Oleh: Euis AsSaeri
* Madu Pahit #1- Selepas sholat isya ponselku berbunyi, rupanya ada pesan masuk dari Mbak Ratih, dia mengabarkan bahwa rombongan pengantin sedang dalam perjalanan menuju rumahku. Jantungku semakin berdebar, aku kembali berdiri di depan meja riasku yang sejak tadi terus ku hampiri.
* Madu Pahit #2- Malam telah berlalu, dan fajarpun mulai menjemput. Ku jalani pagiku seperti biasa, mengerjakan semua yang harus ku kerjakan, dan menikmati sarapan bersama Mas Tedi.
* Madu Pahit #4- Setelah beberapa saat, aku berbalik kembali ke kamar Tania. Di sana ku dapati Mas Tedi tengah duduk di sisi ranjang, benar benar tanpa rasa bersalah.
"Sebenarnya maksud Mas apa?" Ku luapkan amarahku dengan tumpahan air mata yang sulit ku hentikan.
* Madu Pahit #5- Sampai di rumah, ku lihat Mas Tedi sudah berbaring di tempat tidur, sepertinya dia memang sedang punya masalah, tapi aku tak begitu menghiraukannya.
Setelah makan malam bersama Zaki, aku memutuskan untuk tidur besamanya.
"Ayahnya mungkin lagi sibuk, biarin aja. Bunda gak apa apa kok." Ucapku, meyakinkan Zaki.
"Tapi kan Ayah udah lama gak ke sini Bunda." Rajuknya.
* Madu Pahit #9- [POV Mirza]
"Kamu gak apa apa kan?" Aku cukup mengkhawatirkan Avi, setelah pertengkaran kecil yang baru saja terjadi.
"Aku gak apa apa, Kak," dia melirikku sekilas.
Kami masih berdiri di depan kasir, menunggu petugas kasir tersebut menghitung belanjaan Avi.
"Mirza!"
Teriak seorang pria yang baru turun dari sebuah mobil pick up.
Zaki memaksa untuk memberikan nama Tazki, agar adiknya memiliki nama yang terdengar sama dengan namanya.
Keluar dari ruangan dokter Nancy, aku dan Mbak Ratih hanya saling tatap. Sementara Mbak Yana, wajahnya terlihat penuh dengan amarah. Seperti ada emosi yang sedang meledak-ledak di dadanya.
* Madu Pahit #13- [POV.Avi]
Aku duduk di depan televisi, sambil memeluk Tazki yang mulai terlelap di pangkuanku. Adzan isya sudah terdengar dari beberapa menit yang lalu, sepertinya sebentar lagi putraku pulang.
Sekarang dia sudah tidak perlu dijemput saat pulang mengaji, malu katanya.
* Madu Pahit #14- Langit senja menegaskan bahwa hari ini sudah berakhir, hembusan nafas kasar menjadi saksi sesak di dada yang mulai gusar dengan perasaan yang sulit dicerna.
Aku sadar, sebenarnya bukan perasaan yang sulit dicerna, tapi gengsi yang enggan diakui.
--- oo ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel