Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 05 Februari 2022

Aku Disini Menunggumu #22

Cerita Bersambung

Mereka berpindah ke ruang keluarga. Aerin tau apa yang akan mereka bicarakan.

"Arya bilang, kamu mengundurkan diri?" Aerin mengangguk. Letih dan muak sekali membahas ini lagi.
"Tante, maaf. Sebenarnya gak ada yang terlalu mengejutkan dengan pengunduran diriku."

Arya yang lagi menonton pertandingan baseball di TV, mengecilkan volume. Ia ingin tau alasan apa yang akan Aerin sampaikan kepada orangtua, karena ia tak berhasil membuat Aerin bicara.

"Pak Arya sebelumnya tidak membaca kontrakku yang memang dibuat khusus oleh Pak Rasyid. Dari awal aku memang sudah mentargetkan bekerja selama 6 tahun di Global dan menikmati cuti di tahun ke-6." Ferdinand dan Farah saling melirik, mereka sudah membaca kontrak kerja khusus itu.
"Saat itu Pak Rasyid gak yakin kalau aku bisa bertahan sampai 6 tahun di Global, makanya dia buat poin khusus bahwa aku hanya bisa mengajukan pengunduran diri setelah 5 tahun bekerja dengan masa tunggu 1 tahun."
"Tapi, kenapa harus pergi kalau kamu bisa tetap disini?" Tanya Farah dengan sangat hati-hati.

Aerin tersenyum sambil terdiam beberapa saat. Haruskah ia memberitahukan alasan yang sebenarnya?

"Kalau itu terlalu pribadi, om sangat mengerti. Tapi, tidak adakah yang bisa kami bantu supaya kamu tidak resign?" Aerin jadi sangat tidak tega melihat wajah tulus keduanya. Ah, apa ia harus mengeluarkan alasan saktinya?
"I told you mom, dia tidak akan kasih tau alasan yang sebenarnya," ucap Arya dengan geram. Apa sih susahnya memberitahukan alasan resign?

Farah dan Ferdinand memberi kode Arya untuk diam. Ucapan Arya membuat emosi Aerin tiba-tiba muncul. Rasa letihnya bisa dengan cepat memicu emosi.

"Well, kalau semua sesuai rencana... I will get married next year! Dan setelah menikah, aku memilih untuk menjadi a full time housewife. Itu alasannya, tante om. Karena itu, aku tidak bisa lagi bekerja di Global atau di perusahaan manapun juga."

Arya terpaku. Mendengar alasan Aerin yang diucapkan dengan nada yang sangat santai, membuat ia merasakan debaran kencang di dadanya. Saat yang sama, ia juga merasakan keringat dingin keluar dari ubun-ubunnya. Belum lagi rasa lemas yang perlahan tapi pasti menjalari tubuh kekarnya.

Farah dan Ferdinand akhirnya bisa tersenyum mengerti. Walaupun alasan itu sangat klise, alasan yang cukup umum bagi seorang gadis yang akan menikah dan ingin fokus pada keluarga barunya.

"Waah! Selamat ya. Tante ikut berbahagia." Keduanya berpelukan.
"Makasih, tante."
"Kami tidak bisa mengubah keputusan kamu. We respect your choice, tapi bila nanti kamu berubah pikiran...FF Group selalu terbuka buat kamu."

Aerin tersenyum, ia merasa sangat lega. Berterus terang walaupun tidak seratus persen jujur, sudah membuat ia bisa bernapas lega. Bagaimana kalau ia berterus terang bahwa ia adalah Irin? Apakah ia juga akan merasakan kelegaan yang lebih dari ini?

"Tante om, aku permisi ya. Hari ini hari yang sangat melelahkan. Terimakasih sudah mengundang aku dinner disini. Next time, aku yang akan undang om dan tante." Mereka saling berpelukan.
"Safe drive, sampai jumpa." Aerin mengangguk sambil melirik ke Arya. Sikap Arya berubah drastis sejak ia menyampaikan surat pengunduran dirinya.

Arya menjadi sosok yang berbeda, mungkin lebih tepatnya sikap marahnya membuat dia terlihat sangat kekanakan, yang membuat Aerin banyak mengalami dejavu.
***

"Aerin, wait!" Aerin tersenyum, baru saja ia memikirkan Arya, nah sekarang orangnya sudah muncul di belakangnya. Aerin tidak punya niat untuk berhenti, ia ingin membalas sikap tidak sopan Arya saat dinner tadi.

"Aerin!" Dan pergelangan tangan kirinya pun ditarik Arya dari belakang yang membuat posisinya menghadap Arya. Tapi ia tidak menatap Arya.

"Aku tidak mengerti. Kamu merahasiakan alasan kamu resign kepadaku, tapi kamu malah bisa berterus-terang kepada orangtuaku. I am your boss, not my parents."
Akhirnya Aerin menatap Arya. "Aku tidak merasa nyaman dengan Pak Arya. You are a stranger to me. That is it."

Arya melepaskan pegangannya dengan wajah putus asa. Sungguh alasan yang mengada-ada.

"Oh, I see. I am a stranger and you are not comfortable with me. Lalu saat kita berciuman begitu lama, apa kamu merasa tidak nyaman juga?" Arya tertawa miris sendiri, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri.

Aerin terdiam. Tentu saja ia merasa sangat nyaman.

"I said, let's forget everything! Itu artinya pembicaraan tentang insiden tidak menyenangkan itu, sudah selesai! Jangan terlalu membawanya ke dalam perasaan."

Arya menatap wajah angkuh itu, kata-katanya sudah cukup membuat martabat seorang pria berada di titik nol.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Aku tanya lagi, saat kita berciuman...apa kamu merasa tidak nyaman?"

Aerin kesal sekali, ia langsung berbalik dan melangkah cepat menuju ke mobilnya. Tapi Arya mengejarnya dan kembali menarik pergelangan tangannya.

"Apaan sih! Sakit tau!" Aerin tampak putus asa. Padahal sedikit lagi, seharusnya ia sudah membuka pintu mobil dan kabur dari sini.

Wajah sebel Aerin dengan bibir mengerucut, membuat emosi Arya sedikit memudar. Oh, God! Walaupun tersinggung berat dengan kata-kata kasar Aerin, tapi liatlah...siapa yang tak berdebar-debar melihat wajah cantik yang sangat mengemaskan itu.

"I will not let you go, sebelum kamu jawab pertanyaan tadi." Arya sekarang sengaja memancing emosi Aerin. Ia menahan diri untuk tetap berekspresi kejam.
"Kenapa Pak Arya egois banget and so stupid. Kalau aku sudah bilang you are a stranger to me, itu artinya aku tidak nyaman berada di dekat Pak Arya, apalagi saat berciuman! Aku menganggap ciuman terakhir itu sebagai pembalasan saja. Never dream more than that!"

Kata-kata yang sangat menyakitkan hati sebenarnya, tapi Arya tak terpancing. Aerin membuang pandangannya kearah lain, ia bergejolak dengan perasaannya sendiri karena apa yang keluar dari mulutnya tadi... adalah sebuah kebalikan.

"Kamu pinter berbohong," ucap Arya yang dengan tiba-tiba memeluk tubuh Aerin dengan erat.
 
Aerin yang sangat kaget, berusaha melawan. Tapi tubuh langsingnya dengan stamina yang terkuras habis sepanjang hari ini, membuat usahanya sia-sia. Ia terbenam di dalam dada bidang Arya. Rasanya tentu saja nyaman sekali. Kenyamanan yang sudah ia impikan sejak lama.
Keduanya diam sesaat, merasakan detak jantung masing-masing yang berdetak cepat. Arya mencium rambut Aerin.

"I'm sorry. Kamu membuat aku tidak bisa mengontrol diri," bisik Arya dengan suara lembut.
"Kamu membuat aku panik mendengar kamu akan menikah. Aku bingung dengan perasaanku sendiri," bisik Arya lagi. Ia kembali mencium rambut Aerin.
"Kamu...I like you. I might have fallen in love with you."

Mata Aerin berkaca-kaca mendengar bisikan terakhir. Momen seperti ini yang sering sekali menghiasi mimpi-mimpinya. Mimpi indah yang telah membuat ia selalu optimis dengan cintanya kepada Arya.
Bukankah ini adalah saat yang tepat untuk berterusterang bahwa ia adalah Irin?
Tapi tunggu dulu. Kalau ia berterus terang, bagaimana dengan gadis yang sudah lebih dulu dicintai Arya? Apa yang akan terjadi dengan kisah cinta mereka? Apakah ia akan menjadi orang ketiga diantara mereka? Apakah ia akan menjadi penggagal bersatunya cinta mereka? Lantas, sanggupkah ia menjadi orang yang seperti itu? Aerin bergulat dengan pikirannya sendiri.
Arya melepaskan pelukannya. Aerin melihat kelegaan di wajah yang terukir dengan sempurna itu. Seharusnya saat ini juga, bila ia tega dan sanggup melanggar prinsip yang telah tertanam di otaknya sejak lama, mereka akan menjadi sepasang kekasih yang sempurna. Ia akan mengajak Arya menikah saat itu juga, karena ia sudah sangat lama menahan rindu.

Tapi...

" Pak Arya, masing-masing kita punya jalan yang kita tuju. Dalam perjalanan, kita akan transit di beberapa tempat dan berjumpa dengan orang-orang yang berbeda. Mungkin saja, orang-orang tersebut lebih menarik dari orang yang kita tuju."

Arya sangat mengerti kearah mana Aerin akan berbicara. Wajahnya tampak sangat tenang, tidak ada sedikitpun keraguan.

"Aku adalah salah satu orang yang Pak Arya jumpai saat transit. Begitu juga sebaliknya, Pak Arya adalah salah satu orang yang aku jumpai dalam perjalananku. Tapi kita sudah dewasa, kita bukan remaja yang mudah berubah arah."

Aerin tersenyum lembut, ia menahan diri untuk tidak menampakkan sisi lain dirinya yang hancur berkeping-keping, menyadari arti ucapannya sendiri. Ia telah menyerah, menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah ditunggunya sejak lama.

"I respect your feeling, makasih. Aku merasa sangat tersanjung. Tapi, aku tidak bisa membalas dengan perasaan yang sama karena aku juga punya tujuan perjalananku sendiri. I wish you will be happy until the end of your journey. I meant it."

Aerin memeluk pria tersayang di depannya itu dengan erat. Arya merasakan pelukan itu sangat tulus. Ia membalasnya. Ada setengah bagian dari dirinya yang terasa kosong, tapi disisi yang lain...ada kelegaan bagian yang kosong itu akan tetap terisi oleh Irin. Tentu saja nanti, saat ia telah menemukan Irin. Sampai saat itu tiba, ia harus tetap melanjutkan perjalanannya sampai tiba di tempat tujuan.

"See you, Pak Arya. Good night," ucap Aerin dengan senyum indahnya.
"Aerin, makasih." Aerin mengangguk. Ia tau arti ucapan itu.

Makasih karena ia telah menyadarkan Arya akan tujuan perjalanannya. Terasa nyeri di dada menyadari ini mungkin akhir dari perjalanannya mendapatkan cinta Arya.
Arya tak beranjak sampai mobil Aerin berbelok dari gerbang pagar rumahnya. Ia merasa sangat lega malam ini, rasa putus asanya dalam mencari Irin seperti terobati. Ia merasa energinya terisi penuh kembali.

==========

Dan malam itu suasana panik terjadi di kediaman Aerin. Tubuh Aerin ambruk begitu turun dari mobil dan membentur lantai. Pak Rahmat yang melihat dari jauh, segera berlari. Kening Aerin mengeluarkan banyak darah, terlihat ada sobekan yang lumayan lebar. Wajah Aerin tampak sembab dan basah dengan air mata yang masih mengalir.
Sri yang panik langsung melarikan Aerin ke Rumah Sakit Premier. Tiga jam kemudian, Bramantio dan Diana tiba di rumah sakit. Kondisi Aerin yang belum sadarkan diri membuat mereka memutuskan untuk membawa Aerin ke Singapore, seperti minggu yang lalu.
Diana tak kuasa menahan tangisnya. Luka sobekan di kening Aerin dan harus diperban, membuat ia sangat khawatir. Kondisi Aerin lebih parah dari minggu lalu saat ia menerbangkan Aerin ke Singapore.

Minggu lalu walaupun Aerin juga tak sadarkan diri, tapi dia tampak seperti tertidur saja. Kali ini, selain kening yang harus diperban, wajah Aerin juga tampak sangat pucat dengan mata sembab. Ekspresi mukanya juga terlihat begitu sedih. Mungkinkah sesuatu yang buruk menimpanya sehingga membuat dia ambruk?

Pukul 2 pagi saat mereka akhirnya tiba di Mount Elizabeth Hospital. General Check Up segera dilakukan. Urusan administrasi menjadi mudah banget karena rekam medis Aerin memang sudah ada disana.
***

Pagi selasa di Global, kejadian yang sama seperti minggu lalu berulang. Sudah jam 10 pagi tapi Aerin tidak muncul di kantor dan hpnya off. Staff Meeting pagi terlewatkan dan itu membuat Arya, Andy dan Vita sangat khawatir. Mereka membayangkan hal buruk mungkin saja terjadi lagi.
Vita kembali mencoba menghubungi nomor hp tante Aerin, off juga. Sepertinya si tante masih honeymoon. Ah, seharusnya ia meminta nomor lain kepada Aerin.

Andy mendatangi kediaman Aerin, dari satpam perumahan akhirnya ia tau kalau Aerin sudah dari minggu kemarin tidak lagi tinggal disini. Apa Aerin punya rumah baru?

Arya tak bisa konsentrasi bekerja pagi itu. Bayangan-bayangan buruk terus saja mengganggunya. Minggu lalu, Aerin collapsed hanya beberapa saat setelah ia tinggalkan. Setelah sebelumnya mereka terlibat pertengkaran karena insiden ciuman.
Lantas senin malam kemarin, mereka juga terlibat pertengkaran sebelum akhirnya berakhir dengan damai. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Aerin terlihat sangat baik-baik saja saat dia masuk ke mobil bahkan tidak ada yang aneh dengan cara dia mengendarai mobilnya, setidaknya sejauh ia bisa melihat.
Dan sekarang ia mendapat info dari Andy kalau Aerin tidak lagi tinggal di rumahnya. Lantas dalam seminggu kemarin, dia tinggal dimana? Andy juga bilang kalau Aerin pindah ke rumah baru, Aerin pasti akan mengundang teman-teman dekat dan pasukannya untuk sekedar berkumpul bersama.

Arya akhirnya keluar ke balkon, mencari udara segar sambil menyalakan rokoknya. Sampai saat pagi tadi ia tiba di kantor, ia tidak begitu lagi mengingat Aerin karena mereka sudah bicara dari hati ke hati tentang rasa mereka. Bahkan ia telah siap menjadikan Aerin salah satu sahabatnya karena Aerin telah membantunya memantapkan langkah untuk tetap pada tujuan utamanya.
Tapi liat, apa yang terjadi saat ini. Ketidak munculan Aerin tanpa kabar, membuat semua rasanya kembali lagi. Bahkan rasa itu bertambah terlalu banyak, membuat ia mabuk. Ia menjadi sangat khawatir, wajah Aerin tak berhenti terus membayanginya. Ia sangat takut sesuatu yang buruk telah menimpa Aerin dan ia tidak ada disana untuk menolongnya atau sekedar memberikan dukungan. Pertolongan atau dukungan kepada gadis yang dicintainya.
***

Bramantio menatap Aerin yang masih belum sepenuhnya sadarkan diri. Siang tadi sudah ada indikasi Aerin mulai sadar dengan adanya pergerakan jari tangan dan bola mata. Ia merasa hatinya hancur melihat keadaan Aerin.
Walaupun masih tak sadarkan diri, tapi sesekali air mata Aerin masih mengalir membasahi bantal. Itu membuat ia harus beberapa kali berlari keluar. Ia tak ingin menangis di samping Aerin.

"Pa, makan gih! Papa tidak sarapan pagi, juga tidak makan siang."

Diana membawa sup daging yang telah ia panaskan. Suaminya hanya menatap sekilas, sama sekali tidak ada niatan buat makan.

"Iya, taruh aja dulu disitu."
"Pa, kalau papa sakit juga...kita harus kirim Candra atau Ricky kemari."

Diana mengambil sesendok kuah sup lalu menyodorkan ke suaminya. Bramantio akhirnya mengangguk sambil membuka mulutnya. Diana tersenyum, ia tau suaminya makan dengan terpaksa.

"Menurut kamu, Irin kenapa?"

Ini kali pertama mereka mendiskusikan tentang Aerin setelah mengatasi rasa syok melihat kondisi Aerin. Dari Surabaya ke Jakarta, selama perjalanan Jakarta ke Singapore dan sampai dengan Aerin selesai melakukan proses general check up, keduanya tenggelam dalam kesedihan masing-masing. Mereka tak sanggup membicarakan apa yang menimpa Aerin.

Menurut hasil pemeriksaan dokter, semuanya masih dalam kondisi baik-baik saja. Aerin hanya mengalami cedera ringan karena kepalanya membentur lantai. Dokter juga memprediksi kemungkinan ambruknya Aerin lebih karena masalah psikis karena tidak ada yang salah dengan kondisi kesehatannya.

"Mungkin dia terlalu capek," jawab Diana berbohong.

Minggu lalu saat Aerin sadar, ia tau Aerin ambruk karena ada hubungannya dengan Arya. Sekarang ini ia yakin juga karena orang yang sama. Kalau ada hal yang sangat membuat Aerin sedih sekarang ini, pasti berhubungan dengan Arya.

Aerin sudah berulang kali mengatakan kepadanya bahwa dia siap untuk blind dates dan menerima jodoh dari mereka. Tapi ia tau dibalik kepasrahan Aerin itu, ada kesedihan mendalam yang belum sepenuhnya bisa dia terima.
Berterusterang kepada suaminya tentang Arya, sama saja dengan mencari masalah baru. Suaminya tipe pria yang sangat protektif terhadap anaknya. Jika suaminya tau derita yang dialami Aerin karena mencintai Arya, ia sangat yakin suaminya akan langsung terbang ke Jakarta atau menyuruh anak buahnya untuk menyeret Arya kemari.

"Kalau begitu, setelah ini Irin tidak boleh kembali ke Jakarta. Dia harus ikut kita ke Surabaya. Dia tidak boleh bekerja. Dia cukup duduk manis di rumah, menikmati hidup sebagai putri Keluarga Bramantio."

Diana tersenyum menenangkan suaminya yang tampak emosi berat. Ia mempercepat menyendok nasi dan menyuapkan ke suaminya. Ia harus membuat suaminya sibuk menguyah makanan, supaya suaminya tidak banyak bicara. Kalau suaminya sampai emosi berat, bisa-bisa darah tingginya kumat.

"Iya, pa. Ntar gitu Irin sadar, kita bicarakan dengan Irin ya. Papa mau nambah sopnya lagi?" Bramantio mengangguk. Emosi yang tiba-tiba muncul, membuat ia jadi merasa sangat lapar. Diana menyembunyikan senyumnya.
***

Farah menatap sosok Arya yang baru saja tiba di rumah. Ia menuangkan segelas air hangat dan Arya meminumnya sampai habis. Wajah Arya terlihat sangat khawatir. Arya juga pulang terlalu cepat hari ini.

"Aerin tidak ke kantor hari ini, hpnya off. Kami sudah ngecek ke rumahnya, ternyata dia sudah dari minggu kemarin tidak tinggal disana. Nomor hp keluarganya juga off. Aku sangat khawatir, ma. Aku takut kejadian seperti minggu lalu menimpanya lagi."

Farah tertegun. Apa yang terjadi? Kenapa Aerin tidak hadir di kantor sehari saja bisa membuat putranya down seperti ini. Bahkan, mata Arya tampak berkaca-kaca. Sebuah kemungkinan terlintas di benaknya. Memang susah menolak pesona Aerin yang begitu dahsyat.

"Mungkin dia ada urusan mendadak. Mama yakin dia baik-baik saja. Don't worry too much."
"I love her, ma. I'm sorry. Aku tidak bisa menjaga rasa cintaku kepada Irin. I love her so much."

Farah terdiam. Wajah putus asa putranya membuat ia tak tau harus merespon apa. Ada airmata yang keluar sebagai tanda kesungguhan Arya akan perasaannya. Arya jarang sekali mengeluarkan airmata. Bahkan saat dia kecil, dia termasuk anak yang jarang menangis.

Farah ingat terakhir kali Arya mengeluarkan airmata adalah saat dia baru menginjak usia remaja. Itupun karena kesal sekali dengan kelakuan Irin yang selalu mengekorinya.

"Arya, mama bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi kamu harus ingat tujuan kamu kembali ke Jakarta. Mama tidak punya hak melarang kamu mencintai siapa, tapi setidaknya kamu harus sampai dulu pada tujuan kamu. Ingat! Irin sudah lebih dulu menunggu kamu, setidaknya kamu harus bertemu dia dulu." Arya hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Ini sangat tidak adil buat Irin. Mama juga menyukai Aerin, dia gadis baik. Tapi Irin, dia mencintai kamu tanpa syarat. Dia bahkan tidak tau kamu seperti apa tapi dia tetap menunggu. Itu cinta yang tak bisa digantikan oleh gadis manapun, secantik dan sepintar apapun."

Arya bangkit mendekati mamanya dan memeluknya.

"Ma, sorry tentang yang tadi. Aku mungkin terlalu emosional. Aku mungkin merasa putus asa karena belum juga menemukan Irin. Mama benar, aku seharusnya menjadi pria yang lebih tangguh dalam menghadapi godaan. Aku lemah, belum apa-apa aku sudah membiarkan diriku jatuh cinta kepada gadis lain."

Farah tersenyum sambil mengelus rambut Arya.

"Begitu seharusnya menjadi seorang laki-laki tangguh. Harus kuat menahan godaan, tidak mudah menyerah dan tau siapa yang lebih tulus mencintainya."
"Seperti papa ya, ma?" Sambung Ferdinand dengan wajah nyengir. Farah mencibirkan bibir tipisnya yang masih terlihat seksi.
"Yaaah, kurang lebih seperti papa kamulah." Ketiganya tertawa.

Arya merasa bisa menguasai perasaannya kembali. Rasa cinta yang meluap-luap tadi seperti hilang separuhnya. Ah, mengapa hatinya bisa sangat plin-plan?

Bersambung #23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER