Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 07 Desember 2021

Pria Dari Masa Lalu #12

Cerita Bersambung

Aku kembali berbaring, meletakkan kepalaku yang masih berat di atas bantal. Tangan lembutnya kembali mengusap rambutku, memberikan rasa nyaman, dan tenang. Sesaat aku terdekap dalam lelap.

Entah berapa lama aku terlelap, tapi sepertinya sudah sangat siang. Kepalaku masih cukup berat.

"Non Rinda sudah bangun?" Tak kusadari ada Wati yang duduk di dekat meja rias.
"Tuan muda ada urusan di kantor, tadi nyonya dan tuan juga habis dari sini, Non Rinda masih tidur," jelas Wati tanpa kutanya.
"Oma cemas sekali, tapi kata Tuan Hakim hanya demam biasa, saya turun dulu ya mengambil makan siang dan obat," lanjut Wati lagi, aku hanya menganggukkan kepalaku.

Kuraih ponselku yang kuletakkan di atas nakas. Pesan dan pangilan dari Fendi, dia pasti memcemaskanku. Aku segera menghubunginya.
Salam terdengar saat pangilanku terhubung.
"Sayang kamu sakit ya?" tanya Fendi.
"Nggak apa-apa cuma demam aja."
"Ke dokterkah?"
"Sudah, kan ada Bang Hakim," jawabku.
"Aku rindu," ucap Fendi, aku hanya tertawa kecil.
"Kamu nggak rindu aku?" tanyanya, aku kembali tertawa. Suara itu terdengar dekat, aku mendongak saat melihat bayangan di pintu. Fendi sudah berdiri di ambang pintu, dengan senyum manisnya.

"Kamu nggak rindu aku?" tanyanya lagi. Aku hanya mengulum senyumku.
"Aku suapin ya?"

Ada nampan berisi mangkuk dan segelas teh disana.

"Aku bisa sendiri," ucapku.
"Tapi aku mau nyuapin kamu," jawab Fendi.

Dia meletakkan nampan di atas nakas, mengambil mangkuk yang berisi makan siang itu. Fendi duduk di tepian ranjang menghadap ke arahku.
Kutatap wajah tampan di depanku, wajah pria yang begitu sabar dan tulus padaku. Walau rasa ini belum sempurna, tapi aku ingin bersamanya. Walau masih ada cinta lain di hatiku, sungguh aku ingin membangun masa depanku dengannya.
Aku hanya perlu waktu, untuk menghalau pergi cinta Bang Hakim dari hatiku. Meyakinkan diriku sendiri Fendi adalah masa depanku.

"Kenapa liatnya sampe nggak kedip gitu?"
"Nggak," jawabku pelan sambil mengeleng.
"Apa aku telah membuatmu jatuh cinta?" tanyanya, kedua alis tebal itu terangkat berulang, senyum manis terkembang.
"Ihh, apaan, pede banget sih," jawabku sedikit manyun, Fendi tertawa.

Cinta pasti akan datang dengan sendirinya. Bukankah ada yang bilang cinta karena terbiasa. Saat aku mulai terbiasa dengan kehadirannya pasti rasa itu akan hadir juga.

"Pinter," ucap Fendi sambil menepuk pipiku, setelah memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutku.
"Emang aku anak TK," celetukku, Fendi tertawa kecil. Mengambilkan minuman hangat untukku.
"Makasih ya."
"Untuk apa?" tanyanya duduk mendekat di depanku.
"Untuk semuanya," jawabku.

Fendi tersenyum, tanganya mengusap pelan pipiku, sebuah kecupan dia daratkan di keningku. Jemari itu turun mengenggam tanganku. Kemudian mengecupnya.

"Aku mencintaimu, lebih dari yang aku sadari," ucapnya.
"Terima kasih untuk cintamu," balasku.

Meski belum kudapati rasa yang sama, seperti rasa yang aku rasakan untuk Bang Hakim. Tapi aku mencoba memberi kesempatan untuk diriku sendiri. Aku hanya perlu belajar membuka hatiku lebih lebar, menghempas jauh bayangan Bang Hakim dari hidupku.
Lengan kekar itu mendekapku, aku bisa merasakan cinta yang tulus dari calon imamku ini. Semoga dimudahkan hanya itu doaku. Dimudahkan melupakan cintaku pada Bang Hakim dan dimudahkan niatku dan Fendi untuk memulai kehidupan baru.
Mataku mengarah ke pintu, ada sepasang mata menatap nanar ke arahku dan Fendi. Dia menyadari aku melihatnya, sebuan senyum getir nampak di sana. Kenapa dadaku sesak seketika. Mataku terasa panas, pria itu beranjak pergi mengurungkan niatnya menemuiku.

"Maaf ya, nggak bisa lama-lama, aku harus kembali ke kantor. Nanti malam aku kesini lagi," pamit Fendi, aku mengangguk pelan.

Fendi beranjak, setelah mengecup puncak kepalaku dan sekilas menaut hangat lengkung sabit di wajahku.
Bayangan mata nanar itu berkeliaran di benakku. Ada rasa sakit dapat kulihat di situ. Mengingatkan akan sakitku, saat Bang Hakim membawaku ke Riana dulu.
***

Aku merasakan sudah mulai membaik, dan bosan berbaring di atas tempat tidur. Lebih baik aku turun ke kamar Oma.
Baru aku keluar dari pintu, terlihat Bang Hakim di dekat tangga. Melihatku dia bergegas menghampiriku.

"Adek, mau kemana?"
"Mau ke Oma, Bang, bosen di kamar terus. Lagian adek udah enakan kok," jawabku.

Pungung tangan Bang Hakim di tempelkan di keningku.

"Masih anget badanya."
"Beneran Bang, dah enakan," jawabku.
"Bandel, Abang antar," ucapnya.
"Adek bisa sendiri," ucapku.
"Bawel banget sih," ucap Bang Hakim, dia berdiri di depanku, menghadapku.

Aku arahkan pandanganku ke arah lain saat Bang Hakim menatapku lekat, keputusanku tak boleh kembali goyah. Jangan tanyakan getaran dalam dadaku, sorot mata itu mampu menghipnotisku.

"Adek berhak bahagia, Abang janji tak akan menganggu hubungan adek dengan Fendi. Abang sadar, sudah terlalu sering melukai hati adek. Adek memaafkan dan tak membenci abang itu saja abang sudah sangat bersyukur. Abang sayang, semoga adek bahagia," ucap Bang Hakim.

Nada suara itu terdengar getir, sama seperti hatiku sekarang. Kami saling memaksakan senyum, walau kami tau hatiku dan hatinya remuk redam.
Kami kemudian turun bersamaan, berjalan bersisian.

"Abang nggak ke kantor?" tanyaku sambil berjalan.
"Tadi ke kantor sebentar, maafin abang, tadi kepikiran adek jadi nggak tenang."
"Adek minta maaf, dah bikin abang nggak renang kerja."

Bang Hakim tersenyum.

"Minta maaf terus, kayak lebaran aja," balasnya. Aku tertawa, ada rasa yang telah lama hilang kini kembali kurasakan. Melihatnya tersenyum aku merasa senang melihatnya. Meski kami sama-sama tau ada luka di dalam dada.

Memulai kembali suatu hubungan, hubungan keluarga dengan mengabaikan sebala rasa yang ada. Mencoba saling menghargai dan memahami dengan mengesampingkan segala perih dan luka yang pernah tercipta.
***

Persiapan pernikahan sudah dilakukan hampir lima puluh persennya. Minggu depan acara lamaran akan di gelar dan langsung akad nikah esok harinya. Semua sudah kuputuskan, ini jalanku, ini hidupku, bersama Fendi adalah masa depanku.

"Cantik, seperti kamu," ucap Fendi saat kutunjukkan baju kebaya yang akan kupakai nanti saat lamaran, untuk akad juga sudah kami siapkan. Aku mengulum senyumku.

"Kamu tau, aku akan menjadi pria paling bahagia," lanjutnya.
"Aku juga," balasku.

Sesaat lengkung sabit nan manis itu menyapa, menautkan rasa bersamaan dengan desiran yang mulai menjadi nyata. Semoga rasa ini kan semakin bersemi seiring kebersamaan kami.
Aku akan terbang pulang, tiga hari lagi. Kami perlu mempersiapkan segala hal, lamaran akan digelar di kediaman Oma. Oma juga akan ikut denganku. Mamq Lyna dan Papa menyusul. Bang Hakim, dia bilang akan pulang bareng mama dan papa.
Akad nikah akan di gelar esok harinya. Hanya sederhana saja mengundang teman dan saudara dekat. Untuk resepsi akan berlangsung dua bulan lagi. Akad memang di majukan atas keinginan keluargaku. Mencari tanggal baik kata pakdeku, aku hanya ikut saja, toh kami sudah siap kapan saja.
***

Sisa keceriaan kemarin masih membekas, lamaran berlangsung lancar dan sesuai harapan. Sekarang babak baru akan dimulai dalam kehidupanku. Walau perhatianku masih tertuju pada Bang Hakim, tapi seolah-olah dia ingin meyakinkan diri ini, kalau dia baik-baik saja.

"Doa abang selalu ada buat adek, tapi maafkan abang. Abang tak tau apa abang sangup melihat saat ... saat adek sah menjadi milik orang lain," ucap Bang Hakim pagi itu. Senyum getir menghias bibir itu.
Aku hanya bergeming.

Diriku meyakinkan hatiku sendiri, ini keputusanku. Aku yakin aku bisa bahagia bersama Fendi. Rasaku padanya memang belum sempurna, tapi sudah lebih dari cukup menjadi alasan untuk aku memulai kehidupan baru bersamanya.

---End---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER