Aerin sadar sepenuhnya menjelang Rabu pagi. Saat ia membuka matanya, ia bisa langsung menebak bahwa ia berada di kamar yang sama dengan minggu lalu, di Mount Elizabeth Hospital.
Papa yang tertidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya, tampak sangat letih. Sementara mama tertidur di sofa panjang tak jauh dari tempat tidurnya. Ah, ia telah merepotkan keduanya lagi.
Aerin hanya ingat, ia tak kuasa menahan tangis begitu masuk ke mobil. Perjalanan yang hanya berjarak 300 meter dari rumah Arya ke rumahnya, malam itu terasa jauh banget. Ia menangis dengan suara keras dan menyayat hati, seperti saat ia kecil. Tubuhnya sampai terguncang, dressnya bahkan basah dengan airmata.
Ia tak sanggup membuka jendela mobil, seperti yang biasanya ia lakukan begitu pintu gerbang rumahnya terbuka, untuk sekedar menyapa Pak Rahmat. Saat itu ia sadar ia tidak punya lagi tenaga.
Ia sempat berniat menghubungi Mas Anton dan Mas Hendra, bodyguardnya yang malam itu ia bebas tugaskan karena ia hanya menghadiri dinner di rumah sebelah. Ia tau mungkin kejadian yang sama seperti minggu lalu akan menimpanya, tapi ia sudah tak sanggup menggerakkan tangannya untuk sekedar mengeluarkan hp dari dompetnya.
Di ujung kesadarannya, ia ingat ia berjuang keras untuk membuka pintu mobil. Sepertinya saat itu ia berhasil membuka pintu mobil, ia masih sempat mendengar bunyi klik tanda pintu terbuka tapi setelah itu ia tidak pasti.
Apakah ia sempat keluar dari mobil? Lantas bagaimana luka panjang di keningnya bisa terjadi? Sementara ia tidak merasakan sakit di bagian lain tubuhnya. Apa ia terjatuh dan kepalanya membentur benda keras? Berpikir terlalu banyak saat ia baru aja siuman, membuat kepalanya langsung pusing.
Aerin menutup matanya untuk mengosongkan pikiran, tapi ia malah terbayang saat Arya memeluknya, mencium rambutnya dan berbisik bahwa dia telah jatuh cinta kepadanya. Entah berapa lama ia harus bergulat berusaha keras mengosongkan pikirannya, sampai ia kembali bisa tertidur lelap.
***
Bramantio menatap Aerin yang sedang makan siang dengan lahap. Dokter sudah mencopot infusnya, dia dinyatakan sangat sehat. Bahkan mereka diperbolehkan pulang hari itu juga. Aerin hanya perlu menunggu luka jahitan di keningnya mengering, dan itu tidak perlu stay di rumah sakit.
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada putrinya, tapi istrinya sudah wanti-wanti untuk tidak langsung menanyakan Aerin tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Jadi kita balik hari ini, pa?" Tanya Aerin setelah menyelesaikan makan siangnya. Mereka duduk santai di sofa.
"Besok saja. Sebentar lagi kita check out dan nginap di hotel. Mumpung kita bertiga ada disini, ayo hangout."
Mama yang menjawab sambil melirik papa yang seperti mau protes. Aerin tertawa senang. Ini akan menjadi liburan pertama mereka bertiga.
"Allright, let's hangout," sambut Aerin dengan nada dan wajah riang.
Bramantio mau tak mau, harus mengangguk. Ia merasa bahagia sekali melihat senyum di wajah Aerin. Apalah arti menambah satu hari lagi masa liburnya bila itu bisa membuat putrinya bahagia.
***
Hari Rabu Aerin juga tidak muncul ke kantor, Vita dan Andy mulai pasrah. Mereka tidak tau harus mencari kemana lagi. Yang aneh dari Aerin sejak mereka mengenal Aerin adalah selain Aerin jarang sekali bercerita tentang keluarganya, Aerin juga tidak punya akun media sosial seperti kebanyakan gadis lajang pada umumnya. Jadi mereka tidak bisa mengakses teman-teman Aerin untuk sekedar mencari tau keberadaannya.
Sementara di Singapore, Aerin sangat menikmati liburan bertiga bersama papa mama. Bahkan Mirna dan suaminya yang transit di Singapore sepulangnya dari perjalanan honeymoon, bergabung bersama mereka.
Mirna bahagia banget melihat kedekatan Aerin dengan orangtuanya. Ia sampai tak bisa menahan airmatanya. Diana memeluk Mirna.
"Makasih sudah menjaga Irin selama ini." Mirna mengangguk.
"Aku yang seharusnya berterimakasih. Makasih sudah menerima Irin, mbak. Maafkan Mbak Sarasku juga."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Memang sudah begini jalannya, semua sudah diatur. Liat, sekarang aku bisa punya putri cantik dan pintar...yang jadi impian banyak ibu." Aerin tersenyum nyengir mendengar pujian mama.
"Udahan sedih-sedihnya, ayo kita jalan-jalan, shopping-shopping. Mumpung ada saudagar kaya disini. Karena tante dan om sudah sangat baik menjaga aku, tante dan om boleh beli apa aja, papaku yang bayar." Semua tertawa lepas. Bramantio langsung menggandeng tangan Aerin memimpin hangout mereka.
***
Pukul delapan malam mereka tiba di Jakarta. Bramantio dan Diana mengantar Irin, Mirna dan Nando sampai di tangga pesawat pribadi mereka.
"Ingat pesan papa, kamu tidak boleh terlalu capek. Kalau sekali lagi kejadian yang sama terjadi, papa akan angkut kamu secara paksa ke Surabaya."
"Baik, pa. Itu tidak akan terjadi lagi. I promise you." Setelah saling berpelukan, merekapun berpisah.
Mirna mengantar Aerin ke rumahnya. Rasanya seperti dejavu bisa berada di rumah ini lagi setelah belasan tahun berlalu. Ia ingat dulu, kehadirannya selalu disambut dengan wajah dingin disini.
***
Aerin menatap wajahnya di cermin. Bekas jahitan yang cukup panjang di keningnya masih belum kering bener, tapi ia ogah untuk menutupnya dengan perban. Wajahnya tampak berbeda banget dengan lukisan baru itu dikeningnya.
Ada cerita lucu tentang itu. Mama pikir ia akan syok melihat wajahnya dengan kening tak sempurna lagi. Tapi reaksinya sangat biasa saja, bahkan ia menolak tawaran mama untuk ke Korea setelah bekas jahitannya mengering. Mama menyarankan ia untuk melakukan bedah plastik disana, membuat semua bekas jahitan itu menghilang sempurna.
Aerin yang sudah berpakaian kantor, mengikat rambut barunya yang sekarang berponi ala artis Korea. Saat hangout kemarin, ia dan Tante Mirna sempat singgah di salon, dan model berponi sangat cocok untuk sedikit menutupi bekas jahitan di keningnya.
***
Kehadiran Aerin di kantor dengan wajah ceria dan rambut model baru, menjawab semua kekhawatiran orang-orang yang biasa bersamanya."Mbak Ririn, kemana aja? Mbak Ririn sehat?" Tanya Wiwid begitu sosok Aerin muncul dari basement.
Aerin tersenyum manis sambil memutar tubuhnya, ia ingin tau apa Wiwid bisa melihat luka dikeningnya yang tertutupi poni.
"I'm fine, see...?" Wiwid tertawa. “Tentu sangat baik, bahkan sempat berganti model rambut segala”.
Aerin tersenyum puas melihat reaksi Wiwid, berarti poni barunya berhasil menutupi luka di keningnya. Ia ingat sesuatu dan mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil dari saku blazer Guccinya.
"Buat kamu, semoga suka." Wiwid melihat ke kotak kecil bertuliskan 'Sensai Rouge Intense Lasting Colour' dari Kanebo. Matanya berbinar indah.
"Mbak Ririn, ini..." Wiwid sangat terharu, ia tau berapa harga lipstik ini. Aerin mendelik.
"Kamu suka?" Wiwid langsung mengangguk. Aerin sangat sering memberinya hadiah.
"Makasih, Mbak Ririn."
"You're welcome dear. Aku naik dulu ya, see you." Aerin melangkah menuju lift VIP.
***
Berita kedatangannya rupanya cepat sekali menyebar. Baru saja ia keluar dari lift di lantai 14, langsung masuk telpon dari Mbak Vita. Aerin tertawa kecil.
"Iya, mbak say."
"Are you okay?"
"Sure, you will see my new look soon." Vita tertawa.
"Come here right now. Someone is really missing you." Aerin tau siapa yang dimaksud.
"Aku baru aja keluar dari lift, belum masuk ke ruanganku. Can he wait for 15 minutes?"
"No! Come here right now," jawab Vita tegas dengan suara dibuat segalak mungkin. Aerin tertawa, ia sangat kenal Vita.
"Baiklah, on my way to meet my lovely CEO." Terdengar suara tawa geli Vita.
Aerin kembali masuk ke lift. Tentu saja Arya akan menanyai tentang tak hadirnya ia ke kantor selama tiga hari tanpa kabar berita. Sampai dengan saat ini, paginya sangat indah. Berjumpa dengan Arya, hampir selalu berujung pada pertengkaran yang bikin moodnya sangat jelek.
***
"Halo, Mbak Vita." Naah kan, sosok cantik yang sedang menuju kearah meja kerjanya itu tampak sangat sehat dengan wajah berbinar-binar. Lalu kenapa dia tidak muncul di kantor selama tiga hari kemarin?
"Hi, are you okay?" Aerin mengangguk.
"Hm...kamu harus merubah ekspresi wajah kamu. Bikin agak lemah, letih, lesu, lunglai...biar si bos liat kamu sakit."
Aerin tertawa ngakak. Mbak Vita ada-ada saja. Moodnya lagi sangat bagus, bagaimana mungkin ia mau merusak moodnya.
"It's okay, mbak." Aerin mengeluarkan kotak hitam mungil yang sama seperti yang ia hadiahkan buat Wiwid."For you, warna merah menyala...your favourite colour," ledek Aerin yang sebenarnya paling sebel liat orang pakai lipstik merah menyala, tapi Vita sangat suka. Vita yang melihat tulisan di kotak hitam itu langsung joget-joget.
"I love you so much, darling," teriaknya mengiringi langkah Aerin menuju ke ruang kerja Arya.
==========
Aerin mengetuk pelan sambil menenangkan debaran dadanya
yang selalu susah diajak kompromi. Seberapapun tekadnya untuk melupakan
impian indah bersama Arya, tetap aja ia nervous.
"Come in."
Pintu
terbuka, sosok Aerin yang tersenyum manis dengan rambut model baru,
melangkah tanpa ada rasa bersalah. Arya tak berkedip menatapnya, apa
yang harus ia katakan kepada staf yang sangat mengganggu ini.
"Pagi,
Pak Arya. Sehat?" Basa-basi Aerin yang sebenarnya mulai kikuk karena
Arya terus menatapnya. Arya tak langsung menjawab, ia berpikir apa yang
harus ia katakan.
"Menurut kamu?" Tanya Arya yang membuat mata Aerin melotot indah.
"Are you mad at me?" Aerin balas bertanya. Sekarang giliran Arya yang melotot.
"Menurut kamu?" Arya mengulang pertanyaan yang sama yang membuat Aerin tertawa lebar.
Arya pasti menunggu ia menjelaskan alasan ketidakhadirannya di kantor.
"Sorry,
boss. Tiga hari kemarin ada urusan keluarga dadakan, aku gak sempat
kasih kabar. Hp ku juga off...off karena aku lupa ngecharge."
Arya tau Aerin berbohong. Cara ia berbicara terlalu banyak jedanya, seperti sedang mencari alasan yang pas.
"Tapi
Pak Arya tidak perlu khawatir, aku akan lembur sampai the end of
December. Oh ya, apa Pak Arya sudah bikin list PR yang harus aku
kerjakan sebelum aku cuti?"
Arya mengeluarkan dua lembar kertas
dari lacinya dan meletakkannya di hadapan Aerin. Aerin yang hanya
melihat sekilas, langsung menjadi sebel.
"Are you sure ini tidak terlalu sedikit?" Sindirnya dengan wajah cemberut. Arya menahan senyumnya.
"Oh, masih terlalu sedikit ya? Oke, ntar sore aku tambah selembar lagi." Aerin mendelik.
"Are you insane? I have only two and half month, bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan semua ini?"
"Kamu baru bilang kalau kamu akan lembur sampai akhir Desember, lupa?"
"Yes! Tapi ini terlalu banyak!" Tanpa sadar Aerin memijat keningnya dan....
"Uh...aduh!" Keluhnya tanpa sadar dengan wajah meringis kesakitan.
Arya
yang kaget langsung bangkit dari kursinya dan melangkah ke posisi
Aerin. Ia menyingkirkan tangan Aerin yang masih memegang keningnya dan
ia menyibak poni Aerin. Apa yang diliatnya kemudian, membuat ia shock
berat. Ada bekas luka yang cukup panjang seperti luka jahitan. Dan bekas
jahitan itu tampak belum kering.
"Ini...ini,
kenapa?" Tanyanya bingung dengan wajah sangat cemas. Aerin yang masih
menutup matanya untuk sedikit mengurangi rasa nyeri, menggeleng. Ah,
kenapa harus kejadian di depan Arya?
"You are really
stubborn! Luka seperti ini seharusnya tidak ditutupi dengan rambut, ini
bisa bikin infeksi. Jenius tapi bego!" Arya tak tau lagi harus bilang
apa. Rasanya tidak ada kata-kata yang pas untuk mewakili kebodohan gadis
itu.
"Apa! Kamu bilang apa! Bahkan otakku jauh lebih jenius dari kamu."
Aerin
menepis tangan Arya, tapi tangannya malah kembali mengenai keningnya
yang membuat ia meringis lagi. Ia cepat-cepat bangkit dengan mata
berkaca-kaca menahan perih dari denyutan di lukanya.
"Hei..." Arya menarik pergelangan tangannya yang membuat ia tidak bisa pergi. Ia melihat Arya dengan wajah sebel.
"Apa
lagi? Aku akan kerjakan semuanya, oke?" Aerin mengangkat kertas PR dari
Arya.
Arya menatapnya dengan sorotan mata yang sangat khawatir dan
tentu saja penuh cinta. Pandangan yang selalu saja membuat ia gagal move
on.
"Kening kamu kenapa? Apa malam itu kamu kecelakaan?"
"It's
not your business! And keep a stare like that for the girl you love and
love you. Jangan pernah lagi menatap aku seperti itu!"
Aerin
berusaha keras melepaskan tangannya dari genggaman Arya, tapi Arya
menggenggamnya semakin kuat. Rasanya ingin sekali ia peluk erat Aerin
dan sekali lagi membisikkan kepadanya betapa ia mencintainya. Tapi apa
yang baru saja diucapkan Aerin sudah sangat jelas memberi ia batasan.
"Aku
gak akan ganggu kamu lagi. Tapi kamu harus janji sama aku bahwa kamu
tidak akan bertindak seceroboh dan sebego ini lagi. Use your genius
brain to think, okay?"
"I told you, what happened to
me is none of your business! None of your business! Don't mind me. I
don't need your concern and your love. I don't like you. Is that clear?"
Arya langsung melepaskan genggamannya tanpa bisa menjawab.
Sebuah penegasan yang membuat dadanya nyeri, membuat tubuhnya melemah
atas penolakan yang sangat terus terang dengan kata-kata yang cukup
membuat pria terhinakan.
Aerin sebenarnya cukup shock
melihat reaksi Arya atas kata-kata kasarnya yang memang sengaja ia
ucapkan. Aerin segera berbalik dan melangkah setengah berlari keluar
dari ruangan Arya. Begitu ia keluar dari pintu, ia pun tak sanggup
membendung air matanya.
Vita yang melihat, menjadi
sangat bingung. Ia bermaksud menanyakan kepada Aerin tapi gadis itu
terus melangkah cepat menuju ke lift, bahkan tanpa melihat kearahnya.
Apa yang sebenarnya terjadi di dalam, apa keduanya bertengkar lagi?
***
Satu
jam berlalu, ini sudah waktunya Arya menuju ke meeting room di lantai 4
untuk rapat dengan tim public relation. Biasanya Arya sangat tepat
waktu, Vita tak perlu mengingatkan. Tapi sampai dengan 5 menit meeting
akan dimulai, Arya belum juga keluar dari ruangannya.
Vita
memutuskan untuk ke ruangan Arya. Ia mengetuk pintu tapi tidak ada
jawaban dari Arya. Vita mengetuk lagi, tetap tidak terdengar apa-apa.
Akhirnya Vita masuk saja, terkadang Arya suka bekerja di balkon dan
tidak mendengar ketukan pintu.
Dan apa yang
dilihatnya di dalam, membuat Vita mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Arya duduk di kursinya dengan wajah tertelungkup diatas meja, seperti
tertidur. Vita bermaksud hendak keluar dari ruangan, ia sangat sungkan
untuk membangunkan Arya.
"Vita," panggil Arya dengan suara lemah.
Vita berbalik dan melihat wajah ganteng itu yang tak memancarkan cahaya dengan mata agak sedikit memerah. Apa Arya menangis?
"Pak Arya, are you okay?" Tanyanya sangat khawatir. Arya diam sesaat, menatap kosong ke arah balkon.
"Aku
tidak bisa hadir di meeting. Please cancel all meetings for today. I
will leave now, just call me kalau ada yang urgent ya. Dan, satu lagi.
Tolong packing semua barangku dan dokumen penting dan bawa ke Global
Architect. I will based at Global Architect starting from tomorrow
morning. Dan, kamu juga akan based disana sampai kantor sana dapat
sekretaris baru. Is it okay?"
Vita terdiam, mencoba mencerna pelan apa yang baru saja diucapkan Arya. Tapi, kenapa bisa sangat tiba-tiba?
"Sure, Pak Arya. I will join you."
Arya mengangguk. "Thanks Vita. So semua meeting mulai besok dipindahkan ke kantor sana."
"Baik, Pak Arya."
"Okay.
I will leave now. Sampai jumpa besok." Arya bangkit dari kursinya dan
keluar dari ruangan, meninggalkan Vita yang masih bengong.
***
Global
Architect adalah perusahaan baru yang dirintis Arya untuk menyalurkan
ide-ide inovatifnya di bidang desain. Ia sudah punya perusahaan dengan
jenis usaha yang sama di Amerika, tapi ia hanya mensupervisi saja karena
ia punya staf-staf tangguh disana.
Keputusan untuk
ngebased di kantor baru muncul tiba-tiba saja di tengah-tengah
kekalutannya. Pindah yang sebenarnya lebih tepat disebut melarikan diri
dari pesona Aerin.
Sejak ia berterusterang kepada kedua
orangtuanya tentang rasa cintanya kepada Aerin dan mendapat nasehat dari
keduanya, sebenarnya hatinya sudah kembali mantap hanya kepada Irin.
Bahkan sampai dengan tadi pagi ia dan Aerin memulai pembicaraan, hatinya
masih bertahan.
Jeritan kesakitan Aerin karena luka di
keningnya, membuat semuanya berubah. Pertahanan yang dibangunnya dengan
susah payah hancur lebur seketika dan di saat yang sama, rasa cintanya
kepada Aerin malah semakin bertambah yang tak sanggup ia kendalikan.
Aerin
sudah menolaknya dua kali, bahkan penolakan kedua tadi dengan kata-kata
yang sangat tegas dan agak kecam...membuat ia patah hati. Ia yang
biasanya selalu mendapat perhatian besar dari gadis manapun, harus
merasakan kepahitan sebuah penolakan.
Walaupun begitu, ia tau ia
masih sangat mencintai Aerin tapi ia juga harus terus berjalan dan
menemukan Irin, gadis yang terlebih dulu mencuri hatinya. Perpindahan
ini untuk menghindari bertemu setiap saat dengan Aerin. Perpindahan ini
untuk memupuk rasa cintanya kepada Irin agar bila saatnya nanti ia
bertemu lagi dengan Aerin, pertahanan diri yang dimilikanya sudah
semakin kuat dan tak gampang goyah kembali.
***
Berita
pindahnya Arya ke Global Architect akhirnya sampai ke Aerin saat ia
menikmati makan siang bersama Vita, Wiwid dan Andy. Vita sengaja semakin
mendramatisir keadaan karena ia ingin Aerin setidaknya bicara tentang
apa yang terjadi saat dia bertemu Arya.
Vita sangat yakin, Arya
pindah pasti ada hubungannya dengan Aerin. Arya tipe bos yang punya
perencanaan matang dalam melakukan sesuatu, bukan tipe yang buru-buru
dalam bertindak. Dan keduanya sama-sama berekspresi sedih setelah
mengakhiri pertemuan.
Aerin hanya diam, tak
sedikitpun menanggapi pembicaraan mereka. Ekspresi wajahnya datar saja,
tentu saja dengan mata yang agak memerah.
"Jadi mulai besok, aku juga akan ikut Pak Arya kesana."
"Looh, Mbak Vita ikut juga? Aku pikir tadi Pak Arya aja," keluh Wiwid yang akan merasa sangat kehilangan.
"Iya, sampai ada sekretaris baru disana."
"Ririn,
are you gonna miss me?" Vita sampai harus bertanya untuk membuat Aerin
bicara walaupun sepatah kata. Sejak makan siang tadi, tak sepatah
katapun keluar dari bibir indah itu.
"Kalau ada orang
yang paling rinduin mbak, itu aku," ucapnya pelan dengan senyum penuh
cinta. Vita langsung memeluknya erat. Ah...betapa jahatnya ia yang
sengaja mendramatisir keadaan hanya untuk membuat Aerin bicara. Gadis
itu tampak sangat lemah walaupun berusaha tersenyum untuknya.
Bersambung #24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel