Cerita Bersambung
Maroush Restaurant yang terletak di Hotel Crowne Plaza sudah mulai ramai sore itu saat Aerin tiba. Aerin melihat ke sekeliling, begitu banyak orang tapi tak ada yang dikenalnya. Sepertinya acara akan segera dimulai, hampir semua orang sudah duduk manis di kursi masing-masing.
"Maaf, bisa saya liat undangannya mbak?" Seorang waiter mendatangi Aerin.
"Ini. Makasih." Sang waiter melihat nomor kursi yang tercantum di pojok kiri undangan.
"Mari saya antar."
Aerin mengikuti langkah waiter yang menuju ke deretan kursi sebelah kiri barisan depan. Ada 1 kursi kosong disana sementara kursi lain sudah terisi. Sosoknya yang jarang beredar, membuat banyak mata melirik. Aerin mengenakan salah satu dress masterpiece limited edition karya Nadine yang diincar banyak orang.Arya yang berada di kursi deretan paling belakang di bagian ujung catwalk, sudah memperhatikan Aerin dari sejak masuk tadi. Bahkan ia yang mengirim waiter untuk mengantar Aerin ke kursinya.
Tak beberapa lama, suara musik klasik terdengar memenuhi ruangan, diiringi dengan munculnya Indah yang diikuti oleh model-model lain mengenakan design terbaru Nadine yang kali ini bertemakan 'Sang Bumi Ruwa Jurai' yang menggunakan Kain Tapis Lampung sebagai bahan dasar. Ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada kedua orangtuanya yang berasal dari sana.
Nadine yang memang mengkhususkan design pakaiannya dengan bahan dasar kain tenun nusantara, membuat semua yang hadir terpukau. Standing applause dari para undangan mengakhiri launching design barunya.
"Terimakasih. Senang sekali setelah sekian lama explore sana sini, akhirnya design terbaru ini bisa launching. Makasih mama papa atas supportnya selama ini. Ini persembahan buat mama papa."
Orangtua Nadine muncul di panggung, mengenakan pakaian yang juga terbuat dari Kain Tapis. Mereka berpelukan. Tepuk tangan kembali terdengar.
"Dan, aku juga punya sekelompok sahabat yang sangat intens memberikan banyak masukan. Please welcome my best friends... Indah, Sandy, Victor, Iman, Baldi dan Arya." Suara suitan agak histeris terdengar, begitu para undangan melihat sosok-sosok keren sahabat Nadine yang semuanya juga memakai kemeja dari Kain Tapis.
Aerin yang sebenarnya tidak terlalu fokus dengan closing speech dari Nadine, otomatis melihat ke panggung begitu nama Arya disebut. Ia melihat Arya berjalan melewati kursi tempat ia duduk tanpa berpaling kearahnya. Sangat tidak mungkin Arya tidak tahu kehadirannya disini. Arya tampak sangat sehat, senyumnya tak pernah lepas mengiringi kehebohan para wanita yang ada di ruangan.
Sampai pada acara cocktail hampir selesai, Arya tetap tidak menyapanya. Arya terlihat sangat sibuk melayani para undangan wanita yang tak berhenti mengajaknya bicara. Aerin sesekali mencuri pandang, ia merasa sedikit terganggu dengan cara Arya memperlakukan wanita-wanita itu.
"Bos kamu laris manis."
Nadine menghampiri Aerin yang terlihat lebih suka sendiri daripada berbaur dengan yang lain. Aerin tersenyum.
"Selamat, mbak. It's so beautiful, I love it. Bahkan aku baru tau Kain Tapis disini." Keduanya berpelukan.
"Makasih, sayang. Dress ini pas banget buat kamu. Ini limited edition looh, dan tidak ada nama kamu di daftar pembeli," selidik Nadine yang membuat Aerin tertawa.
Tentu saja, ini dress hadiah dari mama yang konon katanya hanya dijahit 1 lusin saja.
"A gift from someone who loves me," jawab Aerin yang membuat Nadine mengerti.
"Mbak, aku permisi dulu ya. Aku harus ke kantor, masih banyak banget kerjaan."
"Ini Sabtu, Arya membuat kamu lembur?" Tanya Nadine dengan sebel. Aerin menggeleng.
"Aku mau cuti panjang, makanya berburu dengan waktu."
"Okay dear, take care. Gak say hello ke Arya?" Aerin menggeleng lagi.
Dari sudut matanya dari tadi ia melihat beberapa wanita yang bersama Arya bahkan pakai acara pegang-pegang tangan Arya segala. Arya tidak protes, malah seperti menikmati keakraban mereka. Dan itu sangat mengganggunya. Sudah sangat lama perasaan tak nyaman seperti ini tidak muncul. Rasa cemburu yang saat ia kecil tak pernah bisa ia kendalikan.
"Sampai jumpa, mbak. Good luck untuk design barunya."
"Thanks dear." Keduanya berpelukan sebelum Aerin melangkah keluar restoran tanpa melihat ke Arya.
***
Tak terasa sudah hampir di akhir Desember. Pekerjaan terakhirnya untuk Global Architect juga sudah selesai. Dan hari ini Aerin menuju ke Global Architect untuk memperkenalkan sistem database yang dirancangnya.
Mbak Vita benar, staf disini daun muda semua. Ia merasa seperti sedang menyampaikan kuliah untuk mahasiswa baru yang tak lepas memandangnya dengan penuh perhatian.
Arya yang sedang berada di ruang kerjanya bersama dengan seorang teman, hanya memperhatikan dari balik kaca ruangannya. Ruangannya disekat dengan mirror glass sehingga pandangan dari luar tidak tembus ke dalam, dan yang di dalam bisa dengan jelas melihat ke luar.
"Alexa..." Ucap teman Arya yang berambut gondrong, tak lepas memperhatikan sosok Aerin.
"What! Aerin Alessandra, staf IT aku di Global Cell." Satria tertawa lebar.
"Yes, tapi kami mengenalnya sebagai Alexa. Dia salah satu lulusan terbaik dan masuk dalam barisan elit certified hacker." Satria adalah teman Arya yang bermukim di Amerika, seseorang yang selama ini membantu Arya mencari Irin.
"Lu bisa cari data tentang dia, pasti tidak akan ketemu. Data dia dilindungi oleh sistem keamanan canggih karena dia sering terlibat dalam proyek rahasia." Arya bengong, sekarang ia bisa sedikit mengerti mengapa banyak sekali hal-hal yang tersembunyi tentang Aerin.
"Kamu ingin ketemu dia?" Tawar Arya karena melihat Satria tak lepas memperhatikan Aerin.
"No! Gue masih malu." Jawab Satria dengan wajah sedikit memerah. Arya menjadi sangat penasaran.
"Lu masih ingat komputer gue yang dulu terserang virus tiba-tiba?"
Arya mengangguk. Tentu saja, ia yang kemudian membelikan Satria perangkat komputer baru karena Satria tidak punya uang.
"Itu kerjaan dia."
Arya mendelik. "How come?"
"Dulu gue pernah coba-coba ganggu dia. Eh, dia langsung kirim gue milyaran virus. Bahkan dia pakai kirim pesan suara segala. Hi kid, don't ever play with me." Arya tertawa geli sampai mengeluarkan airmatanya.
"A gift from someone who loves me," jawab Aerin yang membuat Nadine mengerti.
"Mbak, aku permisi dulu ya. Aku harus ke kantor, masih banyak banget kerjaan."
"Ini Sabtu, Arya membuat kamu lembur?" Tanya Nadine dengan sebel. Aerin menggeleng.
"Aku mau cuti panjang, makanya berburu dengan waktu."
"Okay dear, take care. Gak say hello ke Arya?" Aerin menggeleng lagi.
Dari sudut matanya dari tadi ia melihat beberapa wanita yang bersama Arya bahkan pakai acara pegang-pegang tangan Arya segala. Arya tidak protes, malah seperti menikmati keakraban mereka. Dan itu sangat mengganggunya. Sudah sangat lama perasaan tak nyaman seperti ini tidak muncul. Rasa cemburu yang saat ia kecil tak pernah bisa ia kendalikan.
"Sampai jumpa, mbak. Good luck untuk design barunya."
"Thanks dear." Keduanya berpelukan sebelum Aerin melangkah keluar restoran tanpa melihat ke Arya.
***
Tak terasa sudah hampir di akhir Desember. Pekerjaan terakhirnya untuk Global Architect juga sudah selesai. Dan hari ini Aerin menuju ke Global Architect untuk memperkenalkan sistem database yang dirancangnya.
Mbak Vita benar, staf disini daun muda semua. Ia merasa seperti sedang menyampaikan kuliah untuk mahasiswa baru yang tak lepas memandangnya dengan penuh perhatian.
Arya yang sedang berada di ruang kerjanya bersama dengan seorang teman, hanya memperhatikan dari balik kaca ruangannya. Ruangannya disekat dengan mirror glass sehingga pandangan dari luar tidak tembus ke dalam, dan yang di dalam bisa dengan jelas melihat ke luar.
"Alexa..." Ucap teman Arya yang berambut gondrong, tak lepas memperhatikan sosok Aerin.
"What! Aerin Alessandra, staf IT aku di Global Cell." Satria tertawa lebar.
"Yes, tapi kami mengenalnya sebagai Alexa. Dia salah satu lulusan terbaik dan masuk dalam barisan elit certified hacker." Satria adalah teman Arya yang bermukim di Amerika, seseorang yang selama ini membantu Arya mencari Irin.
"Lu bisa cari data tentang dia, pasti tidak akan ketemu. Data dia dilindungi oleh sistem keamanan canggih karena dia sering terlibat dalam proyek rahasia." Arya bengong, sekarang ia bisa sedikit mengerti mengapa banyak sekali hal-hal yang tersembunyi tentang Aerin.
"Kamu ingin ketemu dia?" Tawar Arya karena melihat Satria tak lepas memperhatikan Aerin.
"No! Gue masih malu." Jawab Satria dengan wajah sedikit memerah. Arya menjadi sangat penasaran.
"Lu masih ingat komputer gue yang dulu terserang virus tiba-tiba?"
Arya mengangguk. Tentu saja, ia yang kemudian membelikan Satria perangkat komputer baru karena Satria tidak punya uang.
"Itu kerjaan dia."
Arya mendelik. "How come?"
"Dulu gue pernah coba-coba ganggu dia. Eh, dia langsung kirim gue milyaran virus. Bahkan dia pakai kirim pesan suara segala. Hi kid, don't ever play with me." Arya tertawa geli sampai mengeluarkan airmatanya.
Satria ikutan tertawa. Kalau ingat saat itu, nasibnya memang apes banget. Tapi Alexa membuat ia belajar lebih rajin dan lebih professional.
"5 tahun yang lalu dia resign dari timnya dan memilih balik ke Jakarta, walaupun tetap menerima job hacker. Gue nggak nyangka dia bekerja di Global Cell. Are you sure dia IT Expert lu?" Tanya Satria tak habis pikir. Arya mengangguk.
"Dia bisa menghasilkan ratusan ribu dollar dalam beberapa jam saja. Untuk apa dia kerja di lu?" Satria bertanya lagi.
Arya hanya tersenyum, itu pertanyaan yang sudah lama sekali mengganggunya.
"Eh, bro. Lu kan masih cari Irin? Kenapa gak minta tolong Alexa saja? Dia pasti bisa tolong lu. Itu sih pekerjaan sekian menit aja buat dia."
"Maksud kamu...minta tolong Aerin mencari data Irin?"
Satria mengangguk. Arya seperti tersadar sendiri. Benar, kenapa tidak dari dulu ia terpikirkan tentang ide itu? Tapi mungkin ide itu tidak pernah terlintas di benaknya karena ia tidak ingin urusan pribadinya diketahui orang lain.
"Tapi kenapa kamu gak ke Surabaya saja? Langsung ketemu dengan orangtua Irin." Arya menarik napas berat.
"Bukannya aku tidak mau, tapi aku belum siap. Om Bramantio itu pengusaha besar, tidak sembarang orang bisa dengan mudah menjumpainya. Orangnya juga sangat strict, aku harus mempersiapkan diri dengan baik sebelum kesana. Aku pemain baru disini, Global Architect ini salah satu cara aku menunjukkan kemampuanku kepada orangtua Irin. Ini perusahaan yang aku bangun sendiri." Satria mengangguk, ia sangat mengerti Arya.
Aerin keluar dari kantor Global Architect dengan wajah sedikit sedih. Bahkan sampai dengan pertemuannya dengan staf Arya selesai, Arya tidak menemuinya. Apakah Arya menjadi sangat membencinya karena pertengkaran itu? Ia berharap sebelum kepergiannya, ia bisa menjelaskan semuanya kepada Arya. Agar saat ia kembali nanti, mereka bisa menjadi tetangga yang berteman baik.
***
Mario dan yang lain membantu membereskan meja kerja Aerin. Ada beberapa box yang sudah terisi barang pribadi Aerin yang kemudian mereka simpan di kamar istirahatnya. Tadi siang mereka sudah lunch bersama untuk menandai perpisahan sementara karena ini hari terakhir Aerin bekerja sebelum cuti panjangnya.
Aerin yang sudah keluar dari ruangannya, naik ke rooftop sebentar. Ia pasti akan merindukan pemandangan di rooftop, tempat ia selalu datang bila sedang sedih.
Kabut tipis menghiasi Kota Jakarta sore itu, cuaca agak dingin. Aerin tak tau pasti apa perasaannya saat ini. Harus bersedihkah? Karena Arya tidak muncul di hari terakhir ia bekerja atau harus senang karena ketidakmunculan Arya...berarti usahanya untuk membuat Arya melupakannya, berhasil. Tapi tak bisakah Arya datang menemuinya sekali saja untuk sekedar mengucapkan sampai jumpa?
Dadanya sesak memikirkan itu, menyadari ia masih sangat mengharapkan kehadiran Arya.
"Mas Arya, I still love you!" Teriaknya keras dengan mata berkaca-kaca.
"But I hate you! I really hate you!" Teriaknya lagi, kali ini ia tak sanggup menahan airmatanya. Ia menangis dengan suara tertahan.
"Aerin..."
Sebuah suara yang sangat dirindukannya terdengar dari belakang. Aerin segera berbalik dan melihat Arya yang bengong menatapnya. Aerin segera menghapus airmata di pipinya. Dia akhirnya datang juga.
"Pak Arya! Sudah berapa lama Pak Arya ada disini?" Tanyanya dengan gugup.
"Are you okay?" Arya tak menggubris pertanyaan Aerin. Ia sangat khawatir karena Aerin menangis.
"Sudah berapa lama Pak Arya ada disini?" Tanya Aerin lagi. Arya tersenyum.
"Cukup lama dan mendengar kamu meneriakkan love you, kemudian...but I hate you! I really hate you," jawab Arya dengan senyum menggoda.
"5 tahun yang lalu dia resign dari timnya dan memilih balik ke Jakarta, walaupun tetap menerima job hacker. Gue nggak nyangka dia bekerja di Global Cell. Are you sure dia IT Expert lu?" Tanya Satria tak habis pikir. Arya mengangguk.
"Dia bisa menghasilkan ratusan ribu dollar dalam beberapa jam saja. Untuk apa dia kerja di lu?" Satria bertanya lagi.
Arya hanya tersenyum, itu pertanyaan yang sudah lama sekali mengganggunya.
"Eh, bro. Lu kan masih cari Irin? Kenapa gak minta tolong Alexa saja? Dia pasti bisa tolong lu. Itu sih pekerjaan sekian menit aja buat dia."
"Maksud kamu...minta tolong Aerin mencari data Irin?"
Satria mengangguk. Arya seperti tersadar sendiri. Benar, kenapa tidak dari dulu ia terpikirkan tentang ide itu? Tapi mungkin ide itu tidak pernah terlintas di benaknya karena ia tidak ingin urusan pribadinya diketahui orang lain.
"Tapi kenapa kamu gak ke Surabaya saja? Langsung ketemu dengan orangtua Irin." Arya menarik napas berat.
"Bukannya aku tidak mau, tapi aku belum siap. Om Bramantio itu pengusaha besar, tidak sembarang orang bisa dengan mudah menjumpainya. Orangnya juga sangat strict, aku harus mempersiapkan diri dengan baik sebelum kesana. Aku pemain baru disini, Global Architect ini salah satu cara aku menunjukkan kemampuanku kepada orangtua Irin. Ini perusahaan yang aku bangun sendiri." Satria mengangguk, ia sangat mengerti Arya.
Aerin keluar dari kantor Global Architect dengan wajah sedikit sedih. Bahkan sampai dengan pertemuannya dengan staf Arya selesai, Arya tidak menemuinya. Apakah Arya menjadi sangat membencinya karena pertengkaran itu? Ia berharap sebelum kepergiannya, ia bisa menjelaskan semuanya kepada Arya. Agar saat ia kembali nanti, mereka bisa menjadi tetangga yang berteman baik.
***
Mario dan yang lain membantu membereskan meja kerja Aerin. Ada beberapa box yang sudah terisi barang pribadi Aerin yang kemudian mereka simpan di kamar istirahatnya. Tadi siang mereka sudah lunch bersama untuk menandai perpisahan sementara karena ini hari terakhir Aerin bekerja sebelum cuti panjangnya.
Aerin yang sudah keluar dari ruangannya, naik ke rooftop sebentar. Ia pasti akan merindukan pemandangan di rooftop, tempat ia selalu datang bila sedang sedih.
Kabut tipis menghiasi Kota Jakarta sore itu, cuaca agak dingin. Aerin tak tau pasti apa perasaannya saat ini. Harus bersedihkah? Karena Arya tidak muncul di hari terakhir ia bekerja atau harus senang karena ketidakmunculan Arya...berarti usahanya untuk membuat Arya melupakannya, berhasil. Tapi tak bisakah Arya datang menemuinya sekali saja untuk sekedar mengucapkan sampai jumpa?
Dadanya sesak memikirkan itu, menyadari ia masih sangat mengharapkan kehadiran Arya.
"Mas Arya, I still love you!" Teriaknya keras dengan mata berkaca-kaca.
"But I hate you! I really hate you!" Teriaknya lagi, kali ini ia tak sanggup menahan airmatanya. Ia menangis dengan suara tertahan.
"Aerin..."
Sebuah suara yang sangat dirindukannya terdengar dari belakang. Aerin segera berbalik dan melihat Arya yang bengong menatapnya. Aerin segera menghapus airmata di pipinya. Dia akhirnya datang juga.
"Pak Arya! Sudah berapa lama Pak Arya ada disini?" Tanyanya dengan gugup.
"Are you okay?" Arya tak menggubris pertanyaan Aerin. Ia sangat khawatir karena Aerin menangis.
"Sudah berapa lama Pak Arya ada disini?" Tanya Aerin lagi. Arya tersenyum.
"Cukup lama dan mendengar kamu meneriakkan love you, kemudian...but I hate you! I really hate you," jawab Arya dengan senyum menggoda.
Apa itu artinya Arya tidak mendengar saat ia meneriakkan namanya? Aerin menarik napas lega.
"Aku kasih tau kamu ya. Jangan pernah bilang I hate you! I really hate you pada pria manapun karena itu bikin sakit hati banget. Apalagi bila kata-kata itu keluar dari gadis seperfect kamu," goda Arya dengan wajah jenaka yang membuat Aerin tertawa.
"Aku kasih tau kamu ya. Jangan pernah bilang I hate you! I really hate you pada pria manapun karena itu bikin sakit hati banget. Apalagi bila kata-kata itu keluar dari gadis seperfect kamu," goda Arya dengan wajah jenaka yang membuat Aerin tertawa.
Tentu saja, ia sudah beberapa kali mengucapkan kata-kata mujarab itu kepada Arya.
"Pak Arya mencari aku?" Arya mengangguk. Sejauh ini pembicaraan mereka berlangsung dengan damai.
"Kamu akan pergi besok, tentu saja aku harus datang. Aku harus mengingatkan kamu untuk kembali tepat waktu," terang Arya yang membuat Aerin sedikit kecewa.
"Dan, aku ingin minta tolong. Tolong lacak seseorang..."
🎵I'm a big big girl, in a big...🎵 4
Arya berhenti bicara, suara hp Aerin berbunyi yang membuat Aerin mengalihkan perhatiannya kesana.
Aerin melihat ke layar Hpnya. Ada nama Mbak Sri disana. Mbak Sri tidak akan menelponnya kalau tidak ada yang urgent apalagi belakangan ini Ibu Sakinah, mamanya Mbak Sri sering sakit-sakitan.
"Maaf, Pak Arya. Aku terima telpon sebentar ya." Arya mengangguk, wajah Aerin tampak agak khawatir.
"Iya, mbak." Terdengar suara tangisan.
"Ada apa, mbak?" Teriak Aerin sangat khawatir.
"Ibu terjatuh dari tempat tidur dan tidak sadar. Mbak izin pulang ke rumah."
"Oke, mbak tenang. Jangan panik! Minta satpam antar mbak pulang. Aku kirim ambulance ke rumah mbak dan kita jumpa di rumah sakit. Oke?" Arya mendengar instruksi Aerin yang tampak sangat tegas.
"Baik, non. Mbak pulang sekarang. Makasih banyak, non."
"Sama-sama, mbak." Aerin menarik napas panjang. Kepanikan Mbak Sri membuat ia tak tenang.
"Pak Arya, sorry. I have to go, ada yang urgent. Pak Arya kirim WA aja, ntar gitu masalah ini teratasi...akan aku lacak. Bye bye," ucap Aerin sambil melangkah cepat meninggalkan Arya yang masih diam mematung.
==========
Ambulance tiba di Rumah Sakit Premier menjelang maghrib. Ibu Sakinah langsung dilarikan ke Emergency Room. Mbak Sri mulai kelihatan tenang setelah dokter bilang ibunya hanya menderita shock akibat terjatuh dan akan siuman kembali.
Aerin menempatkan Ibu Sakinah di ruang VIP yang membuat Sri menangis terharu.
"Mbak simpan ini. Mbak bisa pakai berapapun buat biaya rumah sakit dan buat keperluan lainnya selama aku pergi. Passwordnya aku tulis di kertas ini ya." Aerin menulis angka 120885 di sticky note kecil dan menempelkannya ke black card.
"Makasih banyak, non." Sri memeluk Aerin yang sudah bersiap-siap pulang ke rumah.
"Aku permisi, mbak. Sampai jumpa di Bulan Mei. Salam buat ibu.'
"Iya, non. Hati-hati disana." Aerin memeluk Mbak Sri sekali lagi, sebelum pergi.
Penerbangan ke Tokyo dengan Garuda Indonesia pukul 11.40 malam dan bila semuanya berjalan lancar, Aerin akan tiba pukul 08.50 pagi waktu setempat. Aerin merebahkan tubuhnya di kursi empuk pesawat bersiap untuk tidur, ia sangat lelah hari ini.
***
Keesokan siangnya Arya dan Farah menuju ke RS Premier setelah mendapat kabar dari Sri. Ibu Sakinah sudah sadar tapi masih sangat lemah dan sering tertidur.
Seorang suster masuk ke kamar dan memberitahukan Sri untuk menyelesaikan urusan administrasi. Sri langsung permisi keluar ruangan. Arya yang tau persis berapa biaya yang dikeluarkan buat ruang VIP segera menyusul Sri.
Sri mengeluarkan black card yang tertempel sticky note kecil dari dompetnya. Arya memperhatikan tulisan itu yang sangat familiar dalam ingatannya. 120885? Itu adalah password yang sama yang ia pakai pada black cardnya dan itu adalah singkatan angka kelahirannya.
Secara reflek Arya mengambil black card itu dari tangan Sri yang membuat Sri kaget banget karena tak tau Arya berdiri di belakangnya. Ia tak bisa berkata apa-apa saat Arya melepaskan kertas kecil itu dan membaca nama yang tertulis di kartu.
"AERIN ALESSANDRA BRAMANTIO." Arya seakan tak percaya, ia mengulang sekali lagi. Tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"AERIN ALESSANDRA BRAMANTIO," ucapnya dengan nada lemah dan tangan bergetar. Matanya berkaca-kaca menatap Sri yang merasa sangat bersalah.
"Ini maksudnya apa, mbak?" Tanya Arya masih tak percaya.
"Itu Irin. Maafkan mbak, Irin meminta mbak untuk merahasiakannya. Maaf, Den Arya. Maaf." Sri menangis karena rasa bersalahnya. Reaksi Arya membuat ia menyesal tak berterusterang.
Arya terdiam sesaat, ia mencoba mencerna pelan apa yang baru saja dijelaskan Mbak Sri. Irin yang dicarinya ternyata adalah Aerin yang telah membuat ia mabuk cinta. Secara perlahan, ia mulai mengerti banyak hal.
"Dimana Irin sekarang?" Tanyanya setelah agak tenang.
"Tadi malam sudah terbang ke Tokyo." Arya melihat jam di tangannya. Perbedaan waktu Jakarta Jepang hanya 2 jam, seharusnya Irin sudah mendarat disana pukul 11 tadi.
Arya mengambil hpnya mencoba menelpon Irin, tapi Hpnya masih off atau mungkin nomornya dioffkan selama dia di luar negeri.
***
Sore itu juga, Arya dan orangtuanya terbang ke Surabaya. Ia harus berburu dengan waktu. Dari Tante Mirna yang nomor hpnya ia minta dari Mbak Sri, ia tahu kalau orangtua Irin sudah mulai memilih-milih pria yang akan menjadi kandidat calon suami Irin.
Begitu tiba di Surabaya, mereka langsung menuju ke Kediaman Keluarga Bramantio. Kedatangan mereka yang mendadak sudah diketahui oleh Diana dan Bramantio karena Mirna sudah menelpon.
" Long time no see. Apa kabar?" Sapa Diana yang langsung memeluk Farah dengan erat. Bramantio juga memeluk Ferdinand.
"Dan ini? Ini si biang kerok?" Tanya Bramantio sambil menatap Arya dengan wajah sangat serius, tapi kemudian tertawa sendiri yang membuat suasana yang tiba-tiba tegang, menjadi rileks kembali.
Arya langsung menjabat tangan orangtua Irin.
"Iya, aku si biang kerok, om," ucapnya yang membuat semua tertawa lagi.
"Ayoo masuk, kita makan malam dulu. Pembicaraan yang serius-serius ntar setelah perut kenyang."
Sepanjang jalan menuju ke ruang makan, ada banyak photo Irin di dinding rumah yang tak berujung. Kediaman Irin luas sekali dan sangat megah.
***
"Kalian pasti capek. Gimana kalau istirahat dulu? Besok baru kita bicara..." Tawar Diana begitu makan malam selesai. Ia bisa melihat wajah Farah yang tampak lelah.
"Malam ini saja, tante. Aku khawatir besok sudah terlambat," jawab Arya yang membuat Farah dan Ferdinand menahan senyum.
"Hei, memangnya kamu mau bicara apa? Kenapa bisa besok sudah terlambat?" Canda Diana yang sebenarnya sudah tau maksud kedatangan Arya. Arya tersenyum.
"Aku datang untuk melamar Irin. Aku sebenarnya pulang ke Jakarta memang untuk melamar Irin. Tapi prosesnya jadi lama sekali karena Irin menyembunyikan identitas dirinya." Bramantio dan Diana tau Arya sangat bersungguh-sungguh.
"Juga terjadi banyak sekali kesalahpahaman diantara kami. Dalam perjalanan mencari Irin, aku malah jatuh cinta kepada Aerin yang ternyata Irin. Ini benar-benar complicated."
"Jadi kamu ingin melamar Irin?" Tanya Bramantio yang akhirnya bisa menarik napas lega.
"Pak Arya mencari aku?" Arya mengangguk. Sejauh ini pembicaraan mereka berlangsung dengan damai.
"Kamu akan pergi besok, tentu saja aku harus datang. Aku harus mengingatkan kamu untuk kembali tepat waktu," terang Arya yang membuat Aerin sedikit kecewa.
"Dan, aku ingin minta tolong. Tolong lacak seseorang..."
🎵I'm a big big girl, in a big...🎵 4
Arya berhenti bicara, suara hp Aerin berbunyi yang membuat Aerin mengalihkan perhatiannya kesana.
Aerin melihat ke layar Hpnya. Ada nama Mbak Sri disana. Mbak Sri tidak akan menelponnya kalau tidak ada yang urgent apalagi belakangan ini Ibu Sakinah, mamanya Mbak Sri sering sakit-sakitan.
"Maaf, Pak Arya. Aku terima telpon sebentar ya." Arya mengangguk, wajah Aerin tampak agak khawatir.
"Iya, mbak." Terdengar suara tangisan.
"Ada apa, mbak?" Teriak Aerin sangat khawatir.
"Ibu terjatuh dari tempat tidur dan tidak sadar. Mbak izin pulang ke rumah."
"Oke, mbak tenang. Jangan panik! Minta satpam antar mbak pulang. Aku kirim ambulance ke rumah mbak dan kita jumpa di rumah sakit. Oke?" Arya mendengar instruksi Aerin yang tampak sangat tegas.
"Baik, non. Mbak pulang sekarang. Makasih banyak, non."
"Sama-sama, mbak." Aerin menarik napas panjang. Kepanikan Mbak Sri membuat ia tak tenang.
"Pak Arya, sorry. I have to go, ada yang urgent. Pak Arya kirim WA aja, ntar gitu masalah ini teratasi...akan aku lacak. Bye bye," ucap Aerin sambil melangkah cepat meninggalkan Arya yang masih diam mematung.
==========
Ambulance tiba di Rumah Sakit Premier menjelang maghrib. Ibu Sakinah langsung dilarikan ke Emergency Room. Mbak Sri mulai kelihatan tenang setelah dokter bilang ibunya hanya menderita shock akibat terjatuh dan akan siuman kembali.
Aerin menempatkan Ibu Sakinah di ruang VIP yang membuat Sri menangis terharu.
"Mbak simpan ini. Mbak bisa pakai berapapun buat biaya rumah sakit dan buat keperluan lainnya selama aku pergi. Passwordnya aku tulis di kertas ini ya." Aerin menulis angka 120885 di sticky note kecil dan menempelkannya ke black card.
"Makasih banyak, non." Sri memeluk Aerin yang sudah bersiap-siap pulang ke rumah.
"Aku permisi, mbak. Sampai jumpa di Bulan Mei. Salam buat ibu.'
"Iya, non. Hati-hati disana." Aerin memeluk Mbak Sri sekali lagi, sebelum pergi.
Penerbangan ke Tokyo dengan Garuda Indonesia pukul 11.40 malam dan bila semuanya berjalan lancar, Aerin akan tiba pukul 08.50 pagi waktu setempat. Aerin merebahkan tubuhnya di kursi empuk pesawat bersiap untuk tidur, ia sangat lelah hari ini.
***
Keesokan siangnya Arya dan Farah menuju ke RS Premier setelah mendapat kabar dari Sri. Ibu Sakinah sudah sadar tapi masih sangat lemah dan sering tertidur.
Seorang suster masuk ke kamar dan memberitahukan Sri untuk menyelesaikan urusan administrasi. Sri langsung permisi keluar ruangan. Arya yang tau persis berapa biaya yang dikeluarkan buat ruang VIP segera menyusul Sri.
Sri mengeluarkan black card yang tertempel sticky note kecil dari dompetnya. Arya memperhatikan tulisan itu yang sangat familiar dalam ingatannya. 120885? Itu adalah password yang sama yang ia pakai pada black cardnya dan itu adalah singkatan angka kelahirannya.
Secara reflek Arya mengambil black card itu dari tangan Sri yang membuat Sri kaget banget karena tak tau Arya berdiri di belakangnya. Ia tak bisa berkata apa-apa saat Arya melepaskan kertas kecil itu dan membaca nama yang tertulis di kartu.
"AERIN ALESSANDRA BRAMANTIO." Arya seakan tak percaya, ia mengulang sekali lagi. Tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"AERIN ALESSANDRA BRAMANTIO," ucapnya dengan nada lemah dan tangan bergetar. Matanya berkaca-kaca menatap Sri yang merasa sangat bersalah.
"Ini maksudnya apa, mbak?" Tanya Arya masih tak percaya.
"Itu Irin. Maafkan mbak, Irin meminta mbak untuk merahasiakannya. Maaf, Den Arya. Maaf." Sri menangis karena rasa bersalahnya. Reaksi Arya membuat ia menyesal tak berterusterang.
Arya terdiam sesaat, ia mencoba mencerna pelan apa yang baru saja dijelaskan Mbak Sri. Irin yang dicarinya ternyata adalah Aerin yang telah membuat ia mabuk cinta. Secara perlahan, ia mulai mengerti banyak hal.
"Dimana Irin sekarang?" Tanyanya setelah agak tenang.
"Tadi malam sudah terbang ke Tokyo." Arya melihat jam di tangannya. Perbedaan waktu Jakarta Jepang hanya 2 jam, seharusnya Irin sudah mendarat disana pukul 11 tadi.
Arya mengambil hpnya mencoba menelpon Irin, tapi Hpnya masih off atau mungkin nomornya dioffkan selama dia di luar negeri.
***
Sore itu juga, Arya dan orangtuanya terbang ke Surabaya. Ia harus berburu dengan waktu. Dari Tante Mirna yang nomor hpnya ia minta dari Mbak Sri, ia tahu kalau orangtua Irin sudah mulai memilih-milih pria yang akan menjadi kandidat calon suami Irin.
Begitu tiba di Surabaya, mereka langsung menuju ke Kediaman Keluarga Bramantio. Kedatangan mereka yang mendadak sudah diketahui oleh Diana dan Bramantio karena Mirna sudah menelpon.
" Long time no see. Apa kabar?" Sapa Diana yang langsung memeluk Farah dengan erat. Bramantio juga memeluk Ferdinand.
"Dan ini? Ini si biang kerok?" Tanya Bramantio sambil menatap Arya dengan wajah sangat serius, tapi kemudian tertawa sendiri yang membuat suasana yang tiba-tiba tegang, menjadi rileks kembali.
Arya langsung menjabat tangan orangtua Irin.
"Iya, aku si biang kerok, om," ucapnya yang membuat semua tertawa lagi.
"Ayoo masuk, kita makan malam dulu. Pembicaraan yang serius-serius ntar setelah perut kenyang."
Sepanjang jalan menuju ke ruang makan, ada banyak photo Irin di dinding rumah yang tak berujung. Kediaman Irin luas sekali dan sangat megah.
***
"Kalian pasti capek. Gimana kalau istirahat dulu? Besok baru kita bicara..." Tawar Diana begitu makan malam selesai. Ia bisa melihat wajah Farah yang tampak lelah.
"Malam ini saja, tante. Aku khawatir besok sudah terlambat," jawab Arya yang membuat Farah dan Ferdinand menahan senyum.
"Hei, memangnya kamu mau bicara apa? Kenapa bisa besok sudah terlambat?" Canda Diana yang sebenarnya sudah tau maksud kedatangan Arya. Arya tersenyum.
"Aku datang untuk melamar Irin. Aku sebenarnya pulang ke Jakarta memang untuk melamar Irin. Tapi prosesnya jadi lama sekali karena Irin menyembunyikan identitas dirinya." Bramantio dan Diana tau Arya sangat bersungguh-sungguh.
"Juga terjadi banyak sekali kesalahpahaman diantara kami. Dalam perjalanan mencari Irin, aku malah jatuh cinta kepada Aerin yang ternyata Irin. Ini benar-benar complicated."
"Jadi kamu ingin melamar Irin?" Tanya Bramantio yang akhirnya bisa menarik napas lega.
Ia tidak perlu menjodohkan Irin dengan pria yang tidak dicintainya.
"Iya, om. Aku harap om dan Tante belum menjodohkan Irin dengan pria lain."
"Sebentar..."
Bramantio mengambil hpnya dan menekan nomor hp yang dipakai Irin selama liburan. Ia menghidupkan speaker supaya semua bisa mendengar pembicaraannya dengan Irin.
"Iya, om. Aku harap om dan Tante belum menjodohkan Irin dengan pria lain."
"Sebentar..."
Bramantio mengambil hpnya dan menekan nomor hp yang dipakai Irin selama liburan. Ia menghidupkan speaker supaya semua bisa mendengar pembicaraannya dengan Irin.
Hubungan tersambung.
"Hm...papa ada apa? Baru sehari aku pergi, kenapa udah telpon?" Protes Irin dengan suara malas banget.
"Hm...papa ada apa? Baru sehari aku pergi, kenapa udah telpon?" Protes Irin dengan suara malas banget.
Bahkan suaranya yang menguap terdengar jelas. Semuanya menahan senyum. Arya seperti dejavu, sikap aslinya Irin ya seperti itu.
"Kamu dimana?"
"Aku di Mandarin Oriental Tokyo, disini 1 malam. Besok baru teman-temanku pada datang. Papa, ada apa? Aku masih ngantuk berat." Aerin menguap lagi.
"Tentang perjodohan kamu. Ada yang datang melamar kamu."
"What! Secepat itukah?" Aerin terdiam sesaat mengatasi kekagetannya.
"Terserah papa saja. Aku pasrah! Kalau papa nilai itu cocok dan bisa melindungi aku, terima saja. I believe in you and mama."
"Bagaimana dengan Arya?" Arya tak mengira Om Bramantio menyebut namanya.
"Papa tau tentang Mas Arya?" Tanya Aerin yang membuat ia terjaga penuh dari rasa kantuknya.
"Mama sudah cerita."
"Hm...I love him! I love him so much! Dia tak tergantikan. Tapi papa, dia sudah punya seseorang yang dicintainya dan aku tidak mau mengganggu walaupun mungkin aku bisa. Dan papa juga tidak boleh mengganggu Mas Arya! Do you hear me?" Tanya Aerin tegas dengan nada seperti menangis. Ia mengenal dengan baik watak papanya. Ia khawatir papanya akan melakukan sesuatu kepada Arya karena telah membuat ia menderita.
Mata Arya berkaca-kaca mendengar nada tegas Irin kepada papanya. Farah mengelus bahu Arya dengan penuh kasih.
"Iya, sayang. Papa janji papa tidak akan ganggu Mas Arya kamu itu," canda Bramantio yang membuat Aerin tersenyum.
"So, papa sudah terima lamaran buat kamu. Ingat, jangan macam-macam lagi. Cepat kembali, kamu sudah ada yang menunggu disini. Apa perlu papa kirim photonya?" Aerin tak langsung menjawab.
"Ah, tidak usah! Ntar aja jumpanya saat aku pulang. Kalau papa kirim photo, trus aku tidak suka...itu bisa jadi nightmare dan liburanku bisa gagal." Bramantio tertawa sambil melirik lainnya yang menahan senyum.
"Oke, cepat pulang ya. Take care." Hubungan terputus.
"So, kamu yakin mau melamar Irin?" Tiba-tiba suasana berubah sangat serius. Arya mengangguk cepat.
"Sangat yakin, om."
"Baik, om terima karena memang putri om mencintai kamu. Tapi ingat, kalau kamu menyakiti Irin...om bisa melakukan apa saja pada kamu dan keluarga kamu," ucap Bramantio dengan sedikit emosi. Ada rasa sedih menyerahkan putrinya kepada orang lain.
"Ferdinand, Farah...jaga anak kamu jangan sampai menyakiti Irin," ucapnya lagi dengan mata berkaca-kaca. Diana memeluk suaminya yang tampak tak kuasa menahan sedih.
"Tentu, mas. Jangan khawatir. Arya pasti akan menjaga Irin dengan sangat baik. Kami pastikan itu," janji Ferdinand sambil melirik Arya yang cukup shock melihat Bramantio menangis.
Dan seminggu kemudian Aerin mendapat kiriman paket dari papanya yang berisi 1 set perhiasan berlian berwarna pink pucat, yang papanya sebut sebagai hadiah lamaran. Entah saudagar kaya mana yang telah melamarnya sampai hadiah lamaran saja bisa semewah ini.
Aerin memasangkan cincin ke jari manisnya. Tentu saja indah sekali, cahaya berlian yang berwarna pink pucat memancarkan cahaya yang begitu lembut dan ukuran cincin itu sangat pas di jarinya. Senyum Aerin terkembang, semoga saja nantinya ia bisa dengan ikhlas menerima pria pemilik set perhiasan ini.
Bersambung #26
"Aku di Mandarin Oriental Tokyo, disini 1 malam. Besok baru teman-temanku pada datang. Papa, ada apa? Aku masih ngantuk berat." Aerin menguap lagi.
"Tentang perjodohan kamu. Ada yang datang melamar kamu."
"What! Secepat itukah?" Aerin terdiam sesaat mengatasi kekagetannya.
"Terserah papa saja. Aku pasrah! Kalau papa nilai itu cocok dan bisa melindungi aku, terima saja. I believe in you and mama."
"Bagaimana dengan Arya?" Arya tak mengira Om Bramantio menyebut namanya.
"Papa tau tentang Mas Arya?" Tanya Aerin yang membuat ia terjaga penuh dari rasa kantuknya.
"Mama sudah cerita."
"Hm...I love him! I love him so much! Dia tak tergantikan. Tapi papa, dia sudah punya seseorang yang dicintainya dan aku tidak mau mengganggu walaupun mungkin aku bisa. Dan papa juga tidak boleh mengganggu Mas Arya! Do you hear me?" Tanya Aerin tegas dengan nada seperti menangis. Ia mengenal dengan baik watak papanya. Ia khawatir papanya akan melakukan sesuatu kepada Arya karena telah membuat ia menderita.
Mata Arya berkaca-kaca mendengar nada tegas Irin kepada papanya. Farah mengelus bahu Arya dengan penuh kasih.
"Iya, sayang. Papa janji papa tidak akan ganggu Mas Arya kamu itu," canda Bramantio yang membuat Aerin tersenyum.
"So, papa sudah terima lamaran buat kamu. Ingat, jangan macam-macam lagi. Cepat kembali, kamu sudah ada yang menunggu disini. Apa perlu papa kirim photonya?" Aerin tak langsung menjawab.
"Ah, tidak usah! Ntar aja jumpanya saat aku pulang. Kalau papa kirim photo, trus aku tidak suka...itu bisa jadi nightmare dan liburanku bisa gagal." Bramantio tertawa sambil melirik lainnya yang menahan senyum.
"Oke, cepat pulang ya. Take care." Hubungan terputus.
"So, kamu yakin mau melamar Irin?" Tiba-tiba suasana berubah sangat serius. Arya mengangguk cepat.
"Sangat yakin, om."
"Baik, om terima karena memang putri om mencintai kamu. Tapi ingat, kalau kamu menyakiti Irin...om bisa melakukan apa saja pada kamu dan keluarga kamu," ucap Bramantio dengan sedikit emosi. Ada rasa sedih menyerahkan putrinya kepada orang lain.
"Ferdinand, Farah...jaga anak kamu jangan sampai menyakiti Irin," ucapnya lagi dengan mata berkaca-kaca. Diana memeluk suaminya yang tampak tak kuasa menahan sedih.
"Tentu, mas. Jangan khawatir. Arya pasti akan menjaga Irin dengan sangat baik. Kami pastikan itu," janji Ferdinand sambil melirik Arya yang cukup shock melihat Bramantio menangis.
Dan seminggu kemudian Aerin mendapat kiriman paket dari papanya yang berisi 1 set perhiasan berlian berwarna pink pucat, yang papanya sebut sebagai hadiah lamaran. Entah saudagar kaya mana yang telah melamarnya sampai hadiah lamaran saja bisa semewah ini.
Aerin memasangkan cincin ke jari manisnya. Tentu saja indah sekali, cahaya berlian yang berwarna pink pucat memancarkan cahaya yang begitu lembut dan ukuran cincin itu sangat pas di jarinya. Senyum Aerin terkembang, semoga saja nantinya ia bisa dengan ikhlas menerima pria pemilik set perhiasan ini.
Bersambung #26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel