dirumah Mama Lyna, jemput ke sini ya sekalian ketemu oma, mama sama papa," lanjutku.
"Siap, makasih, i love you,"
"Miss you too," balasku.
Sudah yakinkah diriku dengan keputusanku? Harus.
***
"Kamu cantik sekali," bisik Fendi saat didekatku. Aku sengaja menunggunya di halaman depan. Walau dia terlihat sudah segar, tapi mata lelahnya tak bisa di sembuyikan.
Semua sedang berada di ruang tengah, termasuk Bang Hakim. Fendi menyapa semua ramah dan juga mengucapkan selamat untuk mama dan papa. Sebuah pelukan juga oma berikan. Setelah saling bertukar kabar dan sesaat terlibat dalam sebuah obrolan, Fendi pamit dan ijin membawaku. Sama sekali tak kulihat wajah Bang Hakim, karena ku yakin akan menggangu emosiku.
"Aku rindu," ucapnya sesaat setelah mobil melaju meninggalkan halaman rumah.
Aku hanya mengulum senyumku. Rasa bersalah padanya masih sesak mendekapku. Jemarinya menaut jemariku, mengengamnya erat. Sesekali dia mengecup pungung tanganku. Ku sedikit melirik kearah pria yang duduk disampingku, mungkin dia jawaban atas doaku. Yang menginginkan seorang pria baik dan menyayangiku tulus yang menjadi jodohku.
Mobil masuk area perumahan mewah dan berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Tak ada pagar disetiap rumah, halaman langsung menghadap ke jalan.
"Ngapain liatnya kayak gitu," ucapku, saat Fendi tak melepas tatapannya dariku. Senyum manis terbit di bibir itu.
"Aku bilang kan tadi, aku rindu. Kamu belum menjawabku," ucapnya.
"Harus di ucapkan gitu?" tanyaku.
"Tidak harus dengan kata, dengan ciuman sayang juga boleh," ucapnya terkekeh. Tanganku mencubit perut pria itu.
Fendi membantu membuka sabuk pengamanku. Sepintas wajah itu sengaja menyentuhku. Senyum nakalnya mengoda.
Sambutan manis dan hangat aku terima dari orang tua Fendi. Baru semalam kami bertemu di acara anniversary mama dan papa. Obrolan mengalir begitu saja, dari pertemuan semalam aku sudah bisa menyimpulkan mereka orang tua yang menyenangkan.
"Orang tua kamu tinggal dimana?" tanya mama kemudian.
Aku menceritakan tentang keluargaku, tak banyak hanya seperlunya saja. Orang tua Fendi mengangguk pelan, mendengar ceritaku.
"Kami ada acara diluar, kami tinggal nggak apa-apa kan?"
"Iya, Tante nggak apa-apa," jawabku.
Fendi mengajakku ke atas selepas kedua orang tuanya pergi. Sebuah ruang santai di dekat balkon.
"Mau lihat film?" tanyanya saat kami sudah sama-sama duduk di sebuah karpet busa.
"Kamu kelatan ngantuk sekali," ucapku Melihat mata redup itu.
Dia mengelengkankan kepalanya. Tanganya memencet remot, dan memilihkan chanen drama.
Fendi merebahkan badannya, kepalanya dia letakkan di pangkuanku. Dia bilang tidak capek, tapi raganya tak bisa berbohong. Tanganku mengusap rambut itu pelan, dia tidur di pangkuanku.
Kutatap lekat wajah yang sedang terlelap itu, kucari masa depanku di sana. Memulai kisah bersamanya aku harus bisa. Tak ada kekurangan pada dirinya, baik paras ataupun sifatnya. Lalu untuk apa aku harus mempertahankan cinta pria yang pernah menyakitiku.
Getaran itu memang belum kumiliki, bukam berarti tak bisa mencintainya, hanya perlu waktu dan usaha yang lebih keras lagi. Ayolah Rinda kamu pasti bisa, cinta Fendi tal akan menyakitimu. Sangat berbeda dengan cinta Bang Hakim, cintanya memang terasa mengebu dan menderu, tapi luka itu akan selalu membayangimu.
"Sayang, ambil boneka hati di dekatmu," ucap Fandi masih dengan mata tertutup.
"Kamu nggak tidur," tanyaku, bibir itu tersenyum.
"Ayo ambil," pintanya, aku meraih dengan tangan kananku.
"Kamu buka," pintanya lagi, apa yang dibuka, kulihat dengan seksama, ada sebuah resleting disana. " Masukkan tanganmu,"
Kumasukkan tanganku setelah membuka resleting itu. Tanganku menemukan sesuatu, aku menariknya sebuah cincin yang indah.
"Will you merry me?" tanyanya, matanya terbuka menatapku.
"Kamu melamarku?" tanyaku sambil memilin cincin yang kupegang.
"Aku ingin menikahimu," jawab Fendi, matanya masih lekat menatapku.
Sejenak aku terdiam, Fendi serius dengan semua kata-katanya.
"Katakan sesuatu,"
"Iya," jawabku lirih.
Senyun di bibir itu merekah dengan sempurna.
"Aku tak mendengarnya," godanya padaku, bangun dari pangkuanku. Wajah itu tepat di depanku.
"Iya, aku mau," ulangku lagi.
Mata itu berbinar indah menatapku, senyum terkulum manis.
Fendi mengambil cincin di tanganku dan menyematkan di jariku lalu di kecupnya.
"Aku mencintaimu," ucapnya kemudian. Aku tau itu, tanpa dia mengatakan sekalipun.
Ada pertautan hangat dua hati, dua jiwa, dua rasa, menjadi satu, saat sapa hangatnya menyentuhku. Akan kumulai kisah baru bersamanya, meyakinkan hatiku bahwa ku juga menginginkannya.
***
Tak ada kendala dalam rencana kami, semua kusampaikan kekeluargaku dan keluarga angkatku. Aku tau bukan ini yang mereka inginkan apalagi status Bang Hakim sudah sendiri. Aku menyayanginya tapi aku tak bisa menerimanya kembali. Kenangan itu terlalu menyakitkan untukku.
Aku baru saja membuka laptopku, selepas Fendi pulang. Aku harus mengusirnya atau dia tak mau beranjak. Selalu seperti itu. Bulan depan lamaran kekeluargaku di gelar, dan dua bulan lagi rencana pernikahanku. Keluarga Fendi tak mau acara sederhana, mereka ingin mengadakan pesta.
Suara bel di apartemenku berbunyi, siapa yang datang jam segini. Memang belum terlalu malam. Baru jam setengah sembilan, tapi aku banyak pekerjaan. Apa Fendi ada yang ketinggalan. Kumelangkah cepat ke arah pintu.
"Abang." Sedikit kaget, dia datang. Karena beberapa waktu setelah dia mendengar rencanaku, dia menjauhiku kembali.
Bang Hakim mendorongku, masuk tanpa aku persilahkan. Dapat kulihat sekali wajah kacaunya. Dia hempaskan diri di sofa dan terdiam di sana.
"Kenapa adek tak bunuh abang saja," ucapnya tiba-tiba.
"Abang bicara apa?" Aku sedikit mendekat ke arahnya.
"Kita masih bisa memperbaiki semuanya, kenapa adek tak memberi abang kesempatan," ucapnya padaku.
"Maafkan adek, tapi kita sudah berakhir. Adek tak bisa hidup dengan dibayangi rasa sakit dan luka. Abang terlalu dalam menancapkan luka itu, adek tak bisa menerimanya, maafkan adek," jelasku padanya.
"Adek mencintai abang kan, abang juga memcintai adek. Kita saling mencintai, abang mencoba menerima keputusan adek, tapi abang tak bisa,"
"Itu sudah keputusan adek Bang, dan tak akan berubah. Abang silahkan pergi sekarang, adek banyak pekerjaan," ucapku.
Bang Hakim beranjak mendekat, berhenti di hadapanku. Dapat kulihat jelas semua ini melukainya.
"Satu kesempatan, kita bisa pergi jauh dari sini. Hanya kita berdua, kita akan memulai kisah keluarga kecil kita, seperti yang pernah kita impikan, abang, adek dan anak kita, adek mau kan," pintanya.
Aku mengelengkan kepalaku pelan. Mata itu memerah. Membuang pandangan ke lantai.
Tangan itu meraihku, aku menepisnya pelan. Aku sudah berjanji pada hatiku sendiri, tak akan mengkianati pria sebaik Fendi.
"Maafkan adek," ucapku padanya.
Bang Hakim hanya diam,langkahnya gontai menuju pintu. Menariknya berlahan dan menutupnya pelan.
Jangan dikira aku tega melihat kondisinya sekarang, aku sakit melihatnya. Tapi rasa kecewaku padanya terlalu besar. Melepasnya adalah pilihan terbaik. Memulai kehidupan baru tanpa bayang sebuah luka.
==========
Bukan hal yang mudah menepikan rasa ini, aku sendiri juga tak tau kenapa begitu mencintainya. Tapi sekarang sungguh aku ingin memulai kisah baru, tanpa bayangan kelam di masa laluku.
Kedatangan Bang Hakim membuat kosentrasiku berantakan. Sedari tadi hanya menatapi laptopku tanpa menjamah berkas apapun. Kumemilih tidur dahulu, mungkin tengah malam nanti fokusku sudah kembali.
Terlihat ponselku berkedip, kuambil dari atas nakas. Fendi yang mengirim pesan, mengucapkan selamat malam. Dan juga sebuah pesan cinta. Aku tersenyum, apa salahnya aku membuka hatiku. Dia benar-benar mencintaiku. Sebuah balasan manis aku kirim padanya.
***
"Rinda, laporan keuangan proyek untuk tiga bulan terakhir bawa keruanganku ya," pinta Pak Yoga.
"Baik pak, Rinda siapkan ," jawabku.
Kuberanjak mencari file laporan yang sudah kususun rapi di rak. Mengambil laporan tiga bulan terakhir seperti yang di minta Pak Yoga.
Asisten Pak Yoga memintaku untuk langsung masuk karena sudah di tunggu. Kudorong pelan pintu barcat putih itu.
"Hai Rin," sapanya saat melihatku muncul dari balik pintu.
"Siang Pak," sapaku kemudian. "Ini data yang Bapak minta," ucapku kemudian.
Kuletakkan laporan itu di atas meja, Pak Yoga mengisyaratkan untuk aku duduk.
"Untuk laporan pertangung jawaban dari bagian lainnya sudah semua?" tanya kemudian.
"Ada yang belum pak, janji dua hari ini akan di setorkan pada saya," jawabku kemudian.
Pembicaraan masih berlanjut seputar laporan dan pekerjaan. Sampai terdengar pintu terbuka. Spontan akupun ikut menoleh. Fandi muncul dengan senyum khasnya. Beberapa odner nampak di tangannya. Dia langsung berjalan ke meja. Meletakkan laporan di atasnya.
Pak Yoga menarik odner-odner itu, Fandi menoleh ke arahku, senyum dan tatapan itu mengodaku.
"Biaya untuk pameran bulan kemarin, sudah ada laporan pertangung jawabannya" tanya Pak Yoga ke Fandi.
"Sebentar lagi selesai Pak, nanti saya serahkan ke bagian keuangan."
Pak Yoga pun, mengisyaratkan Fandi untuk duduk. Bukannya berkosentrasi pada pertanyaan Pak Yoga, Fandi memilih memainkan jemariku. Kucubit pelan paha calon imamku itu.
***
Oma menelpon memintaku pulang kerumah, sepertinya sedang kurang enak badan. Selepas dari kantor aku langsung pulang ke rumah. Hanya ada Oma, yang lainnya belum ada yang pulang dari kantor. Mama pun masih di klinik.
"Rinda buatin wedang secangnya dulu oma, biar anget badannya," ucapku saat di kamarnya, oma mengangguk pelan. Sepertinya memang oma sedang kurang sehat.
Aku kembali dengan gelas berisi minuman kesukaan oma tersebut. Aku meletakkan di atas nakas, karena masih panas. Kupijit pelan kaki oma, karena kesibukan aku jarang melakukanya.
"Kamu sudah mantap dengan pilihanmu?" tanya Oma kemudian.
Sekilas aku menatap wajah teduh itu. Kemudian mengangguk pelan. Ada raut kecewa kubaca.
Tarikan nafasnya terdengar dalam.
"Walaupun Hakim pantas mendapatkan hal ini, tapi sebagai omanya, sungguh tak bisa melihat cucu kesayangan oma terpuruk seperti sekarang. Hakim sangat mencintaimu, mungkin terlambat dia sadari. Tapi cintanya padamu sangatlah besar," ucap Oma lagi. Aku masih berdiam, tak tau harus menjawab apa.
"Bukannya Oma tak suka Fandi, tapi sebagai oma Hakim, oma berharap kamu benar-benar memikirkan keputusanmu. Karena oma juga tau, kalau kamu sangat mencintai Hakim. Sebelum semakin jauh, pikirkan sekali lagi. Ini semua juga demi Fandi, tak adil jika dia hanya menjadi pelarianmu saja."
Lagi-lagi ucapan oma begitu sangat mengena, semua yang oma ucapkan benar adanya.
"Bukan maksud oma membuatmu bimbang. Ini keputusan untuk seumur hidup. Dan satu lagi, jujurlah tentang Hakim kepada Fandi, bila kamu memilih tetap berhubungan dengannya."
Aku sedikit ternganga, jujur untuk apa. Aku tak bisa.
"Daripada dia tau dari orang lain, yang pastinya akan berakibat tidak baik untuk hubungan kalian,"
Entahlah semua yang oma ucapkan semua benar, tapi aku tak punya keberanian dan tak ingin mengungkap juga kebenaran hubunganku dengan Bang Hakim.
"Kamu menginap ya?"
"Iya oma, Rinda akan temani oma," jawabku. "Oma di minum dulu, udah anget ini," lanjutku. Kuambil gelas di atas nakas dan memberikannya ke oma.
Banyak yang kami bicarakan malam ini, dan semua tidak jauh dari masalah hubunganku dengan Bang Hakim. Dalam hati mereka masih tetap berharap kami berjodoh menjadi suami istri. Walaupun berucap tak ingin membuatku bimbang, tapi semua sangat membuat gamang hatiku. Rasaku pada Fandi yang belum nyata sepenuhnya, tentulah akan dengan mudah terpengaruh.
Kepalaku sakit sekali, apa iya cinta harus serumit ini. Pernikahanku sudah tinggal menghitung bulan, aku harus yakinkan diriku sendiri ini pilihanku. Dan cinta Fandi adalah pelabuhan terakhirku. Walau dari semua keluargaku hanya Beben yang benar-benar mendukungku.
Aku bisa membaca keinginan terdalam mereka, kembali rujuk dengan Bang Hakim. Hal itulah yang mereka inginkan sebenernya. Meski mereka menerima kehadiran Fandi tapi tetap kurasa ada yang berbeda.
Sampai hampir jam sebelas hanya Bang Hakim yang belum datang. Lepas oma tidur aku mengobrol dengan mama dan papa. Dan hampir sama dengan oma, walau tak seterang oma, tapi aku bisa membacanya. Mereka tetap ingin aku kembali dengan anak mereka.
Malam merambat kian larut, tapi sosok itu belum pulang juga. Hampir jam dua belas, aku masih bergeming, menunggunya duduk menyudut di sofa yang ada di balkon. Rasa cemas mulai menyergapku. Aku tak tau apa memang dia sudah terbiasa pulang larut.
Kutarik kain pantaiku untuk menutupi tubuhku yang sudah mulai mengigil karena belaian sang angin malam. Aku rasakan angin berhembus sedikit nakal, menembus kain tipis yang aku gunakan. Mataku mulai meredup sudah tak sangup lagi berjaga.
Badanku mengigil luar biasa, tapi aku sudah tak tidur lagi di sofa. Aku sudah berada di balik selimut di dalam kamarku. Tulang-tulangku terasa nyeri semua, kurasa dingin yang tak biasa.
"Minum dulu," ucap Bang Hakim membantu meminum segelas teh hangat. Badanku masih bergetar, karena hawa dingin yang kurasakan. Tapi melihatnya, tak kupungkiri hatiku merasa tenang dan senang.
"Adek ngapain tidur di luar?" tanyanya padaku. Dia kembali menyelimuti seluruh tubuhku. Tangannya hangat membelai rambutku. Aku hanya mengelengkan kepalaku. Apa harus aku katakan kalau sedang menunggu dirinya.
Sesaat tatapan kami bertemu, menyiratkan satu rasa, rindu. Kuat kugigit bibir bawahku, agar rasa ini tak nampak nyata dan menguasai sadarku.
"Adek tidur lagi, ya," ucapnya. Aku mengiyakan dengan mengedipkan mataku. Bang Hakim menepuk kepalaku pelan.
"Abang di kamar depan. Panggil abang kalau butuh sesuatu," ucapnya lagi. Dan aku hanya mampu mengangguk pelan. Badanku masih bergetar karena gigilan.
***
Mataku memaksa membuka saat merasa ada yang hangat dan basah di keningku. Kepalaku terasa sangat berat.
"Adek demam semalaman," ucap Bang Hakim terdengar samar, saat mataku sedikit terbuka. Badanku rasanya tak karu-karuan. Kepalaku juga sakit, ini pasti akibat angin semalam.
Tak berapa lama terlihat Wati salah satu asisten rumah tangga di sini, datang mengantarkan makanan dan minuman dengan nampan. Sop hangat dengan nasi lembut, sebenarnya aku tak berselera, tapi Bang Hakim begitu sabar menyuapiku.
"Abang tak kerja," tanyaku saat kurasa kondisiku mulai membaik.
"Siangan nanti aja," jawabnya. "Sudah mulai enakan?" tanyanya lagi, aku memgangguk.
"Adek di tinggal nggak papa," lanjutku lagi.
"Iya, sudah istirahat lagi, biar cepat pulih. Demamnya sudah mulai turunkan?" tangan itu menyentuh keningku.
Aku kembali berbaring, meletakkan kepalaku yang masih berat di atas bantal. Tangan lrmbutnya kembali mengusap rambutku, memberikan rasa nyaman, dan tenang. Sesaat aku terdekap dalam lelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel