Dan disitulah nama Aerin terbawa. Atas permintaan pihak keluarga, polisi bahkan harus menginterogasinya. Aerin sangat terpukul karena ia merasa tidak mengenal kedua kakak kelasnya yang meninggal itu.
Butuh beberapa bulan sampai kasus itu selesai, beberapa psikolog dihadirkan untuk memeriksa langsung keterlibatan Aerin dalam memicu balapan tersebut. Sampai akhirnya positif diputuskan bahwa Aerin sama sekali tidak mengenal keduanya mengingat ia punya kekurangan dalam mengingat wajah pria.
Walaupun keputusan akhir sudah dikeluarkan, pihak keluarga Rama dan Emir masih tidak bisa terima. Papa akhirnya mengeluarkan Aerin dari SMA dan mengirimnya ke London, untuk melupakan kejadian tragis itu.
"Kamu datang."
"Iya, tante," jawabnya seramah mungkin.
Ia ingin sekali memeluk wanita itu, tapi wanita itu selalu bersikap tidak ramah dan masih sangat membencinya.
"Berapa kali aku bilang, jangan lagi datang kemari! Apa kamu tuli? Melihat kamu hidup dengan nyaman sementara anakku sudah tidak ada, kamu tau bagaimana rasanya? Pergi!"
Posisi keduanya begitu dekat, Anton yang khawatir wanita itu akan menyakiti Aerin segera mendekat. Aerin segera memberi kode untuk tidak mendekat.
"Maaf, tante. Aku datang sebagai rasa simpati kepada keduanya walaupun aku tidak kenal mereka. Aku datang bukan lagi karena aku merasa bersalah terhadap hal yang diluar kendaliku."
Aerin menyentuh lembut bahu wanita itu tapi wanita itu segera menepis tangannya.
"Sama seperti tante yang sangat kehilangan, aku juga mengalami masa-masa sangat sulit untuk bisa berkompromi dengan kejadian ini. Bahkan dulu saat di London, aku sempat terpikir untuk operasi membuat wajahku menjadi jelek agar tidak ada lagi pria yang celaka karena aku."
Mata Aerin berkaca-kaca mengingat masa-masa awalnya tinggal di London. Papa bahkan sampai menyewa khusus seorang psikolog untuk mengobati jiwanya.
"Tante, 14 tahun sudah berlalu. Rama pasti tidak ingin melihat tante selalu meratapi kepergiannya. Usiaku hanya 16 tahun saat itu dan aku mengalami gonjangan jiwa yang sangat berat karena kejadian ini. Tapi aku harus bisa keluar dari situ, kalau tidak seumur hidupku aku akan terus merasa bersalah terhadap hal yang aku tidak lakukan. Bagaimana mungkin aku bisa tau kalau keduanya sangat menyukaiku? Bahkan wajah keduanya saja, aku tidak ingat?"
Wajah wanita itu tampak mengeras. Kenyataan bahwa gadis itu tidak mengingat wajah anak dan keponakannya memang sesuatu kenyataan yang sangat tragis dari kecelakaan itu.
"Aku selalu berdoa supaya tante dan keluarga tante bisa segera berdamai dengan luka ini. Kita sama-sama terluka, tapi dalam konteks yang berbeda. Aku permisi, tante."
Aerin berbalik menghadap makam, mengusap-usap kedua pusara itu sebentar, sebelum melangkah pergi. Ia tau wanita itu masih terus menatapnya.
Kunjungan kali ini membuat Aerin merasa sangat lepas, ia telah mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada wanita itu. Tahun-tahun yang lalu, ia tak punya kesempatan untuk berbicara karena wanita itu langsung mengusirnya dengan paksa.
Semoga di kunjungan tahun depan, wanita itu sudah bisa melupakan lukanya dan bisa diajak bicara. Ini adalah kali kelima ia berkunjung ke makam keduanya, setelah kembali dari Amerika dan menetap di Jakarta. Wanita itu dulunya sangat marah karena ia tak pernah muncul setelah kematian anak dan keponakannya.
***
Setibanya di rumah, Aerin disambut dengan kehadiran Mbak Alissa istrinya Mas Chandra dan Mbak Vania istrinya Mas Ricky. Keduanya datang ke Jakarta untuk mewakili papa mama menghadiri pernikahan salah satu putera sahabat lama mereka.
Ketiganya langsung berpelukan erat.
"Kangen, tau..." Vania mengacak-acak rambut ikal Aerin.
"Kamu kok bisa semakin wow..." Puji Alissa sambil memperhatikan sosok Aerin secara seksama.
Padahal baru bulan yang lalu mereka bertemu dan menjadi akrab, tapi wajah Aerin yang ada di dalam benaknya berbeda jauh lebih cantik dari yang diingatnya. Aerin tertawa lebar.
"Masa sih, mbak? Aku ini sudah tua, wajahku gak mungkin berubah banyak. Mungkin auranya yang berubah, sekarang aku lebih nyaman dengan diriku sendiri."
"You're right." Alissa memeluk Aerin.
"Kamu ikut kita ke pesta kan?"
Aerin menggeleng.
"Sorry, mbak. Aku lelah sekali dan malam ini aku punya pekerjaan kantor yang harus aku submit besok pagi. I'm sorry." Keduanya mengangguk.
"Mama juga bilang, sebaiknya kamu tidak ikut. Kalau kamu ikut, ada kemungkinan kamu bertemu dengan tetangga sebelah, disana."
Ketiganya tertawa. Vania dan Alissa sudah mendapat wejangan dari mertua mereka untuk menyembunyikan identitas Aerin karena Aerin belum siap untuk membuka jati dirinya.
"Do your best, mbak."
"So, ceritain tentang Arya."
Aerin tertawa.
"Dia mencintai seseorang, so the story ends."
"Berakhir begitu saja? Tidak ada niatan untuk berjuang merebut cintanya?"
Aerin menggeleng.
"Oh, my sister. You're the best. I love you." Alissa memeluk Aerin lagi.
"Dijodohkan itu, juga gak jelek-jelek banget. Bukti nyata, aku! Aku punya pacar yang udah dua tahun jalan saat papa memintaku untuk menikah dengan Mas Ricky. Semuanya baik-baik saja bahkan sekarang aku tergila-gila sama Mas Ricky," terang Vania dengan senyum bahagianya. Ketiganya tertawa.
"Kalau aku, awalnya sempat stress berat. Abah tidak kasih tau kalau alasan aku disuruh pulang ke Jogja karena mau dilamar. Sorenya sampai di Jogja, malamnya langsung dilamar. Aku terpaksa terima karena tidak mau membuat abah malu. Padahal saat itu, karirku di Singapore lagi bagus-bagusnya. Tapi kalau dikilas balik, menerima pinangan Mas Chandra adalah keputusan terbaik."
Aerin menarik napas panjang, jelas sekali kedua kakak iparnya itu sangat berbahagia dengan pilihan mereka. Mungkinkah ia nantinya akan juga sebahagia itu?
"Yang pasti my sister, papa mama tidak akan sembarang memilih pria untuk menjadi suami kamu. So, relax! Kamu pasti akan mendapat yang terbaik."
Aerin mengangguk. Kehadiran keduanya telah membuat keraguan yang masih ada di hatinya perlahan memudar, walaupun tetap ada bekas.
==========
Farah yang ditemani Arya, memasuki ruangan ballroom pernikahan putera Bapak dan Ibu Sulaiman, kenalan lama mereka. Ini kali pertama ia menghadiri acara resepsi pernikahan setelah kembali ke Jakarta. Sebenarnya ia bukan tipe yang suka keramaian. Tapi ada tujuan lain dari sekedar menghadiri resepsi.
Sosok yang dari tadi dicarinya tak tampak. Seharusnya Diana datang ke acara resepsi ini, mengingat hubungan baik antara Keluarga Bramantio dan Keluarga Sulaiman. Senyumnya terkembang, begitu melihat sebuah sosok yang menuju kearahnya.
"Oh, Farah. Welcome," sambut Emma, istri Pak Sulaiman. Keduanya berpelukan.
"Apa kabar?"
"Baik. Oh ini, Arya kah?"
Arya mengangguk sambil tersenyum.
Tante Emma seseorang yang sangat ekspresif. Ia mengingatnya sebagai sosok yang sangat ramah dan sangat cepat akrab dengan siapapun yang baru dikenalnya.
"Apa kabar, tante?"
"Sangat baik. Wow...you're so perfect! Udah menikah?"
Arya tertawa sambil menggeleng. Wajah didepannya sangat suprised dengan senyum penuh arti.
"Good. Ntar tante kenalin sama anak bungsu tante. Farah, kita akan menjadi besan." Farah dan Arya tertawa lebar.
"Iya...iya, kita akan menjadi besan. Aku mau tanya sesuatu." Farah menarik tangan Emma ke sudut ruangan.
Perbincangan mereka tadi sudah menarik perhatian banyak undangan. Dan ia tak ingin ada gosip tentang Arya dan gadis bungsu Emma. Gosip cepat sekali menyebar di lingkungan ini.
"Kamu liat Mbak Diana?"
"Diana Bramantio?" Farah mengangguk.
Farah dan Emma dulunya pernah satu sekolah di SMA dan hubungan keduanya cukup akrab. Terlepas dari sikap formal di tengah keramaian untuk menjaga citra masing-masing, keduanya terbiasa ngobrol lepas, tanpa batas.
"Mbak Diana tidak datang, tapi dia kirim menantunya kesini."
"Menantu dari anak yang mana?" Mendengar kata 'menantu' membuat Farah was-was.
"Istri Chandra dan istri Ricky." Farah menarik napas lega.
"Aku pengen say hello, yang mana orangnya?"
"Oke...mari Jeng Farah," canda Emma sambil menggandeng tangan Farah, membelah keramaian. Farah memberi kode Arya untuk mengikutinya.
Mereka tiba di bagian kiri ballroom yang lebih privasi. Farah hampir mengenali semua yang ada di ruangan. Setelah say hello sana-sini dan memperkenalkan Arya kepada teman dan kolega lamanya, akhirnya mereka berhenti di dekat piano. Dua wanita cantik berpenampilan sederhana namun waah...ada disana. Keduanya menebarkan aura keramahan.
"Dear, mari tante kenalin dengan sahabat tante, yang juga tetangga rumah sebelah kalian."
Vania dan Alissa langsung mengerti siapa yang dimaksud. Keduanya serentak melihat ke pria yang berdiri di belakang Tante Emma dan Tante Farah.
"Tante Farah, senang banget bisa jumpa tante disini. Aku Alissa, istri Chandra. Dan ini Vania, istri Ricky."
Mereka berjabatan tangan. Farah mengacung jempol untuk keramahan keduanya. Diana telah mendidik menantunya dengan sangat baik.
"Ini Arya, anak tante."
Ketiganya berjabatan tangan. Vania dan Alissa tak bisa menyembunyikan pesona Arya yang sangat kuat. Ah, Aerin seharusnya tidak boleh menyerah. Sosok pria seperti Arya, seharusnya harus direbut kembali, apapun alasannya.
"Mama dan Papa, sehat?"
"Papa sehat, mama baru beberapa bulan yang lalu operasi kanker usus dan sekarang lagi treatment. Makanya mama udah jarang pergi-pergi," terang Alissa sambil menarik kursi buat Tante Farah untuk duduk.
"Makasih. Semoga Mbak Diana segera pulih ya. Sudah 19 tahun lebih kami tidak bertemu. Mana dulu kami pindah ke Amerika, juga tanpa pemberitahuan."
"Iya, tante. Mama kemarin juga pesan untuk singgah ke rumah tante. Mbak Sri sudah kasih tau mama kalau keluarga tante sudah kembali. Maaf, kami tadi tiba sudah hampir jam 6 sore, jadi belum sempat ke rumah tante."
"It's okay. Oh ya, ada yang mau tante tanya. Irin apa kabar? Kalian kenal Irin kan?"
Pertanyaan yang sangat tidak sopan, sebenarnya. Tentu saja mereka mengenal Aerin. Pasti hubungan jelek antara Aerin dan papa mama sebelumnya, yang membuat Tante Farah bertanya seperti itu.
"Tentu, tante. Irin baik-baik saja. Kami jarang bertemu, Irin lebih memilih hidup sendiri." Kebohongan yang harus diucapkan.
Keduanya melihat rona kesedihan di wajah Tante Farah dan Arya.
"Irin ada dimana sekarang, mbak?"
"Dia tinggal di Jakarta, tapi maaf kami tidak tau dia dimana. Irin sudah lama memisahkan diri dari keluarga."
Seperti yang Farah khawatirkan sebelumnya.
Irin dewasa pasti pada akhirnya akan memilih pergi.
Arya menatap mamanya yang tampak berkaca-kaca. Ia mengelus lembut bahu mamanya. Tentu saja mamanya sangat bersedih karena mengerti betul apa yang dirasakan Irin kecil terhadap keluarga papanya.
"Makasih infonya, mbak. Maaf, mamaku agak melankolis. Dulu Irin sangat sering bersama kami."
Vania dan Alissa merasa bersalah banget melihat kesedihan Tante Farah. Wajah Arya juga tampak sedih, tapi dia bisa menguasai dirinya dengan baik.
"Nanti kalau kami bertemu Irin, pasti akan kami kasih tau untuk mengunjungi tante."
"Tante tidak usah khawatir. Walaupun Irin memisahkan diri dari keluarga, tapi dia baik-baik saja. Dia hidup dengan sangat berkecukupan. Papa mama tidak menelantarkan dia."
Farah dan Arya merasa sangat lega mendengar penjelasan Vania. Setidaknya Irin hidup dengan layak. Tidak seperti bayangan buruk yang sering kali melintas di pikiran mereka.
***
Aerin mendengarkan cerita kedua kakak iparnya dengan senyum tanpa henti.
"Good job," pujinya tanpa beban merasa bersalah.
"Kasihan banget si tante, dia benar-benar gak bisa sembunyiin kesedihannya." Aerin menarik napas panjang.
"Ntar, suatu hari...aku akan minta maaf yang sebesar-besarnya karena telah membuat dia mengkhawatirkan aku."
"Tapi Arya juga sangat khawatir," sambung Vania yang membuat Aerin tertegun.
"Rasa khawatir pada teman lama, mbak. Bukan khawatir karena ada rasa cinta. Kalau ada rasa cinta, pasti dia akan berusaha keras mencariku," ucap Aerin sambil membuka gorden dan melihat ke balkon kamar Arya yang gelap, tapi ia bisa melihat ada cahaya titik api disana. Sepertinya Arya sedang merokok.
"Dia... dia sangat menarik." Alissa tertawa setelah mengungkapkan kekagumannya terhadap Arya, yang membuat Vania dan Aerin terkekeh.
"Aku juga kaget, mbak...waktu pertama ketemu dia. Arya dalam bayanganku tidak sesempurna itu. Aku ngebayangi pria klimis dengan tubuh overweight karena dia dulu seperti itu. Sosok yang sangat rapi, rambut anti badai dan gendut." Ketiganya tertawa.
Dari sosok Arya yang dideskripsikan Aerin, Vania dan Alissa tau bahwa cinta Aerin kepada Arya sangatlah murni. Cinta sejati yang tak memandang fisik. Cinta yang dipupuk begitu lama walaupun tanpa kepastian.
Bersambung #21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel