Cerita Bersambung
“Mas Faiz?” Apa kau membuntutiku?”
“Boleh aku masuk? Selama aku belum menceritakan semuanya, aku tak akan tenang.”
“Pulanglah Mas, kau sudah cukup membuatku terluka.”
“Siapa di luar Nak?” ucap ibuku tiba-tiba keluar.
Seketika wajah ibuku berubah pucat, dia memandang Mas Faiz dengan tatapan yang akupun tak mengerti. Dia hanya diam mematung dan terus menatap ke arah laki-laki.
“Ibu.” ucap Mas Faiz yang tiba-tiba langsung masuk dan perlahan jatuh memeluk kaki ibuku.
“Ibu.” ucap Mas Faiz yang tiba-tiba langsung masuk dan perlahan jatuh memeluk kaki ibuku.
Kulihat ibu hanya diam mematung, nampak air matanya mulai menetes.
“Ibu, maafkan aku. Aku telah sangat menyakiti ibu dan Nada.”
Melihat ibuku hanya diam dan menangis, aku langsung mendekat dan menarik baju laki-laki itu.
“Pulanglah Mas, kami tak menerima Mas di rumah ini lagi. Jangan ganggu Kehidupan kami, cukup semua yang mas lakukan dulu.”
“Ibu, izinkan aku bicara. Aku akan menjelaskan semuanya.”
“Tak ada yang perlu dijelaskan. Saat ini yang kami butuh hanya kepergian mas dari hadapan kami.” ucapku yang juga mulai menangis.
“Ibu, aku mohon.”
“Pergi Mas, jangan ganggu kami lagi!!!” ucapku dengan suara mulai meninggi.
“Antar ibu ke kamar Nada.” ucap ibuku tanpa memperdulikan laki-laki itu.
Aku segera mendorong laki-laki itu hingga membuatnya tersungkur. Perlahan aku membawa tubuh ibuku menuju kamarnya dan membaringkannya.
“Nada, apa kau tak ingin mendengar alasannya? Ibu sangat terkejut melihat dia, namun ibu rasa ada alasan besar yang dia simpan.” ucap Ibuku ketika aku membaringkannya.
Mendengar ucapan ibu, membuat aku sangat terkejut, bagaimana tidak, tadi siang dia telah menjelaskan sedikit alasannya dan itu telah membuat aku tersakiti, bagaimana jika aku mendengar semuanya.
“Tapi Bu ...”
“Ibu sangat harap kau mau mendengarkan alasannya.”
“Tapi kenapa Bu? Apa tidak cukup semua yang di lakukannya. Aku tak ingin mendengarkan lagi alasannya.”
“Bertahun - tahun, kau berada dalam tanda tanya dengan sikapnya, jadi bukankah ini saatnya kau mengetahui semuanya.”
“Maafkan aku Bu, aku tak ingin lagi mengetahui alasannya, aku tak ingin membuka lagi luka hatiku karena mendengar alasannya. Rasanya aku tak punya kata maaf untuknya. Dan mungkin karena saat ini aku sudah cukup bahagia dengan keadaan ini. Sekarang Ibu istirahat saja dulu.” ucapku yang perlahan meninggalkannya.
Aku keluar dan mendapati Mas Faiz yang telah duduk di sofa sembari merunduk.
“Kenapa Mas masih di sini? Bahkan Ibuku pun tak mau bicara dengan Mas”
“Nada, aku mohon. Beri aku waktu untuk menceritakan dan meminta maaf, aku ingin bicara juga dengan ibu. Aku tahu aku laki-laki berdosa, aku ingin meminta maaf pada ibu.”
“Sudah aku katakan, waktu bicara Mas telah habis sejak lima tahun lalu. Sekarang pulanglah. Aku tak ingin membahas apapun.”
“Nada, kau belum mendengar semuanya.”
Aku menatap laki-laki itu dengan wajah emosi.
“Apa yang harus aku dengar Mas?!!! Apaaaa?!!! Inti dari semua ini telah aku ketahui, aku ini cuma bahan permainan Mas, tak lebih. Semua janji-janji indah hanyalah permainan kotor Mas. Tak ada cinta Mas di hubungan kita dulu, yang ada ...” aku terdiam karena hatiku bergetar mengucap kata Cinta, entah kenapa perasaanku kembali sakit.
“Ibu, maafkan aku. Aku telah sangat menyakiti ibu dan Nada.”
Melihat ibuku hanya diam dan menangis, aku langsung mendekat dan menarik baju laki-laki itu.
“Pulanglah Mas, kami tak menerima Mas di rumah ini lagi. Jangan ganggu Kehidupan kami, cukup semua yang mas lakukan dulu.”
“Ibu, izinkan aku bicara. Aku akan menjelaskan semuanya.”
“Tak ada yang perlu dijelaskan. Saat ini yang kami butuh hanya kepergian mas dari hadapan kami.” ucapku yang juga mulai menangis.
“Ibu, aku mohon.”
“Pergi Mas, jangan ganggu kami lagi!!!” ucapku dengan suara mulai meninggi.
“Antar ibu ke kamar Nada.” ucap ibuku tanpa memperdulikan laki-laki itu.
Aku segera mendorong laki-laki itu hingga membuatnya tersungkur. Perlahan aku membawa tubuh ibuku menuju kamarnya dan membaringkannya.
“Nada, apa kau tak ingin mendengar alasannya? Ibu sangat terkejut melihat dia, namun ibu rasa ada alasan besar yang dia simpan.” ucap Ibuku ketika aku membaringkannya.
Mendengar ucapan ibu, membuat aku sangat terkejut, bagaimana tidak, tadi siang dia telah menjelaskan sedikit alasannya dan itu telah membuat aku tersakiti, bagaimana jika aku mendengar semuanya.
“Tapi Bu ...”
“Ibu sangat harap kau mau mendengarkan alasannya.”
“Tapi kenapa Bu? Apa tidak cukup semua yang di lakukannya. Aku tak ingin mendengarkan lagi alasannya.”
“Bertahun - tahun, kau berada dalam tanda tanya dengan sikapnya, jadi bukankah ini saatnya kau mengetahui semuanya.”
“Maafkan aku Bu, aku tak ingin lagi mengetahui alasannya, aku tak ingin membuka lagi luka hatiku karena mendengar alasannya. Rasanya aku tak punya kata maaf untuknya. Dan mungkin karena saat ini aku sudah cukup bahagia dengan keadaan ini. Sekarang Ibu istirahat saja dulu.” ucapku yang perlahan meninggalkannya.
Aku keluar dan mendapati Mas Faiz yang telah duduk di sofa sembari merunduk.
“Kenapa Mas masih di sini? Bahkan Ibuku pun tak mau bicara dengan Mas”
“Nada, aku mohon. Beri aku waktu untuk menceritakan dan meminta maaf, aku ingin bicara juga dengan ibu. Aku tahu aku laki-laki berdosa, aku ingin meminta maaf pada ibu.”
“Sudah aku katakan, waktu bicara Mas telah habis sejak lima tahun lalu. Sekarang pulanglah. Aku tak ingin membahas apapun.”
“Nada, kau belum mendengar semuanya.”
Aku menatap laki-laki itu dengan wajah emosi.
“Apa yang harus aku dengar Mas?!!! Apaaaa?!!! Inti dari semua ini telah aku ketahui, aku ini cuma bahan permainan Mas, tak lebih. Semua janji-janji indah hanyalah permainan kotor Mas. Tak ada cinta Mas di hubungan kita dulu, yang ada ...” aku terdiam karena hatiku bergetar mengucap kata Cinta, entah kenapa perasaanku kembali sakit.
Aku kembali bingung dengan perasaan ku saat ini, harusnya tak ada lagi rasa sakit seperti ini, harusnya hanya kecewa yang tersisa, tapi kenapa masih begitu sakit mengucapkan kata cinta. apa aku masih mencintai laki-laki ini?
“Tidak Nada, aku benar-benar memiliki perasaan padamu. Aku benar-benar mencintaimu.”
“Mas memang laki-laki pembohong, jika Mas mencintaiku, Mas tak akan pernah meninggalkanku di hari bahagiaku!! Dan jika Mas benar mencintaiku Mas tak kan membuatku menangis. Tapi yang ada, Mas malah meninggalkanku dan pergi dengan wanita lain.” ucapku yang mulai menangis.
“Nada, maka dari itu dengarkan. Aku akan menceritakan semuanya sekarang, ayuk duduk dan tenanglah."
“Gak Mas, sekarang Mas pulang. Aku tak punya waktu untuk Mas lagi. Waktu dan kesempatan Mas sudah hilang lima tahun lalu. Yang ada saat ini aku hanya membenci Mas. Mas dengar, Aku membenci Mas, sangat membenci Mas.”
“Tapi Nada ...”
“Mas aku mohon, tinggalkan rumah ini sekarang.”
Mas Faiz menatapku dengan perasaan bersalah, dia tau kalo dia tak akan semudah itu mendapatkan maafku.
“Tidak Nada, aku benar-benar memiliki perasaan padamu. Aku benar-benar mencintaimu.”
“Mas memang laki-laki pembohong, jika Mas mencintaiku, Mas tak akan pernah meninggalkanku di hari bahagiaku!! Dan jika Mas benar mencintaiku Mas tak kan membuatku menangis. Tapi yang ada, Mas malah meninggalkanku dan pergi dengan wanita lain.” ucapku yang mulai menangis.
“Nada, maka dari itu dengarkan. Aku akan menceritakan semuanya sekarang, ayuk duduk dan tenanglah."
“Gak Mas, sekarang Mas pulang. Aku tak punya waktu untuk Mas lagi. Waktu dan kesempatan Mas sudah hilang lima tahun lalu. Yang ada saat ini aku hanya membenci Mas. Mas dengar, Aku membenci Mas, sangat membenci Mas.”
“Tapi Nada ...”
“Mas aku mohon, tinggalkan rumah ini sekarang.”
Mas Faiz menatapku dengan perasaan bersalah, dia tau kalo dia tak akan semudah itu mendapatkan maafku.
Aku membuang wajahku dan tak ingin menatapnya lagi. Perlahan dia berdiri dan berjalan keluar. Ketika di pintu di laki-laki itu berbalik dan menatapku.
“Nada, kau tahu, perasaan cintaku padamu masih utuh hingga saat ini. Aku masih sangat mencintaimu.” ucapnya pelan dan berjalan pergi.
Aku terkejut mendengar ucapannya, perlahan air mataku menetes kembali. Kau bohong Mas, kau hanya mencoba mempermainkan aku lagi.
Malamnya aku tidur dengan tidak tenang, bagaimana tidak hari ini aku mendapatkan kejutan yang tak pernah aku duga, bertemu laki-laki itu kembali, semua kenangan itu kembali menari-nari di pikiranku membuat lukaku kembali terbuka.
“Nada, kau tahu, perasaan cintaku padamu masih utuh hingga saat ini. Aku masih sangat mencintaimu.” ucapnya pelan dan berjalan pergi.
Aku terkejut mendengar ucapannya, perlahan air mataku menetes kembali. Kau bohong Mas, kau hanya mencoba mempermainkan aku lagi.
Malamnya aku tidur dengan tidak tenang, bagaimana tidak hari ini aku mendapatkan kejutan yang tak pernah aku duga, bertemu laki-laki itu kembali, semua kenangan itu kembali menari-nari di pikiranku membuat lukaku kembali terbuka.
Sejenak ada perasaan bahagia mengingat awal hubungan kami, namun ketika mengingat hari pernikahan itu, air mataku kembali menetes, kenapa kau lakukan ini padaku Mas? Kenapa? Jika hari itu kau tak meninggalkan aku, mungkin saat ini kita sudah sangat bahagia. Dan air mata inipun mengantarkan aku tertidur.
•••
Keesokan paginya...
Aku bangun dengan kepalaku yang terasa berat hingga kuputuskan untuk tak pergi ke kantor. Aku kembali teringat kejadian kemarin hingga kembali membuatku menangis.
•••
Keesokan paginya...
Aku bangun dengan kepalaku yang terasa berat hingga kuputuskan untuk tak pergi ke kantor. Aku kembali teringat kejadian kemarin hingga kembali membuatku menangis.
Aku tak bisa seperti ini, tiap hari aku akan bertemu dengannya dan hanya akan membuat lukaku terbuka semakin lebar. Apa aku sebaiknya berhenti dari kantor itu?
DI KANTOR
Faiz tiba di kantor, beberapa wanita mulai nampak mencari perhatiannya.
“Selamat pagi Pak Faiz.” ucap beberapa Wanita dengan suara genit.
Faiz menatap kembali pada mereka dan tersenyum.
“Selamat pagi juga.” balas yang langsung menuju ruangannya.
“Wah senyummnya, gak tahan.” ucap salah satu wanita.
“Eh dia kan belum menikah, jadi masih bisa di perebutkan.”
“Eh tapi sebentar, udah dengar belum gosip kemarin?”
“Apa?” ucap beberapa wanita berbarengan.
“Kemarin kata Diva, dia melihat Nada keluar dari Toilet wanita di ikuti Pak Faiz.”
“Seriusssss?”
“Iya bener, aku sih gak mikir aneh-aneh. Pak Faiz setampan itu dan berpendidikan tinggi pasti tak melakukan apa-apa, tapi ...” ucap wanita itu berbisik.
“Tapi, kayaknya si Nada yang keganjenan pengen deketin Pak Faiz.”
“Iya bener tuh, wanita itu kan selalu merasa sok kecantikan.”
Selang beberapa lama Faiz keluar kembali membuat wanita-wanita itu segera membubarkan diri. Namun Faiz keluar hanya untuk mengecek keberadaan Nada. Tak melihatnya diapun kembali masuk ke ruangannya.
DI KANTOR
Faiz tiba di kantor, beberapa wanita mulai nampak mencari perhatiannya.
“Selamat pagi Pak Faiz.” ucap beberapa Wanita dengan suara genit.
Faiz menatap kembali pada mereka dan tersenyum.
“Selamat pagi juga.” balas yang langsung menuju ruangannya.
“Wah senyummnya, gak tahan.” ucap salah satu wanita.
“Eh dia kan belum menikah, jadi masih bisa di perebutkan.”
“Eh tapi sebentar, udah dengar belum gosip kemarin?”
“Apa?” ucap beberapa wanita berbarengan.
“Kemarin kata Diva, dia melihat Nada keluar dari Toilet wanita di ikuti Pak Faiz.”
“Seriusssss?”
“Iya bener, aku sih gak mikir aneh-aneh. Pak Faiz setampan itu dan berpendidikan tinggi pasti tak melakukan apa-apa, tapi ...” ucap wanita itu berbisik.
“Tapi, kayaknya si Nada yang keganjenan pengen deketin Pak Faiz.”
“Iya bener tuh, wanita itu kan selalu merasa sok kecantikan.”
Selang beberapa lama Faiz keluar kembali membuat wanita-wanita itu segera membubarkan diri. Namun Faiz keluar hanya untuk mengecek keberadaan Nada. Tak melihatnya diapun kembali masuk ke ruangannya.
Jam menunjukan pukul sepuluh, Faiz kembali keluar dan mencari Nada kembali namun tak menemukannya. Ada rasa khawatir dalam dirinya.
Dia perlahan berjalan dan menuju ke meja Ayu yang berada di sebelah mejaku.
“Eemmm .. maaf.”
“Eh Pak Faiz, ada apa? Ada yang bisa aku bantu? Kalo Bapak butuh bantuanku, bapak bisa menyuruh Fira seketraris Bapak memanggiku.” ucap Ayu yang terkejut melihat Mas Faiz tiba-tiba berdiri di hadapannya.
“Oh gak, aku cuma ingin tanya, apa kau tau kenapa Nada gak masuk?”
Ayu nampak terkejut mendengar pertanyaan Mas Faiz.
“Oh dia lagi sakit Pak, tadi mengabariku.”
“Sakit? Sakit apa? Apa sakitnya parah?” tanya Mas Faiz dengan wajah khawatir.
Ayu kembali terkejut mendengar ucapan Bosnya itu. Bagaimana mungkin Pak Faiz yang baru dua hari ini ada di kantor ini dan begitu khawatir pada Nada yag baru dikenalnya. Atau apa mereka sebenarnya saling kenal?
“Oh gak Pak, dia cuma sakit kepala aja katanya. Gak pa-pa.”
Faiz nampak sedikit lega, setelah berterima kasih dia kembali ke ruangannya diikuti tatapan Ayu yang bingung dengan sikap Bos barunya.
•••
“Nada, apa kau sudah bertemu Nak Faiz sebelum-sebelumnya?”tanya ibuku ketika kami sarapan.
“Oh itu, gak Bu, aku baru kemarin bertemu dengannya di Kantor?” Jawabku yang terkejut kalo ibu akan membahas laki-laki itu kembali.
“Di Kantor?”
“Iya Bu, Mas Faiz Bos aku sekarang.”
“Oh ya? Nak Faiz sudah sukses rupanya.”
“Bukan Bu, dia berbohong pada kita dulu, sebenarnya dia anak Direktur Perusahaan tempat aku bekerja.”
“Apa kau yakin Nada?”
“Iya Bu, kemarin Pak Adi memperkenalkan Dia di kantor.”
“Jadi dia berbohong tentang itu juga pada kita? Apa tujuannya sebenarnya?”
“Sudahlah Bu, gak usah dipikirkan. Kita sudah jauh melupakan dia, jadi biarkan semua seperti saat ini.”
“Tapi, bagaimana denganmu?”
“Apa Maksud ibu?”
“Apa kau bisa bekerja sekantor dengan Nak Faiz? Pasti kau sangat berat bekerja dengannya.”
Aku menatap ke arah ibuku yang sedang menunggu jawaban. Ibuku paling mengerti keadaanku. Dia tahu kalo aku pasti merasa berat dengan semua ini.
“Entalah Bu, tadinya aku pikir aku ingin berhenti, tapi aku tak ingin dia melihatku sebagai wanita lemah, aku ingin dia melihat kalo aku bukan wanita bodoh lagi.”
“Nak, ibu mendukung apapapun keputusanmu. Jika nanti kau mulai lelah dengan semua ini, berhentilah segera, ibu akan selalu ada bersamamu.”
Aku tersenyum dan memegang tangannya. Ibu memang yang terbaik.
Aku berbaring kembali di kasurku setelah mandi dan sarapan, ibu tak banyak bertanya lagi, dia tahu aku masih sangat terluka, dan dia akan menunggu waktunya ketika aku siapa bercerita kembali, akupun tahu dia juga cukup terkejut dengan semua ini.
“Eemmm .. maaf.”
“Eh Pak Faiz, ada apa? Ada yang bisa aku bantu? Kalo Bapak butuh bantuanku, bapak bisa menyuruh Fira seketraris Bapak memanggiku.” ucap Ayu yang terkejut melihat Mas Faiz tiba-tiba berdiri di hadapannya.
“Oh gak, aku cuma ingin tanya, apa kau tau kenapa Nada gak masuk?”
Ayu nampak terkejut mendengar pertanyaan Mas Faiz.
“Oh dia lagi sakit Pak, tadi mengabariku.”
“Sakit? Sakit apa? Apa sakitnya parah?” tanya Mas Faiz dengan wajah khawatir.
Ayu kembali terkejut mendengar ucapan Bosnya itu. Bagaimana mungkin Pak Faiz yang baru dua hari ini ada di kantor ini dan begitu khawatir pada Nada yag baru dikenalnya. Atau apa mereka sebenarnya saling kenal?
“Oh gak Pak, dia cuma sakit kepala aja katanya. Gak pa-pa.”
Faiz nampak sedikit lega, setelah berterima kasih dia kembali ke ruangannya diikuti tatapan Ayu yang bingung dengan sikap Bos barunya.
•••
“Nada, apa kau sudah bertemu Nak Faiz sebelum-sebelumnya?”tanya ibuku ketika kami sarapan.
“Oh itu, gak Bu, aku baru kemarin bertemu dengannya di Kantor?” Jawabku yang terkejut kalo ibu akan membahas laki-laki itu kembali.
“Di Kantor?”
“Iya Bu, Mas Faiz Bos aku sekarang.”
“Oh ya? Nak Faiz sudah sukses rupanya.”
“Bukan Bu, dia berbohong pada kita dulu, sebenarnya dia anak Direktur Perusahaan tempat aku bekerja.”
“Apa kau yakin Nada?”
“Iya Bu, kemarin Pak Adi memperkenalkan Dia di kantor.”
“Jadi dia berbohong tentang itu juga pada kita? Apa tujuannya sebenarnya?”
“Sudahlah Bu, gak usah dipikirkan. Kita sudah jauh melupakan dia, jadi biarkan semua seperti saat ini.”
“Tapi, bagaimana denganmu?”
“Apa Maksud ibu?”
“Apa kau bisa bekerja sekantor dengan Nak Faiz? Pasti kau sangat berat bekerja dengannya.”
Aku menatap ke arah ibuku yang sedang menunggu jawaban. Ibuku paling mengerti keadaanku. Dia tahu kalo aku pasti merasa berat dengan semua ini.
“Entalah Bu, tadinya aku pikir aku ingin berhenti, tapi aku tak ingin dia melihatku sebagai wanita lemah, aku ingin dia melihat kalo aku bukan wanita bodoh lagi.”
“Nak, ibu mendukung apapapun keputusanmu. Jika nanti kau mulai lelah dengan semua ini, berhentilah segera, ibu akan selalu ada bersamamu.”
Aku tersenyum dan memegang tangannya. Ibu memang yang terbaik.
Aku berbaring kembali di kasurku setelah mandi dan sarapan, ibu tak banyak bertanya lagi, dia tahu aku masih sangat terluka, dan dia akan menunggu waktunya ketika aku siapa bercerita kembali, akupun tahu dia juga cukup terkejut dengan semua ini.
Handphone seketika berdering, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal.
“Hallo.”
“Nada, kenapa kau tak ada di kantor?”
“Maaf, ini siapa?”
“Apa kau tak mengenal suaraku?”
“Hmm, Mas Gardy?”
“Syukurlah kau mengingatku. Aku di kantor menunggumu, banyak yang harus aku tanya, tapi aku mau kau yang menjelaskannya sendiri padaku.”
“Tapi Mas ...”
“Pokoknya aku menunggumu di Kantor ya.”
Laki-laki itu langsung menutup telponya tanpa mendengar jawabanku. Aku bingung harus bagaimana, hari ini aku benar-benar tak ingin bertemu dengan Mas Faiz, tapi jika aku tak datang, aku akan dianggap karyawan yang tak punya tanggung jawab dengan pekerjaanku.
“Hallo.”
“Nada, kenapa kau tak ada di kantor?”
“Maaf, ini siapa?”
“Apa kau tak mengenal suaraku?”
“Hmm, Mas Gardy?”
“Syukurlah kau mengingatku. Aku di kantor menunggumu, banyak yang harus aku tanya, tapi aku mau kau yang menjelaskannya sendiri padaku.”
“Tapi Mas ...”
“Pokoknya aku menunggumu di Kantor ya.”
Laki-laki itu langsung menutup telponya tanpa mendengar jawabanku. Aku bingung harus bagaimana, hari ini aku benar-benar tak ingin bertemu dengan Mas Faiz, tapi jika aku tak datang, aku akan dianggap karyawan yang tak punya tanggung jawab dengan pekerjaanku.
Akhirnya dengan berat hati aku memutuskan untuk berangkat ke kantor.
Tiba di kantor, Ayu sangat terkejut melihat kedatanganku, tapi saat ini aku tak punya waktu menjelaskan karena harus buru-buru ke ruang rapat bertemu Mas Gardy.
Aku perlahan mengetuk dan masuk, nampak Mas Faiz, Mas Gardy dan dua orang bawahan Mas Gardy duduk menatapku, termasuk Fira menatapku dengan tatapan sinis.
“Maaf, aku ...”
“Oh Nada, kau sudah datang. Ayuk duduk.” ucap Mas Gardy sambil tersenyum.
“Maaf, aku ...”
“Oh Nada, kau sudah datang. Ayuk duduk.” ucap Mas Gardy sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya dan sedikit menatap pada Mas Faiz yang sedang menatapku juga dengan wajah tersenyum, namun aku langsung menyimpan senyumku kembali ketika melihatnya.
Pertemuan berjalan lancar, semua yang di tanyakan Mas Gardi bisa di selesaikan dengan baik.
Pertemuan berjalan lancar, semua yang di tanyakan Mas Gardi bisa di selesaikan dengan baik.
Sebagai bentuk terima kasihnya Mas Gardi mengajakku makan malam dan berjanji akan menjemputku. Aku sudah berusaha menolaknya, namun dia bersikukuh memaksaku.
“Pokoknya, nanti malam, aku akan menjemputmu. Tolong kirim alamatnya.” ucapnya di depan aku dan Mas Faiz.
“Pokoknya, nanti malam, aku akan menjemputmu. Tolong kirim alamatnya.” ucapnya di depan aku dan Mas Faiz.
Nampak Mas Faiz terlihat menatap dengan wajah yang aku tak mengerti. Namun aku tak peduli dengan dirinya.
“Tapi Mas, aku gak ...”
“Ohh Maaf, Pak Gardi dipanggil Mas sama Nada kenapa?” tanya Mas Faiz tiba-tiba.
Mas Gardi seketika menatap ke arah Mas Faiz yang tiba-tiba bertanya.
“Oh gak pa-pa Pak Faiz, aku hanya ingin agar bersikap santai aja. Apa ada masalah?”
“Oh gak, cuma aku rasa ...”
“Oh ya Mas Gardi, nanti aku kirim alamatnya, Nanti malam aku tunggu ya.” ucapku memotong pembicaraan mereka karena nampak Mas Faiz seperti agak kesal.
Mas Gardi mengangguk dan tersenyum senang, kemudian pamit dan meninggalkan kami. Aku langsung berusaha keluar, namun lagi-lagi Mas Faiz melakukan hal kemarin, mengunci pintu dan bahkan berani menarik tanganku. Seketika aku langsung menghempaskannya dengan kasar.
“Nada, kenapa kau begitu gampang percaya padanya, kau baru berkenalan dengannya kemarin.”
Aku menatapnya dengan tatapan marah.
“Oh ya? Tapi aku sekarang sudah bisa menjaga diri. Aku bukan wanita yang dulu, wanita yang mudah dibohongi oleh laki-laki seperti Mas, lagian Mas Gardi sepertinya laki-laki yang bisa di percaya dalam memegang janjinya.”
“Tapi kau belum mengenalnya, aku mohon jangan pergi bersamanya.”
“Dan Mas siapa berani melarangku? Yang sebenarnya yang gak aku kenal adalah Mas Faiz bukan Mas Gardi. Terlalu banyak kebohongan dalam diri Mas yang baru aku tahu.”
“Nada, sampai kapan kau akan marah dan membenciku?”
“Sampai kapan? Entalah, mungkin Mas bisa menungguku lima tahun lagi agar kata maaf bisa aku berikan.”
“Nada, aku mohon. Selama kau belum mendengar semuanya, aku tak kan tenang. Dengar aku ...”
“Berhenti bicara Mas, aku tak mau membuang waktuku lagi untuk Mas. Oh iya, aku izin pulang cepat, soalnya mau mempersiapkan acara makan malam.”
“Nada ...”
“Buka pintunya sekarang juga!!!”
Mas Faiz terus menatapku dengan wajah mengiba, tapi aku membalasnya dengan tatapan penuh emosi. Dengan berat hati akhirnya laki-laki itu membukan pintu dan membiarkan aku keluar.
Aku kembali duduk dan menatap layar komputerku dengan pandangan marah, kenapa aku bisa seperti ini. Rasanya tak sanggup terus bersikap seperti ini. Sebaiknya aku pulang sekarang juga.
“Kau mau kemana?” tanya Ayu tiba-tiba.
“Aku mau pulang.” jawabku sambil membereskan barang-barangku.
“Hei kau belum bercerita padaku, lagian banyak yang ingin aku tanya.”
“Nanti aja, pasti akan aku ceritakan. Tapi gak sekarang. Aku capek.” ucapku sembari pamit dan meninggalkan Ayu dengan wajah kecewa.
Aku berjalan dengan cepat keluar dari kantor, ingin rasanya buru-buru tiba di Rumah dan berbaring. Rasa sesak dan emosi menjadi satu di dada. Aku ingin menangis dan mengeluarkan rasa sesak di dadaku.
“Tapi Mas, aku gak ...”
“Ohh Maaf, Pak Gardi dipanggil Mas sama Nada kenapa?” tanya Mas Faiz tiba-tiba.
Mas Gardi seketika menatap ke arah Mas Faiz yang tiba-tiba bertanya.
“Oh gak pa-pa Pak Faiz, aku hanya ingin agar bersikap santai aja. Apa ada masalah?”
“Oh gak, cuma aku rasa ...”
“Oh ya Mas Gardi, nanti aku kirim alamatnya, Nanti malam aku tunggu ya.” ucapku memotong pembicaraan mereka karena nampak Mas Faiz seperti agak kesal.
Mas Gardi mengangguk dan tersenyum senang, kemudian pamit dan meninggalkan kami. Aku langsung berusaha keluar, namun lagi-lagi Mas Faiz melakukan hal kemarin, mengunci pintu dan bahkan berani menarik tanganku. Seketika aku langsung menghempaskannya dengan kasar.
“Nada, kenapa kau begitu gampang percaya padanya, kau baru berkenalan dengannya kemarin.”
Aku menatapnya dengan tatapan marah.
“Oh ya? Tapi aku sekarang sudah bisa menjaga diri. Aku bukan wanita yang dulu, wanita yang mudah dibohongi oleh laki-laki seperti Mas, lagian Mas Gardi sepertinya laki-laki yang bisa di percaya dalam memegang janjinya.”
“Tapi kau belum mengenalnya, aku mohon jangan pergi bersamanya.”
“Dan Mas siapa berani melarangku? Yang sebenarnya yang gak aku kenal adalah Mas Faiz bukan Mas Gardi. Terlalu banyak kebohongan dalam diri Mas yang baru aku tahu.”
“Nada, sampai kapan kau akan marah dan membenciku?”
“Sampai kapan? Entalah, mungkin Mas bisa menungguku lima tahun lagi agar kata maaf bisa aku berikan.”
“Nada, aku mohon. Selama kau belum mendengar semuanya, aku tak kan tenang. Dengar aku ...”
“Berhenti bicara Mas, aku tak mau membuang waktuku lagi untuk Mas. Oh iya, aku izin pulang cepat, soalnya mau mempersiapkan acara makan malam.”
“Nada ...”
“Buka pintunya sekarang juga!!!”
Mas Faiz terus menatapku dengan wajah mengiba, tapi aku membalasnya dengan tatapan penuh emosi. Dengan berat hati akhirnya laki-laki itu membukan pintu dan membiarkan aku keluar.
Aku kembali duduk dan menatap layar komputerku dengan pandangan marah, kenapa aku bisa seperti ini. Rasanya tak sanggup terus bersikap seperti ini. Sebaiknya aku pulang sekarang juga.
“Kau mau kemana?” tanya Ayu tiba-tiba.
“Aku mau pulang.” jawabku sambil membereskan barang-barangku.
“Hei kau belum bercerita padaku, lagian banyak yang ingin aku tanya.”
“Nanti aja, pasti akan aku ceritakan. Tapi gak sekarang. Aku capek.” ucapku sembari pamit dan meninggalkan Ayu dengan wajah kecewa.
Aku berjalan dengan cepat keluar dari kantor, ingin rasanya buru-buru tiba di Rumah dan berbaring. Rasa sesak dan emosi menjadi satu di dada. Aku ingin menangis dan mengeluarkan rasa sesak di dadaku.
Saat aku berjalan keluar dari pintu kantor tiba-tiba aku menabrak seorang wanita cantik yang membuatnya hampir terjatuh. Namun semua bawaanku jatuh berantakan.
“Hei lihat-lihat kalo jalan Mbak? Apa aku terlalu kecil hingga kau tak melihatku?”
“Iya maafkan aku, aku buru-buru.” ucapku sambil menjongkok membereskan barang-barangku. Aku hanya sedikit melihatnya sekilas.
Wanita itu perlahan mendekat dan berjongkok disebelahku.
“Aku sepertinya mengenalmu?” ucapnya dengan pandangan menyelidik.
Mendengar ucapannya seketika aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Aku juga seperti mengenalnya tapi dimana? Aku lupa.
“Hei lihat-lihat kalo jalan Mbak? Apa aku terlalu kecil hingga kau tak melihatku?”
“Iya maafkan aku, aku buru-buru.” ucapku sambil menjongkok membereskan barang-barangku. Aku hanya sedikit melihatnya sekilas.
Wanita itu perlahan mendekat dan berjongkok disebelahku.
“Aku sepertinya mengenalmu?” ucapnya dengan pandangan menyelidik.
Mendengar ucapannya seketika aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Aku juga seperti mengenalnya tapi dimana? Aku lupa.
Dia terus menatapku dengan pandangan yang aku tak mengerti maksudnya.
“Kau. Aku mengenalmu. Kau wanita yang dulu bekerja di toko buku.” ucapnya dengan wajah terkejut.
Akupun seketika itu mengingat dirinya.
“Ya, aku juga mengingatmu sekarang.” Terbayang kejadian dulu ketika wanita ini kedapatan mencuri di toko buku kami, dia berusaha mengelak namun aku menemukan beberapa buku di tasnya.
“Kau. Aku mengenalmu. Kau wanita yang dulu bekerja di toko buku.” ucapnya dengan wajah terkejut.
Akupun seketika itu mengingat dirinya.
“Ya, aku juga mengingatmu sekarang.” Terbayang kejadian dulu ketika wanita ini kedapatan mencuri di toko buku kami, dia berusaha mengelak namun aku menemukan beberapa buku di tasnya.
Aku tak tahu apa yang menyebabkan dia mencuri, padahal waktu itu penampilannya seperti anak orang kaya.
“Dunia memang sempit ya? Kau ingat dulu kau mempermalukan aku? Kau menuduhkan mencuri di toko buku tempatmu bekerja.”
“Aku bukan menuduhmu, tapi itu kenyataan, aku menemukan beberapa buku di dalam tasmu dan itu bukti.” jawabku.
“Iya, tapi kau melakukan itu di depan para pembeli yang lain? Dan kau tahu, aku merasa malu dan terhina.”
“Tapi kau benar mencurinya bukan?”
Kulihat wanita itu nampak sedikit tersenyum sinis.
“Ya, aku memang mencurinya. Tapi aku tak menyangka kau tega mempermalukan aku di depan banyak orang.”
“Aku melakukannya atas perintah pemilik toko, agar jadi pelajaran bagi yang berniat mencuri.”
“Aku tak peduli alasanmu. Yang pasti kau sudah mempermalukan aku. Oh iya, bagaimana rasanya di tinggal menikah? Pasti sangat memalukan bukan? Dan menyakitkan pastinya.” ucapnya dengan pandangan sinis.
Mendengar semua ucapannya, aku tak bisa berkata-kata, bagaimana dia bisa tahu kalo aku ditinggal menikah?
“Tapi ya setidaknya aku sangat bahagia waktu Mas Faiz berhasil membuatmu jatuh cinta. Dan lebih membahagiakan, Mas Faiz meninggalkanmu setelah membuat kau jatuh cinta padanya. Sangat menyakitkan bukan?” lanjutnya yang membuat aku semakin tak percaya mendengar semuanya.
“Jadi kau wanita yang mengirim pesan waktu itu?”
Wanita itu tersenyum sinis dan tertawa.
“Ya, itu aku. Ternyata ingatanmu cukup baik ya. Oh ya, Apa yang kau lakukan disini?”
Aku diam dan tak menjawabnya, pirkiranku begitu bingung dengan semua ini.
“Owww, kau bekerja di perusahaan ini rupanya” ucapnya sambil memegang kartu pengenalku.
Kakiku bergetar semuanya. Rasanya tak percaya dengan semua kejutan-kejutan ini.
“Hei kenapa diam? Apa kau sudah bertemu Mas Faiz? Laki-laki yang meninggalkamu?”
Dia terus menatapku dengan tatapan seperti bahagia dengan semua keadaan ini.
“Hei kenapa kau diam? Kau pasti sangat membencinya bukan? Atau kau masih sangat mencintainya?” ucapnya sembari berputar-putar mengelilingi tubuhku.
Aku hanya terus diam dan berpikir dengan semua ini. Sungguh aku tak mengerti dengan semua ini?
“Kau tahu, aku akan memberitahukan kau suatu rahasia. Aku adalah tunangan Mas Faiz.” Bisiknya pelan di telingaku yang membuat Mataku membesar dan tubuhku bergetar.
==========
Aku hanya terus diam dan berpikir dengan semua ini. Sungguh aku tak mengerti dengan semua ini?
“Kau tahu, aku akan memberitahukan kau suatu rahasia. Aku adalah tunangan Mas Faiz.” Bisiknya pelan di telingaku yang membuat mataku membesar dan tubuhku bergetar.
“Dunia memang sempit ya? Kau ingat dulu kau mempermalukan aku? Kau menuduhkan mencuri di toko buku tempatmu bekerja.”
“Aku bukan menuduhmu, tapi itu kenyataan, aku menemukan beberapa buku di dalam tasmu dan itu bukti.” jawabku.
“Iya, tapi kau melakukan itu di depan para pembeli yang lain? Dan kau tahu, aku merasa malu dan terhina.”
“Tapi kau benar mencurinya bukan?”
Kulihat wanita itu nampak sedikit tersenyum sinis.
“Ya, aku memang mencurinya. Tapi aku tak menyangka kau tega mempermalukan aku di depan banyak orang.”
“Aku melakukannya atas perintah pemilik toko, agar jadi pelajaran bagi yang berniat mencuri.”
“Aku tak peduli alasanmu. Yang pasti kau sudah mempermalukan aku. Oh iya, bagaimana rasanya di tinggal menikah? Pasti sangat memalukan bukan? Dan menyakitkan pastinya.” ucapnya dengan pandangan sinis.
Mendengar semua ucapannya, aku tak bisa berkata-kata, bagaimana dia bisa tahu kalo aku ditinggal menikah?
“Tapi ya setidaknya aku sangat bahagia waktu Mas Faiz berhasil membuatmu jatuh cinta. Dan lebih membahagiakan, Mas Faiz meninggalkanmu setelah membuat kau jatuh cinta padanya. Sangat menyakitkan bukan?” lanjutnya yang membuat aku semakin tak percaya mendengar semuanya.
“Jadi kau wanita yang mengirim pesan waktu itu?”
Wanita itu tersenyum sinis dan tertawa.
“Ya, itu aku. Ternyata ingatanmu cukup baik ya. Oh ya, Apa yang kau lakukan disini?”
Aku diam dan tak menjawabnya, pirkiranku begitu bingung dengan semua ini.
“Owww, kau bekerja di perusahaan ini rupanya” ucapnya sambil memegang kartu pengenalku.
Kakiku bergetar semuanya. Rasanya tak percaya dengan semua kejutan-kejutan ini.
“Hei kenapa diam? Apa kau sudah bertemu Mas Faiz? Laki-laki yang meninggalkamu?”
Dia terus menatapku dengan tatapan seperti bahagia dengan semua keadaan ini.
“Hei kenapa kau diam? Kau pasti sangat membencinya bukan? Atau kau masih sangat mencintainya?” ucapnya sembari berputar-putar mengelilingi tubuhku.
Aku hanya terus diam dan berpikir dengan semua ini. Sungguh aku tak mengerti dengan semua ini?
“Kau tahu, aku akan memberitahukan kau suatu rahasia. Aku adalah tunangan Mas Faiz.” Bisiknya pelan di telingaku yang membuat Mataku membesar dan tubuhku bergetar.
==========
Aku hanya terus diam dan berpikir dengan semua ini. Sungguh aku tak mengerti dengan semua ini?
“Kau tahu, aku akan memberitahukan kau suatu rahasia. Aku adalah tunangan Mas Faiz.” Bisiknya pelan di telingaku yang membuat mataku membesar dan tubuhku bergetar.
Air mataku tertahan di pelupuk mata, aku tidak percaya semua yang baru aku dengar. Jadi wanita ini adalah biang dari semua ini, dia yang menyebabkan sakit hatiku selama ini. Ternyata Dia yang merencakan semua ini, dan Mas Faiz melakukan semua itu karena perintah wanita ini? Sungguh aku tak menyangkah Mas Faiz melakukan semua ini karena seorang wanita.
Aku hendak pergi dan berlalu dari situ, namun hati kecilku melarangku untuk pergi, Tidak, aku tak boleh terlihat seperti wanita lemah, aku tak boleh menunjukan pada wanita jahat ini kalo dia telah berhasil menyakitiku dulu.
“Rupanya kau adalah penyebab semua ini?” ucapku berusaha menunjukan rasa tegar.
“Iya, dan kau bisa apa?”
“Apa kau tak punya perasaan melakukan itu? Kau seorang wanita dan kau bisa melakukan itu dengan tenang?”
“Ya, kau juga mempermalukan aku dulu tanpa rasa bersalah? “
“Tapi kau memang pantas mendapatkannya. Karena kau memang bersalah.” ucapku sambil menatap tajam.
“Dan aku rasa kau juga pantas mendapatkan hal yang sama.” balasnya.
“Dita, apa yang kau lakukan di sini?” ucap Faiz tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Ohh, hai sayang. Aku datang menemuimu. Kau tak mengabariku beberapa hari ini.” ucapnya sembari bergelayut manja di lengan Faiz.
“Apa yang telah kau katakan padanya?” ucap Faiz sambil menatapku.
“Oh, aku gak mengatakan apa-apa, aku hanya menceritakan sedikit tentang masa lalu yang kita lakukan padanya.”
“Kenapa kau bisa selancang itu bercerita padanya, aku yang berhak bercerita padanya.”
“Tapi Mas, Mas ingat kan tujuan awalnya.”
“Dan kaupun harusnya ingat dengan akhirnya juga.”
Melihat mereka seperti itu membuat aku semakin muak dengan semua ini. Aku berbalik dan berjalan meninggalkan mereka, namun tangan Mas Faiz tiba-tiba menarikku hingga membuat aku terkejut.
“Nada, ayuk kita bicara.” ucapnya yang masih memegang lengan tanganku.
“Mas Faiz!! Apa yang Mas lakukan? Kenapa memegang tangan wanitanya?” ucap Dita tiba-tiba sambil menatapku tajam.
“Nada, ikut denganku sekarang juga, kau mau mendengarkan atau tidak, hari ini semua akan aku ceritakan.”
“Mas Faiz, Kenapa Mas mengacuhkan aku? Mas masih mengingat wanita ini rupanya.” ucap Dita sembari mendekat dan berusaha melepaskan pegangan tangan Faiz dari lenganku.
“Maaf Mas, aku tak punya waktu dengan semua ini. Aku sekarang tau kenapa Mas meninggalkanku, penyebabnya karena wanita ini bukan?” ucapku sambil menatap marah.
“Nada, dengar memang dia penyebab semua ini, tapi kau belum mendengar semuanya dengan jelas.”
“Lepaskan aku Mas, aku mau pulang.”
“Mas, lepaskan dia, kita sudah tak ada urusan dengannya lagi.” lanjut Dita.
“Iya, lanjutkan saja rencana kalian, laki-laki dan wanita yang punya hati jahat memang pantas bersama.” ucapku yang semakin dibuat marah dengan sikap Mas Faiz dan wanita itu.
“Rupanya kau adalah penyebab semua ini?” ucapku berusaha menunjukan rasa tegar.
“Iya, dan kau bisa apa?”
“Apa kau tak punya perasaan melakukan itu? Kau seorang wanita dan kau bisa melakukan itu dengan tenang?”
“Ya, kau juga mempermalukan aku dulu tanpa rasa bersalah? “
“Tapi kau memang pantas mendapatkannya. Karena kau memang bersalah.” ucapku sambil menatap tajam.
“Dan aku rasa kau juga pantas mendapatkan hal yang sama.” balasnya.
“Dita, apa yang kau lakukan di sini?” ucap Faiz tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Ohh, hai sayang. Aku datang menemuimu. Kau tak mengabariku beberapa hari ini.” ucapnya sembari bergelayut manja di lengan Faiz.
“Apa yang telah kau katakan padanya?” ucap Faiz sambil menatapku.
“Oh, aku gak mengatakan apa-apa, aku hanya menceritakan sedikit tentang masa lalu yang kita lakukan padanya.”
“Kenapa kau bisa selancang itu bercerita padanya, aku yang berhak bercerita padanya.”
“Tapi Mas, Mas ingat kan tujuan awalnya.”
“Dan kaupun harusnya ingat dengan akhirnya juga.”
Melihat mereka seperti itu membuat aku semakin muak dengan semua ini. Aku berbalik dan berjalan meninggalkan mereka, namun tangan Mas Faiz tiba-tiba menarikku hingga membuat aku terkejut.
“Nada, ayuk kita bicara.” ucapnya yang masih memegang lengan tanganku.
“Mas Faiz!! Apa yang Mas lakukan? Kenapa memegang tangan wanitanya?” ucap Dita tiba-tiba sambil menatapku tajam.
“Nada, ikut denganku sekarang juga, kau mau mendengarkan atau tidak, hari ini semua akan aku ceritakan.”
“Mas Faiz, Kenapa Mas mengacuhkan aku? Mas masih mengingat wanita ini rupanya.” ucap Dita sembari mendekat dan berusaha melepaskan pegangan tangan Faiz dari lenganku.
“Maaf Mas, aku tak punya waktu dengan semua ini. Aku sekarang tau kenapa Mas meninggalkanku, penyebabnya karena wanita ini bukan?” ucapku sambil menatap marah.
“Nada, dengar memang dia penyebab semua ini, tapi kau belum mendengar semuanya dengan jelas.”
“Lepaskan aku Mas, aku mau pulang.”
“Mas, lepaskan dia, kita sudah tak ada urusan dengannya lagi.” lanjut Dita.
“Iya, lanjutkan saja rencana kalian, laki-laki dan wanita yang punya hati jahat memang pantas bersama.” ucapku yang semakin dibuat marah dengan sikap Mas Faiz dan wanita itu.
Aku kemudian menghempas pegangan tangan laki-laki itu dengan kasar.
“Diam kau. Siapa kau bisa bicara seperti itu pada kami. Ayuk Mas, kita naik ke atas, kita sudah tak punya urusan lagi dengan wanita ini.” ucap wanita itu dengan pandangan marah.
Kulihat Mas Faiz tak memperdulikan wanita itu. Dia malah meraih jemariku dan mengenggam tanganku dan menarikku berjalan meninggalkan wanita itu.
“Diam kau. Siapa kau bisa bicara seperti itu pada kami. Ayuk Mas, kita naik ke atas, kita sudah tak punya urusan lagi dengan wanita ini.” ucap wanita itu dengan pandangan marah.
Kulihat Mas Faiz tak memperdulikan wanita itu. Dia malah meraih jemariku dan mengenggam tanganku dan menarikku berjalan meninggalkan wanita itu.
Terdengar suara wanita itu berteriak memanggil namun Faiz tetap terus berjalan.
Aku sangat terkejut dengan sikap Faiz, namun kali ini aku sengaja membiarkan laki-laki ini melakukannnya. Bukankah aku tak mau terlihat kasihan di depan wanita itu.
Faiz melepas pegangan tangannya dan menyuruhku masuk ke mobilnya.
Mobil perlahan mulai melaju pelan, melaju kearah yang aku tak tahu akan kemana.
“Kita akan ke mana?”
“Kita akan bicara.”
“Maaf Mas, aku tak mau. Antarkan aku pulang.”
“Maaf Nada, kali ini aku tak akan mengikuti maumu. Suka tidak suka, aku ingin kau mau mendegarkan semuanya. Dan Jika nanti kaupun akan tetap marah dan membenciku aku ihklas, tapi setidaknya aku sudah menceritakan semuanya.”
Aku hanya diam dan tak menanggapi ucapannya. Apa sebaiknya aku mendengarkan penjelasannya? Wanita tadi telah membuat aku terkejut dengan semua ini. Dia sudah cukup becerita padaku yang membuat aku terluka.
Mobil perlahan mulai melaju pelan, melaju kearah yang aku tak tahu akan kemana.
“Kita akan ke mana?”
“Kita akan bicara.”
“Maaf Mas, aku tak mau. Antarkan aku pulang.”
“Maaf Nada, kali ini aku tak akan mengikuti maumu. Suka tidak suka, aku ingin kau mau mendegarkan semuanya. Dan Jika nanti kaupun akan tetap marah dan membenciku aku ihklas, tapi setidaknya aku sudah menceritakan semuanya.”
Aku hanya diam dan tak menanggapi ucapannya. Apa sebaiknya aku mendengarkan penjelasannya? Wanita tadi telah membuat aku terkejut dengan semua ini. Dia sudah cukup becerita padaku yang membuat aku terluka.
Aku teringat ucapan ibu, lima tahun aku hidup dalam tanda tanya, mungkin ini saatnya aku mengetahui alasannya. Aku akhirnya hanya diam membiarkan dia membawaku.
Tak beberapa lama perlahan mobil berhenti di sebuah taman. Laki-laki itu kemudian mematikan mesin mobilnya, menatapku dan mulai bicara.
“Nada aku ...”
“Langsung aja Mas, gak usah berbasa-basi.”
Aku terus memandang ke depan tanpa mau melihatnya, dekat dengannya saat ini sungguh membuat lukaku kembali terbuka ditambah dengan keadaan tadi membuat aku semakin merasa sakit.
“Nada aku ...”
“Langsung aja Mas, gak usah berbasa-basi.”
Aku terus memandang ke depan tanpa mau melihatnya, dekat dengannya saat ini sungguh membuat lukaku kembali terbuka ditambah dengan keadaan tadi membuat aku semakin merasa sakit.
Terlihat Mas Faiz menarik nafas panjangnya.
“Baiklah. Nada, pertama, yang kau katakan kemarin semuanya benar, aku bukan orang miskin yang selama ini kau tahu. Seperti yang kau lihat saat ini, itulah keadaan keluarga dari dulu sampe sekarang. Aku hidup hanya bersama Ayahku, ibuku meninggal saat aku masih SMP. Saat itu aku benar-benar merasa kehilangan. Di Rumah yang besar, aku tinggal sendiri dengan semua pelayan dan fasilitas yang lengkap, namun aku tak merasakan kenyamanan itu. Aku kesepian, sangat kesepian, dan mungkin itulah yang membuat aku menjadi anak yang tak bisa di kontrol. Aku sangat membenci keadaanku saat itu, dan itu berlangsung sampai aku lulus SMA, dan keadaan itu yang membuat aku menjadi anak yang mungkin kau tak akan percaya jika ku ceritakan sikap dan kelakuanku."
Aku terus mendengarnya, namun perasaan iba padanya mulai muncul, ya, iba karena sama-sama hanya hidup dengan satu orang tua, jika aku tanpa Ayah, Mas Faiz tanpa seorang ibu, tapi aku buru-buru menghalau rasa ibaku, laki-laki ini telah menyakitiku dan aku tak ingin ceritanya membuat aku memaafkannya. Lagian akupun sangat ingin tahu tentang hubungan wanita itu secara jelas dari mulut Mas Faiz.
“Semenjak Ibu meninggal, Ayahku menjadi orang sibuk. Aku tahu Dia juga sama terlukanya sepertiku, namun aku kecewa, dia tak mau tahu lagi dengan diriku, dia terus sibuk dengan bisnisnya, dan tak perduli dengan keaadanku yang kesepian, baginya pelayan dan fasilitas lengkap itu sudah cukup bagiku. Hingga ketika aku lulus SMA dia memaksaku untuk kuliah, namun aku yang kecewa padanya tak punya keinginan sedikitpun untuk membuatnya bangga, dia terus memaksaku dan mengancam tak akan memberikan fasilitas apapun padaku jika tak mengikuti maunya.
Aku yang saat itu begitu emosi, memilih meninggalkan rumah dan kabur tinggal di tempat sahabatku Doni. Hingga suatu hari adik Doni, Dita pulang dalam keadaan menangis. Dia kemudian menceritakan suatu hal yang membuat semua ini bermula.”
“Apa Maksudnya? Oh jadi dia adik sahabat Mas? Terus kenapa aku menjadi bahan taruhan Mas? Dasar kalian orang-orang kaya, kalian hanya memikirkan kesenangan kalian saja.”
“Tenanglah Nada, akan kuceritakan semuanya lengkap. Apa kau mau minum? Atau makan? Aku akan membelikannya untukmu.” ucapnya yang terlihat bingung.
“Gak Mas, lanjutkan saja ceritamu.”
“Baiklah. Atau Apa kau ingin kita pindah ke Cafe atau Restaurant?
“Sudah kubilang gak. Mau dilanjutkan gak? Kalo gak, aku mau pulang sekarang.” ucapku yang mulai jengkel.
“Oke baiklah. Kau sudah tahu kan Dita itu siapa?”
“Iya, dia tunangan Mas bukan? Dan dia menyuruh mas mendekatiku, membuatku jatuh cinta dan meninggalkan aku bukan?”
“Apa yang kau katakan Nada, bukan seperti itu. Dita itu adik sahabatku Doni, tempat aku tinggal ketika kabur dari rumah. Dan saat itu aku tak bertunangan dengannya.”
Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Laki-laki ini berbohong lagi.
“Mas, jangan berbohong padaku. Jika Mas bukan tunangannya waktu itu, terus kenapa Mas mau ketika dia menyuruh Mas mendekatiku?”
“Makanya, aku akan menceritakan semuanya dengan lengkap.”
Aku menatap laki-laki di sampingku.
“Waktu itu Dita pulang dalam keadaan menangis, dan ku rasa kau tau ceritanya, karena tadi kau nampak sudah berbicara dengannya dan mengenalinya lagi.”
“Iya, dia mencuri di toko kami.”
“Dia tak mungkin mencuri, aku mengenalnya.”
“Oh ya? Jadi dia bercerita pada kalian kalo dia tak mencurinya, padahal jelas-jelas aku menemukan sendiri beberapa buku di dalam tasnya.”
“Apa kau serius?” tanya Faiz dengan wajah terkejut.
“Kau mengenalku dulu, apa aku pernah berbohong padamu?” jawabku ketus karena jujur aku agak emosi melihat laki-laki ini tak percaya padaku. Padahal dari dulu aku tak pernah sekalipun berbohong padanya.
“Iya, berarti saat itu aku yang di bohonginya.”
“Bagus bukan, pembohong dan pembohong memang pantas bersama.”
“Nada ...”
“Dan setelah Mas mendengar semuanya, Mas niat membalasku dengan membuatku jatuh cinta dan meninggalkanku bukan?”
“Nada, waktu itu tak ada niatku untuk membantunya, karena Doni kakaknya berniat untuk datang menemuimu dan bertanya tentang semua itu. Namun karena saat itu aku juga masih dipenuhi pikiran yang labil karena Ayahku, aku mengajak Doni dan salah satu temanku bertaruh, kalo aku bisa membalas tindakanmu pada adiknya. Dan tujuan awalnya adalah membuat kau jatuh cinta, kemudian aku akan meninggalkanmu. Saat itu akupun mencari tahu dan melamar pekerjaan di situ dan juga salah satu tujuanku kenapa aku mau melakukan hal ini, itu karena saat itu aku juga butuh uang, karena Ayahku benar-benar tak memberikan aku uang lagi sejak aku kabur. Setelah mendapatkan pekerjaan itu, aku pun mulai menjalankan niatku, mencari kontrakan dekat toko dan mulai mendekatimu. Makanya ketika setiap kau bertanya kenapa aku menyukaimu, aku hanya bisa menjawab kalo kau berbeda. Ya, karena aku tak punya jawaban lain.”
Aku terkejut mendengar semua cerita Mas Faiz, air mataku kembali menetes.
“Jadi ide rencana itu semuanya dari Mas?” ucapku pelan dengan suara bergetar.
Laki-laki itu nampak menatapku dengan perasaan bersalah.
“Iya Nada, maafkan aku. Niat aku dan teman-temanku hanya ingin mengerjaimu membuat kau jatuh cinta dan meninggalkanmu begitu saja, namun ...”
“Namun apa? Namun Mas malah mengajakku menikah dan membohongi aku dan ibuku.”
“Nada, aku tahu, aku sangat bersalah. Aku telah melangkah terlalu jauh dengan mengajakmu menikah. Aku tahu aku tak pantas untuk mendapatkan maaf darimu maupun dari ibu, tapi kau tau seiring kebersamaan kita, aku tak tahu kalo ternyata aku telah jatuh cinta padamu. Doni dan Dita sudah memintaku untuk mengakhirinya namun entah kenapa hatiku ingin memilikimu. Akupun melamarmu, dan itu murni keinginan hatiku. Saat aku menceritakan pada Doni dan Dita, mereka sangat terkejut. Dita kemudian menghubungi ayahku dan mengatakan kalo aku akan menikah. Dua hari sebelum pernikahan aku tak berada di kost lagi, aku tinggal di Rumah Doni kembali. Disana Ayah menelponku dan meminta maaf, dan berjanji akan mengikuti semua mauku. Mendengar itu rasa egoisku muncul, aku masih membutuhkan semua yang dimiliki Ayahku, namun aku juga mencintaimu. Dua hari aku terus memikirkannya sampai malam dimana besok kita akan menikah aku masih bimbang. Hingga akhirnya Dita berusaha memberiku pandangan masa depan yang membuat aku berubah pikiran. Dan pagi itu akupun memutuskan meninggalkanmu. Tadinya aku pikir toh cintaku padamu hanya sekedar bermula dari iseng, jadi pasti akan mudah melupakanmu. Tapi ternyata aku salah. Aku jatuh cinta padamu. Aku pulang ke rumah. Ayah mulai berubah, dia tak banyak mengaturku, bahkan dia malah sering meluangkan waktu untukku, seperti ingin menebus kesalahannya yang dulu. Aku sangat bahagia dengan perubahan sikapnya, namun apa kau tahu, aku malah merasakan kehampaan, ada rasa rindu dan rasa bersalah menyatu di dalam hati. Namun lagi-lagi Dita hadir menguatkan aku agar melupakan semuanya. Aku akhirnya memilih kuliah agar memiliki kesibukan dan melupakan semuanya. Setahun berlalu namun ternyata aku belum bisa melupakanmu. Rasa itu terus membayangiku setiap malam hingga aku memutuskan untuk pulang dari luar negri dan mencarimu, namun aku terkejut karena ternyata rumah yang kau tempati bukan milikmu lagi. Aku berusaha mencarimu namun tak ada yang tahu keberadaanmu. Akhirnya aku kembali melanjutkan kuliahku. Namun lagi-lagi empat tahun setelah aku mencarimu aku benar-benar tak bisa melupakanmu. Dan kau tahu, semakin aku berusaha melupakanmu ternyata aku semakin mencintaimu.”
“Mas mengingatku bukan karena masih mencintaiku, tapi Mas mengingatnya karena Mas memiliki rasa bersalah padaku dan ibuku.” jawabku sembari menghapus air mataku.
“Baiklah. Nada, pertama, yang kau katakan kemarin semuanya benar, aku bukan orang miskin yang selama ini kau tahu. Seperti yang kau lihat saat ini, itulah keadaan keluarga dari dulu sampe sekarang. Aku hidup hanya bersama Ayahku, ibuku meninggal saat aku masih SMP. Saat itu aku benar-benar merasa kehilangan. Di Rumah yang besar, aku tinggal sendiri dengan semua pelayan dan fasilitas yang lengkap, namun aku tak merasakan kenyamanan itu. Aku kesepian, sangat kesepian, dan mungkin itulah yang membuat aku menjadi anak yang tak bisa di kontrol. Aku sangat membenci keadaanku saat itu, dan itu berlangsung sampai aku lulus SMA, dan keadaan itu yang membuat aku menjadi anak yang mungkin kau tak akan percaya jika ku ceritakan sikap dan kelakuanku."
Aku terus mendengarnya, namun perasaan iba padanya mulai muncul, ya, iba karena sama-sama hanya hidup dengan satu orang tua, jika aku tanpa Ayah, Mas Faiz tanpa seorang ibu, tapi aku buru-buru menghalau rasa ibaku, laki-laki ini telah menyakitiku dan aku tak ingin ceritanya membuat aku memaafkannya. Lagian akupun sangat ingin tahu tentang hubungan wanita itu secara jelas dari mulut Mas Faiz.
“Semenjak Ibu meninggal, Ayahku menjadi orang sibuk. Aku tahu Dia juga sama terlukanya sepertiku, namun aku kecewa, dia tak mau tahu lagi dengan diriku, dia terus sibuk dengan bisnisnya, dan tak perduli dengan keaadanku yang kesepian, baginya pelayan dan fasilitas lengkap itu sudah cukup bagiku. Hingga ketika aku lulus SMA dia memaksaku untuk kuliah, namun aku yang kecewa padanya tak punya keinginan sedikitpun untuk membuatnya bangga, dia terus memaksaku dan mengancam tak akan memberikan fasilitas apapun padaku jika tak mengikuti maunya.
Aku yang saat itu begitu emosi, memilih meninggalkan rumah dan kabur tinggal di tempat sahabatku Doni. Hingga suatu hari adik Doni, Dita pulang dalam keadaan menangis. Dia kemudian menceritakan suatu hal yang membuat semua ini bermula.”
“Apa Maksudnya? Oh jadi dia adik sahabat Mas? Terus kenapa aku menjadi bahan taruhan Mas? Dasar kalian orang-orang kaya, kalian hanya memikirkan kesenangan kalian saja.”
“Tenanglah Nada, akan kuceritakan semuanya lengkap. Apa kau mau minum? Atau makan? Aku akan membelikannya untukmu.” ucapnya yang terlihat bingung.
“Gak Mas, lanjutkan saja ceritamu.”
“Baiklah. Atau Apa kau ingin kita pindah ke Cafe atau Restaurant?
“Sudah kubilang gak. Mau dilanjutkan gak? Kalo gak, aku mau pulang sekarang.” ucapku yang mulai jengkel.
“Oke baiklah. Kau sudah tahu kan Dita itu siapa?”
“Iya, dia tunangan Mas bukan? Dan dia menyuruh mas mendekatiku, membuatku jatuh cinta dan meninggalkan aku bukan?”
“Apa yang kau katakan Nada, bukan seperti itu. Dita itu adik sahabatku Doni, tempat aku tinggal ketika kabur dari rumah. Dan saat itu aku tak bertunangan dengannya.”
Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Laki-laki ini berbohong lagi.
“Mas, jangan berbohong padaku. Jika Mas bukan tunangannya waktu itu, terus kenapa Mas mau ketika dia menyuruh Mas mendekatiku?”
“Makanya, aku akan menceritakan semuanya dengan lengkap.”
Aku menatap laki-laki di sampingku.
“Waktu itu Dita pulang dalam keadaan menangis, dan ku rasa kau tau ceritanya, karena tadi kau nampak sudah berbicara dengannya dan mengenalinya lagi.”
“Iya, dia mencuri di toko kami.”
“Dia tak mungkin mencuri, aku mengenalnya.”
“Oh ya? Jadi dia bercerita pada kalian kalo dia tak mencurinya, padahal jelas-jelas aku menemukan sendiri beberapa buku di dalam tasnya.”
“Apa kau serius?” tanya Faiz dengan wajah terkejut.
“Kau mengenalku dulu, apa aku pernah berbohong padamu?” jawabku ketus karena jujur aku agak emosi melihat laki-laki ini tak percaya padaku. Padahal dari dulu aku tak pernah sekalipun berbohong padanya.
“Iya, berarti saat itu aku yang di bohonginya.”
“Bagus bukan, pembohong dan pembohong memang pantas bersama.”
“Nada ...”
“Dan setelah Mas mendengar semuanya, Mas niat membalasku dengan membuatku jatuh cinta dan meninggalkanku bukan?”
“Nada, waktu itu tak ada niatku untuk membantunya, karena Doni kakaknya berniat untuk datang menemuimu dan bertanya tentang semua itu. Namun karena saat itu aku juga masih dipenuhi pikiran yang labil karena Ayahku, aku mengajak Doni dan salah satu temanku bertaruh, kalo aku bisa membalas tindakanmu pada adiknya. Dan tujuan awalnya adalah membuat kau jatuh cinta, kemudian aku akan meninggalkanmu. Saat itu akupun mencari tahu dan melamar pekerjaan di situ dan juga salah satu tujuanku kenapa aku mau melakukan hal ini, itu karena saat itu aku juga butuh uang, karena Ayahku benar-benar tak memberikan aku uang lagi sejak aku kabur. Setelah mendapatkan pekerjaan itu, aku pun mulai menjalankan niatku, mencari kontrakan dekat toko dan mulai mendekatimu. Makanya ketika setiap kau bertanya kenapa aku menyukaimu, aku hanya bisa menjawab kalo kau berbeda. Ya, karena aku tak punya jawaban lain.”
Aku terkejut mendengar semua cerita Mas Faiz, air mataku kembali menetes.
“Jadi ide rencana itu semuanya dari Mas?” ucapku pelan dengan suara bergetar.
Laki-laki itu nampak menatapku dengan perasaan bersalah.
“Iya Nada, maafkan aku. Niat aku dan teman-temanku hanya ingin mengerjaimu membuat kau jatuh cinta dan meninggalkanmu begitu saja, namun ...”
“Namun apa? Namun Mas malah mengajakku menikah dan membohongi aku dan ibuku.”
“Nada, aku tahu, aku sangat bersalah. Aku telah melangkah terlalu jauh dengan mengajakmu menikah. Aku tahu aku tak pantas untuk mendapatkan maaf darimu maupun dari ibu, tapi kau tau seiring kebersamaan kita, aku tak tahu kalo ternyata aku telah jatuh cinta padamu. Doni dan Dita sudah memintaku untuk mengakhirinya namun entah kenapa hatiku ingin memilikimu. Akupun melamarmu, dan itu murni keinginan hatiku. Saat aku menceritakan pada Doni dan Dita, mereka sangat terkejut. Dita kemudian menghubungi ayahku dan mengatakan kalo aku akan menikah. Dua hari sebelum pernikahan aku tak berada di kost lagi, aku tinggal di Rumah Doni kembali. Disana Ayah menelponku dan meminta maaf, dan berjanji akan mengikuti semua mauku. Mendengar itu rasa egoisku muncul, aku masih membutuhkan semua yang dimiliki Ayahku, namun aku juga mencintaimu. Dua hari aku terus memikirkannya sampai malam dimana besok kita akan menikah aku masih bimbang. Hingga akhirnya Dita berusaha memberiku pandangan masa depan yang membuat aku berubah pikiran. Dan pagi itu akupun memutuskan meninggalkanmu. Tadinya aku pikir toh cintaku padamu hanya sekedar bermula dari iseng, jadi pasti akan mudah melupakanmu. Tapi ternyata aku salah. Aku jatuh cinta padamu. Aku pulang ke rumah. Ayah mulai berubah, dia tak banyak mengaturku, bahkan dia malah sering meluangkan waktu untukku, seperti ingin menebus kesalahannya yang dulu. Aku sangat bahagia dengan perubahan sikapnya, namun apa kau tahu, aku malah merasakan kehampaan, ada rasa rindu dan rasa bersalah menyatu di dalam hati. Namun lagi-lagi Dita hadir menguatkan aku agar melupakan semuanya. Aku akhirnya memilih kuliah agar memiliki kesibukan dan melupakan semuanya. Setahun berlalu namun ternyata aku belum bisa melupakanmu. Rasa itu terus membayangiku setiap malam hingga aku memutuskan untuk pulang dari luar negri dan mencarimu, namun aku terkejut karena ternyata rumah yang kau tempati bukan milikmu lagi. Aku berusaha mencarimu namun tak ada yang tahu keberadaanmu. Akhirnya aku kembali melanjutkan kuliahku. Namun lagi-lagi empat tahun setelah aku mencarimu aku benar-benar tak bisa melupakanmu. Dan kau tahu, semakin aku berusaha melupakanmu ternyata aku semakin mencintaimu.”
“Mas mengingatku bukan karena masih mencintaiku, tapi Mas mengingatnya karena Mas memiliki rasa bersalah padaku dan ibuku.” jawabku sembari menghapus air mataku.
Tak perlu lagi ada airmata. Hari ini semua telah jelas. Hubungan dulu hanya sebuah kebohongan.
“Tadinya aku berpikir seperti itu, bahwa mungkin rasa yang kumiliki saat ini hanya rasa bersalah meninggalkanmu, namun kemarin aku barusan menyadari kalo aku benar-benar mencintaimu bukan hanya sekedar rasa bersalah.”
“Apa maksud Mas kemarin?”
“Ya, waktu aku bertemu denganmu di Kantor, aku begitu bahagia, hingga semua tubuhku gemetar melihatmu. Aku seperti melihat sebuah berlian yang lama aku cari.”
“Mas, jangan berusaha membohongiku lagi.”
“Aku tahu kau tak akan percaya padaku dengan mudah, namun itu kenyataan yang aku rasa, bahkan ketika melihat kau dengan Mas Gardy, emosiku keluar. Rasanya aku begitu cemburu melihat ada laki-laki berusaha mendekatimu.”
Aku mendengar semuanya dengan perasaan yang aku tak tahu apa yang ku rasa saat ini. Semuanya seperti sebuah cerita buku yang sering kubaca. Tapi ini nyata dan aku mengalaminya.
“Selesai kuliah aku kembali, namun aku tak berani mencarimu lagi, aku khawatir karena mungkin kau sudah menikah dengan orang lain. Namun saat aku bertemu denganmu aku sangat bersyukur terlebih ketika di Toilet aku melihatmu belum menggunakan cincin pernikahan. Kau belum menikah dan aku masih berkesempatan bertemu denganmu untuk menceritakan semua ini serta meminta maaf.” lanjutnya lagi.
“Dan sekarang Mas berharap apa dariku?”
“Aku tak ingin berharap lebih, aku hanya ingin meminta maafmu. Maafkan semua yang telah aku lakukan padamu. Aku tahu tak mudah kau memberikan maaf, tapi setidaknya tolong bukakan sedikit saja pintu maafmu padaku, kau bisa tak menyapaku dan mengacuhkan aku, tapi setidaknya kau sudah memaafkan aku. meskipun sekarang kau tahu, kalo cintaku padamu itu masih utuh namun aku tak berharap kau membalas cintaku lagi. Karena ...”
“Karena, aku tak mencintaimu lagi Mas. Aku sudah membuang semua cintaku di hari pernikahan kita, di hari di mana kau pergi meninggalkan aku, semuanya telah kau bawah pergi dan tak bersisa.” ucapku pelan sambil menahan air mataku yang akan menetes kembali.
“Iya aku tahu, aku tahu kau sudah tak mencintaiku, cintamu dulu padaku hanya bersisa rasa benci yang dalam.”
“Mas benar, saat ini aku sudah cukup bahagia dengan hidupku, dan aku tak ingin mengingat semuanya lagi. Mas sekarang sudah punya tunangan, jadi belajarlah mencintainya.” ucapku perlahan, namun entah kenapa aku merasa sakit mengucap semua itu, apa aku benar sudah tak mencintai laki-laki ini? gak, aku gak boleh terbuai lagi dengan perasaan ini. Aku harus kuat dan melupakan semuanya.
“Kami baru bertunangan sebulan lalu ketika aku kembali, itupun karena Ayahku yang meminta karena selama ini hanya Dita wanita yang sering bersamaku, apalagi orang tuanya juga adalah patner kerja Ayah.”
Kulihat laki-laki itu perlahan berbalik dan menatapku kemudian meraih tanganku. Aku sangat terkejut dan menariknya dengan kasar.
“Maaf, aku bukan hendak merayumu, aku hanya ingin tahu apa kau sudah memaafkan aku?” ucapnya dengan wajah memohon.
“Aku gak tahu Mas, aku masih sangat terkejut dengan semua ini, bahkan hatiku belum memiliki ruang maaf untukmu. Jadi sekarang bisa antarkan aku pulang. Aku benar-benar lelah.”
“Baiklah, aku akan selalu menunggu jawaban maafmu. Terima kasih sudah mendengarkan aku.” jawabnya dengan wajah kecewa.
Aku hanya diam dan memandang keluar, rasa benci padanya masih ada di hati, dan aku tak tahu apa bisa semudah itu aku memberikan maaf pada laki-laki ini.
Mobil kembali melaju pulang, aku tiba di Rumah dan langsung turun tanpa bicara.
“Nada, maaf apa nanti malam kau tetap akan makan malam bersama Mas Gardi?”
Seketika aku berbalik dan menatap wajah yang nampak mengiba.
“Aku rasa itu bukan urusan Mas, satu lagi, kita bicara tadi bukan berarti Mas bisa kembali masuk ke kehidupanku dan berusaha mengaturku.”
Kulihat dia hanya mengangguk pelan dengan wajah sedih. Aku perlahan berjalan dan meninggalkan laki-laki itu dengan perasaan dan pikirannya sendiri.
“Tadinya aku berpikir seperti itu, bahwa mungkin rasa yang kumiliki saat ini hanya rasa bersalah meninggalkanmu, namun kemarin aku barusan menyadari kalo aku benar-benar mencintaimu bukan hanya sekedar rasa bersalah.”
“Apa maksud Mas kemarin?”
“Ya, waktu aku bertemu denganmu di Kantor, aku begitu bahagia, hingga semua tubuhku gemetar melihatmu. Aku seperti melihat sebuah berlian yang lama aku cari.”
“Mas, jangan berusaha membohongiku lagi.”
“Aku tahu kau tak akan percaya padaku dengan mudah, namun itu kenyataan yang aku rasa, bahkan ketika melihat kau dengan Mas Gardy, emosiku keluar. Rasanya aku begitu cemburu melihat ada laki-laki berusaha mendekatimu.”
Aku mendengar semuanya dengan perasaan yang aku tak tahu apa yang ku rasa saat ini. Semuanya seperti sebuah cerita buku yang sering kubaca. Tapi ini nyata dan aku mengalaminya.
“Selesai kuliah aku kembali, namun aku tak berani mencarimu lagi, aku khawatir karena mungkin kau sudah menikah dengan orang lain. Namun saat aku bertemu denganmu aku sangat bersyukur terlebih ketika di Toilet aku melihatmu belum menggunakan cincin pernikahan. Kau belum menikah dan aku masih berkesempatan bertemu denganmu untuk menceritakan semua ini serta meminta maaf.” lanjutnya lagi.
“Dan sekarang Mas berharap apa dariku?”
“Aku tak ingin berharap lebih, aku hanya ingin meminta maafmu. Maafkan semua yang telah aku lakukan padamu. Aku tahu tak mudah kau memberikan maaf, tapi setidaknya tolong bukakan sedikit saja pintu maafmu padaku, kau bisa tak menyapaku dan mengacuhkan aku, tapi setidaknya kau sudah memaafkan aku. meskipun sekarang kau tahu, kalo cintaku padamu itu masih utuh namun aku tak berharap kau membalas cintaku lagi. Karena ...”
“Karena, aku tak mencintaimu lagi Mas. Aku sudah membuang semua cintaku di hari pernikahan kita, di hari di mana kau pergi meninggalkan aku, semuanya telah kau bawah pergi dan tak bersisa.” ucapku pelan sambil menahan air mataku yang akan menetes kembali.
“Iya aku tahu, aku tahu kau sudah tak mencintaiku, cintamu dulu padaku hanya bersisa rasa benci yang dalam.”
“Mas benar, saat ini aku sudah cukup bahagia dengan hidupku, dan aku tak ingin mengingat semuanya lagi. Mas sekarang sudah punya tunangan, jadi belajarlah mencintainya.” ucapku perlahan, namun entah kenapa aku merasa sakit mengucap semua itu, apa aku benar sudah tak mencintai laki-laki ini? gak, aku gak boleh terbuai lagi dengan perasaan ini. Aku harus kuat dan melupakan semuanya.
“Kami baru bertunangan sebulan lalu ketika aku kembali, itupun karena Ayahku yang meminta karena selama ini hanya Dita wanita yang sering bersamaku, apalagi orang tuanya juga adalah patner kerja Ayah.”
Kulihat laki-laki itu perlahan berbalik dan menatapku kemudian meraih tanganku. Aku sangat terkejut dan menariknya dengan kasar.
“Maaf, aku bukan hendak merayumu, aku hanya ingin tahu apa kau sudah memaafkan aku?” ucapnya dengan wajah memohon.
“Aku gak tahu Mas, aku masih sangat terkejut dengan semua ini, bahkan hatiku belum memiliki ruang maaf untukmu. Jadi sekarang bisa antarkan aku pulang. Aku benar-benar lelah.”
“Baiklah, aku akan selalu menunggu jawaban maafmu. Terima kasih sudah mendengarkan aku.” jawabnya dengan wajah kecewa.
Aku hanya diam dan memandang keluar, rasa benci padanya masih ada di hati, dan aku tak tahu apa bisa semudah itu aku memberikan maaf pada laki-laki ini.
Mobil kembali melaju pulang, aku tiba di Rumah dan langsung turun tanpa bicara.
“Nada, maaf apa nanti malam kau tetap akan makan malam bersama Mas Gardi?”
Seketika aku berbalik dan menatap wajah yang nampak mengiba.
“Aku rasa itu bukan urusan Mas, satu lagi, kita bicara tadi bukan berarti Mas bisa kembali masuk ke kehidupanku dan berusaha mengaturku.”
Kulihat dia hanya mengangguk pelan dengan wajah sedih. Aku perlahan berjalan dan meninggalkan laki-laki itu dengan perasaan dan pikirannya sendiri.
Aku masuk dan langsung merebahkan tubuhku di kamar, aku bingung apa aku akan menceritakan semua ini pada ibu atau tidak, entahlah.
Aku sedikit terlelap dan tersadar ketika ibu membangunkan aku dan mengatakan ada banyak bingkisan datang yang dia bingung itu dari siapa.
Aku perlahan keluar dengan wajah yang ikut bingung. Nampak di ruang tamu berbagai macam bingkisan yang aku tak mengerti apa dan untuk siapa? Aku membaca satu persatu paketan itu dan ternyata itu memang untukku.
“Ibu, apa Ibu tak bertanya tadi ini dari siapa?”
“Sudah, katanya dari Pak Gardi apa ya? Ibu lupa.”
Ya Alloh, Pak Gardi? Berarti ini semua darinya? Aku segera membuka satu persatu bungkusan tersebut. Ada baju, sepatu, tas, bunga, perhiasan dan berbagai keperluan lainnya dan yang terakhir sebuah bungkusan kecil berisi surat.
(Hallo, Nada. Mungkin kau terkejut dengan semua ini. Aku harap kau tak marah, ini aku berikan sebagai ucapan terima kasihku karena kau sudah menerima undangan makan malamku. Jadi tolong kau menggunakannya ketika makan malam nanti. Tertanda Gardy)
Aku sedikit tersenyum membaca suratnya.
“Nada, apa ini dari laki-laki yang menyukaimu?”
Aku perlahan memegang tangan ibu dan mulai menceritakan tentang siapa Mas Gardy. Ibu nampak bahagia tapi tersirat rasa khawatir di wajahnya, dan aku tahu dia takut kejadian lama terulang lagi.
“Ibu percaya padaku? Aku tak akan terjebak lagi seperti dulu. Aku sudah dewasa Bu.” ucapku meyakinkan ibu.
“Apa kau yakin kalo kau sudah mulai bisa membuka hatimu untuk laki-laki lain?”
“Entahlah Bu, tapi sampai kapan aku akan begini. Aku harus menatap masa depan bukan? Tapi aku tak akan terburu-buru dengan semua ini.”
“Apa kau sudah tak memiliki perasaan lagi pada Nak Faiz?”
“Gak Bu, aku hanya memiliki rasa kecewa saja padanya.”
“Ibu percaya padamu Nada. Jaga dirimu.”
Aku mengangguk dan perlahan memeluknya. Kemudian ke kamar dan mempersiapkan diriku untuk makan malam.
Tepat Jam Tujuh Mas Gardi menjemputku setelah aku mengirikan alamatku. Dia begitu sopan padaku dan pada ibuku, hingga aku mulai memiliki rasa kagum padanya, namun buru-buru aku menepisnya, aku tak mau terburu-buru, karena aku tak ingin sakit hati kembali.
“Ibu, apa Ibu tak bertanya tadi ini dari siapa?”
“Sudah, katanya dari Pak Gardi apa ya? Ibu lupa.”
Ya Alloh, Pak Gardi? Berarti ini semua darinya? Aku segera membuka satu persatu bungkusan tersebut. Ada baju, sepatu, tas, bunga, perhiasan dan berbagai keperluan lainnya dan yang terakhir sebuah bungkusan kecil berisi surat.
(Hallo, Nada. Mungkin kau terkejut dengan semua ini. Aku harap kau tak marah, ini aku berikan sebagai ucapan terima kasihku karena kau sudah menerima undangan makan malamku. Jadi tolong kau menggunakannya ketika makan malam nanti. Tertanda Gardy)
Aku sedikit tersenyum membaca suratnya.
“Nada, apa ini dari laki-laki yang menyukaimu?”
Aku perlahan memegang tangan ibu dan mulai menceritakan tentang siapa Mas Gardy. Ibu nampak bahagia tapi tersirat rasa khawatir di wajahnya, dan aku tahu dia takut kejadian lama terulang lagi.
“Ibu percaya padaku? Aku tak akan terjebak lagi seperti dulu. Aku sudah dewasa Bu.” ucapku meyakinkan ibu.
“Apa kau yakin kalo kau sudah mulai bisa membuka hatimu untuk laki-laki lain?”
“Entahlah Bu, tapi sampai kapan aku akan begini. Aku harus menatap masa depan bukan? Tapi aku tak akan terburu-buru dengan semua ini.”
“Apa kau sudah tak memiliki perasaan lagi pada Nak Faiz?”
“Gak Bu, aku hanya memiliki rasa kecewa saja padanya.”
“Ibu percaya padamu Nada. Jaga dirimu.”
Aku mengangguk dan perlahan memeluknya. Kemudian ke kamar dan mempersiapkan diriku untuk makan malam.
Tepat Jam Tujuh Mas Gardi menjemputku setelah aku mengirikan alamatku. Dia begitu sopan padaku dan pada ibuku, hingga aku mulai memiliki rasa kagum padanya, namun buru-buru aku menepisnya, aku tak mau terburu-buru, karena aku tak ingin sakit hati kembali.
Setelah pamit mobilpun melaju menuju sebuah Restaurant mewah.
“Kau begitu cantik Nada, maaf jika aku baru memujimu, aku malu mengatakannya di depan ibumu.” ucapnya ketika kami baru duduk di meja yang telah dipesannya.
“Terima kasih Mas, tapi seharusnya Mas gak perlu repot-repot seperti ini.”
“Gak pa-pa. Ini sebagai ungkapan terima kasihku. Lagian semua ternyata sangat pantas dan cocok denganmu. Oh iya aku pamit sebentar ke toilet ya.”
Aku mengangguk dan menatap sekeliling. Suasana dan tempatnya begitu romantis, hingga aku sedikit tersenyum, karena aku belum pernah ketempat seperti ini sebelumnya.
“Kau begitu cantik Nada, maaf jika aku baru memujimu, aku malu mengatakannya di depan ibumu.” ucapnya ketika kami baru duduk di meja yang telah dipesannya.
“Terima kasih Mas, tapi seharusnya Mas gak perlu repot-repot seperti ini.”
“Gak pa-pa. Ini sebagai ungkapan terima kasihku. Lagian semua ternyata sangat pantas dan cocok denganmu. Oh iya aku pamit sebentar ke toilet ya.”
Aku mengangguk dan menatap sekeliling. Suasana dan tempatnya begitu romantis, hingga aku sedikit tersenyum, karena aku belum pernah ketempat seperti ini sebelumnya.
Aku memandang ke sebuah tempat di mana banyak orang sedang berdansa, namun seketika mataku terhenti pada sosok sepasang kekasih yang sedang berdansa. Ya, pasangan itu, Mas Faiz dan wanita itu, mereka sedang berdansa begitu mesra, aku langsung membuang mukaku karena aku tak peduli dengannya dan wanita itu, namun ada aneh yang kurasa, kenapa ada rasa sakit di hati melihat mereka seperti itu? Apa aku cemburu?
Bersambung #3
Bersambung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel